Mohon tunggu...
Junanto Herdiawan
Junanto Herdiawan Mohon Tunggu... Jurnalis - Kelompok Kompasianer Mula-Mula

Pemerhati Ekonomi, Penikmat Kuliner, Penulis Buku, dan Pembelajar Ilmu Filsafat. Saat ini bekerja sebagai Direktur Departemen Komunikasi BI dan menjabat sebagai Ketua Ikatan Pegawai BI (IPEBI). Tulisan di blog ini adalah pandangan personal dan tidak mencerminkan atau mewakili lembaga tempatnya bekerja. Penulis juga tidak pernah memberi janji atau menerima apapun terkait jabatan. Harap hati-hati apabila ada yang mengatasnamakan penulis untuk kepentingan pribadi.

Selanjutnya

Tutup

Money

My Big Fat Greek Debt

15 Februari 2010   22:46 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:54 453
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_75229" align="alignleft" width="300" caption="Petir di atas Yunani / dailymail.co.uk"][/caption] Seorang teman lama yang berkewarganegaraan Yunani, pekan lalu mengirim e-mail pada saya. Ia kini tinggal di kota Athena dan bekerja pada sebuah bank swasta. Hampir 10 tahun kami tidak pernah berkirim kabar sejak lulus kuliah. Rupanya ia teringat tentang Indonesia saat diterpa krisis ekonomi tahun 1998. Kini, Yunani juga dilanda krisis ekonomi yang tak kalah seriusnya. Prahara utang dan bobolnya ketahanan fiskal pemerintah, menerpa kehidupan rakyat Yunani. Yunani, negeri indah yang melahirkan budaya Hellenisme dan ajaran Stoic itu, kini dilanda kemiskinan dan kerentanan sosial. Ribuan kasus PHK mengakibatkan melonjaknya pengangguran. Demonstrasi dan berbagai aksi unjuk rasa menjadi pemandangan sehari-hari di kota Athena. Kehidupan semakin sulit, dan kemiskinan meningkat. Kawan saya khawatir kalau Yunani akan ambruk, dan akhirnya jadi pasien IMF. Iapun teringat kisah kegagalan IMF di Indonesia. Saya mengatakan bahwa mungkin kasusnya berbeda. Yunani berada di Eropa dan memiliki back up dari Uni Eropa (EU), walau memang banyak pihak yang mempertanyakan komitmen dan kemampuan Uni Eropa dalam membantu Yunani. Beberapa bahkan mengatakan Yunani dijadikan "kelinci percobaan" oleh Uni Eropa dalam menerapkan berbagai "pengobatan anti krisis". Sejak kasus Yunani meledak, Uni Eropa memang ikut kalang kabut. Kekhawatiran mereka terutama muncul dari risiko penularan krisis ke wilayah regional. Dampak lanjutan dan tularan dari Yunani mulai dirasakan di negara-negara yang disebut dengan istilah PIGS (Portugal, Ireland, Greece, dan Spanyol). Nama PIGS memang punya konotasi negatif. Tak heran nasib negara anggota PIGS itu juga setali tiga uang. Keempatnya langsung terhempas oleh krisis utang dan fiskal. Selanjutnya, krisis Yunani mulai meluas ke Italia, Belgia, dan Austria. Perancis dan Jerman juga mulai ikut panas dingin. Kepercayaan investor terhadap perekonomian Eropa turun drastis, nilai tukar Euro ikut melemah. Presiden European Central Bank (ECB), Jean Claude Trichet terpaksa harus mempersingkat kunjungannya di Sydney pekan lalu. Padahal pertemuan Gubernur Bank Sentral anggota BIS tersebut adalah pertemuan puncak yang juga membicarakan nasib Eropa pasca krisis Yunani. Kepulangan Trichet tentu menunjukkan semakin kritisnya kondisi Yunani. Rambatan krisis Yunani dikhawatirkan akan berdampak ke dunia global. Amerika, kemudian Asia, dan juga rembetannya Indonesia. Kalau negara kecil seperti Islandia (Iceland) saat terkena krisis beberapa waktu lalu dapat membuat Eropa kalang kabut, apalagi krisis kali ini menghantam Yunani yang notabene memiliki eksposure lebih besar. [caption id="attachment_75232" align="alignright" width="332" caption="Ilustrasi"][/caption] Mengapa Yunani bisa terseret pada krisis utang yang sedemikian parah? Kehidupan politik dan pemerintahan Yunani memang diwarnai oleh perilaku tidak berhati-hati pengelola negara. Pesta Olimpiade 2004 di Yunani, dianggap sebagai awal malapetaka. Saat itu biaya tinggi dikeluarkan untuk investasi yang dananya berasal dari utang. Penggelembungan proyekpun terjadi untuk penyelenggaraan Olimpiade tersebut oleh beberapa pengusaha dan politisi. Selain itu, bergabungnya Yunani dengan kawasan Euro di sisi lain menjadi semacam kutuk. Penyesuaian ekonomi dengan Eropa menjadikan barang dan jasa Yunani mahal. Inflasi meningkat, dan banyak perusahaan asing yang hengkang karena biaya yang mahal. Di sisi lain, privatisasi BUMN dan asset pemerintah lainnya dilakukan tidak memenuhi kaidah persaingan sehat dan transparan. Dana yang diperoleh bukan untuk membayar utang, namun untuk kepentingan para politisi. Sekarang, saat utang melilit, dan pemerintah membutuhkan asset untuk dijual, tak ada lagi yang tersisa. Sektor perbankan Yunani pun menyimpan banyak masalah. Suatu saat mereka berlomba-lomba memberikan kredit, dan tiba-tiba secara serempak menghentikannya. Perkembangan krisis utang telah menimbulkan ketakutan perbankan akan masa depan ekonomi Yunani. Kontraksi kredit ini tentu memukul dunia usaha. Selain itu, subsidi yang diberikan oleh Uni Eropa pada perusahaan Yunani, kerap dimanipulasi. Banyak perusahaan fiktif yang dibentuk sekedar mendapatkan dana dari Uni Eropa. Dana itu disalahgunakan untuk membeli real estate dan mobil mewah. Berbagai hal tersebut terakumulasi dan menyebabkan defisit anggaran Yunani melejit mencapai 12,7% dari PDB, atau empat kali melampaui batas aman Uni Eropa. Selain itu utang pemerintah telah meroket melebihi 113% dari PDB. Yunani yang indah dan simbol peradaban itu, telah berubah menjadi sebuah negeri yang sarat dengan utang. Apa yang dapat dipelajari dari kasus Yunani? Bahwa pada akhirnya, conventional wisdom masih berlaku. Ajaran di buku-buku teks makroekonomi tentang pengelolaan fiskal yang sehat dan berhati-hati, masih berlaku di dunia nyata. Hanya negara yang disiplin dan memiliki pengelolaan fiskal yang baik, dapat bertahan dari krisis. Indonesia telah membuktikan saat krisis global lalu saat pemerintah disiplin menjaga ketahanan fiskalnya. Dalam hal ini, Indonesia telah banyak belajar dan mampu mengendalikan pengeluaran pemerintah secara bijak. Saat krisis lalu, ketahanan fiskal Indonesia terbukti tangguh. Kita tidak terjebak menjadi terlalu gemuk dan tidak efisien seperti Yunani. Mudah-mudahan kita bisa lebih baik dan tidak tertular krisis Yunani. Sayapun teringat sebuah film romantik komedi yang berjudul “My Big Fat Greek Wedding”. Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun