Mohon tunggu...
Junanto Herdiawan
Junanto Herdiawan Mohon Tunggu... Jurnalis - Kelompok Kompasianer Mula-Mula

Pemerhati Ekonomi, Penikmat Kuliner, Penulis Buku, dan Pembelajar Ilmu Filsafat. Saat ini bekerja sebagai Direktur Departemen Komunikasi BI dan menjabat sebagai Ketua Ikatan Pegawai BI (IPEBI). Tulisan di blog ini adalah pandangan personal dan tidak mencerminkan atau mewakili lembaga tempatnya bekerja. Penulis juga tidak pernah memberi janji atau menerima apapun terkait jabatan. Harap hati-hati apabila ada yang mengatasnamakan penulis untuk kepentingan pribadi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Merasakan Gempa Terburuk di Jepang

12 Maret 2011   04:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:51 1976
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_95666" align="aligncenter" width="640" caption="Retakan di gedung kantor kami / photo JH"][/caption] Selama satu tahun tinggal di Jepang, saya sering merasakan gempa. Hampir setiap bulan, Jepang diguncang gempa. Oleh karenanya, saya mulai terbiasa oleh gempa sporadis yang berulangkali terjadi. Biasanya saya akan tetap diam dan menunggu hingga gempa berlalu. Warga Jepang juga terbiasa dengan gempa. Mereka selalu terlihat tenang, setiap gempa mengguncang. Tapi, gempa kemarin (11/3) sungguh beda. Itu bukan gempa biasa. Saat guncangan pertama terjadi, saya merasakan getaran yang hebat. Tak lama, lemari di ruang kerja saya jatuh terbalik dan buku-buku bertebaran. Saat itu saya sedang berada di kantor yang berlokasi di lantai 9 sebuah gedung di daerah Marunouchi, Tokyo. Saya langsung berdiri dan bertanya pada rekan kantor yang warga Jepang. Mulanya mereka mengatakan untuk tenang, namun saat guncangan makin besar, mereka juga panik. Kalau warga Jepang sudah panik, artinya gempa ini serius. Ketika getaran semakin keras, kami bertahan di bawah meja dan melihat ruangan kantor porak poranda. Selain lemari, papan tulis, gantungan jaket, dan buku-buku, ambruk dan berhamburan ke lantai. Getaran tidak berhenti namun justru bertambah kencang. Debu-debu mulai berjatuhan dari langit-langit ruang kerja. Saat itu, kami mulai panik. Namun di tengah kepanikan, saya kagum dengan kesigapan, standard operation procedure, dari pengelola gedung. [caption id="attachment_93878" align="alignleft" width="300" caption="Komputer dan buku berserakan akibat gempa / photo JH"]

1299901485836432388
1299901485836432388
[/caption] Saat guncangan pertama terjadi, pengeras suara langsung mengumumkan bahwa saat ini terjadi gempa yang cukup keras. Kita diminta untuk tetap bertahan di ruangan. Hal ini bagi saya agak berat, sebab sudah pernah beberapa kali merasakan gempa di gedung tinggi Jakarta. Dan yang dilakukan saat itu adalah, kita berhamburan keluar melalui pintu darurat. Namun hal itu justru dilarang di Jepang. Peringatan mengatakan bahwa berada di luar gedung saat gempa justru lebih berbahaya. Kami diminta untuk bertahan di dalam. Gedung sudah dirancang untuk tahan gempa. Mudah memang mengatakannya, namun kalau anda berada pada posisi yang secara konsisten diguncang dan dibanting selama bermenit-menit, yang terbersit tentu pikiran untuk segera keluar dari gedung. Selama hampir dua jam, guncangan tidak berhenti. Keras, reda, kemudian kembali dibanting-banting lagi. Bukan hanya gerakan dari kiri ke kanan, namun juga diguncang dari atas ke bawah. Kami bertahan di bawah meja saat guncangan terjadi. Pegawai di kantor kami secara sigap langsung membagikan makanan, air minum, mempersiapkan senter dan peluit. Itu memang standar penanganan gempa di gedung-gedung tinggi Jepang. Saat pertama kali berkantor, saya juga sudah diingatkan untuk selalu menyediakan berbagai keperluan standar tersebut. Saat guncangan semakin keras, pikiran saya tentu tertuju ke keluarga di rumah. Apalagi saat itu anak saya sedang berada di sekolah. Namun saya lebih tenang kalau anak di sekolah, karena sekolah di Jepang telah memiliki standar penanganan gempa, dan anak-anak sudah dilatih menghadapinya. Anak saya diberikan perangkat gempa dari sekolah, berupa tutup kepala yang selalu harus dipasang di bangkunya setiap hari, baik saat terjadi maupun tidak terjadi gempa. Mereka juga dilatih bagaimana kalau terjadi gempa, ke mana harus berkumpul, dan bagaimana sekolah mengontak orang tua. Pihak kelurahan juga telah memeringati tentang kemungkinan terjadinya gempa besar ini sejak tahun lalu. Mereka sudah antisipasi akan terjadi gempa besar, namun tidak dapat memastikan kedatangannya. Hal yang dilakukan adalah secara rutin berlatih menghadapi gempa. Di sekolah, di rumah, dan di perkantoran, kami dilatih untuk menghadapi gempa. Di setiap perumahan juga tersedia pengeras suara dan sirene yang menandakan gempa, serta apa yang perlu kita lakukan. Berdasarkan kondisi tersebut, saya merasa lebih tenang akan kondisi keluarga. [caption id="attachment_93880" align="alignleft" width="300" caption="Petugas melakukan Inspeksi pasca getaran / photo JH"]
1299901175438038372
1299901175438038372
[/caption] Tiba-tiba, pengeras suara di gedung berbunyi kembali dan mengatakan bahwa seluruh lift dimatikan, para penghuni gedung diminta menjauh dari tempat berbahaya, jangan menyalakan api, dan tetap berada di ruangan. Diingatkan pula bahwa gempa susulan masih akan terus terjadi. Petugas-petugas gedung juga melakukan inspeksi ke setiap ruangan untuk memastikam keamanan gedung dan penghuninya. Saya berada di gedung sekitar 4 jam hingga pengumuman mengatakan boleh keluar. Namun, saat berhasil keluar gedung, seluruh layanan kereta api dan bis kota dihentikan. Pemerintah kota mengambil langkah antisipatif demi keamanan penumpang. Penduduk Tokyo pun tumpah ruah di jalan, berdesakan di stasiun, karena tidak bisa pulang. Kebanyakan pekerja di Tokyo tinggal di luar kota dan menggunakan kereta api sebagai sarana transportasi mereka. Berhentinya kereta api, berarti terputusnya hubungan dengan rumah. Karena udara musim dingin begitu menggigil, sekitar 5 derajat, dan jalan kaki tidak mungkin, maka sebagian mereka menginap di kantor. Akibatnya banyak convenience store (kombini) diserbu orang untuk sekedar mendapatkan roti atau onigiri (nasi kepal Jepang). Hal menarik dari gempa di Jepang adalah perkara kesiapan pemerintah dan warganya dalam menghadapi bencana. Meski panik, mereka terlihat tenang dalam menyikapi bencana. Prosedur dan latihan bertahun-tahun membentuk ketenangan tersebut. Selain itu, budaya memikirkan orang juga patut dicontoh. Saat pulang semalam, meski jalanan padat oleh mobil, masyarakat menyerbu supermarket untuk makanan, warga mencari taksi untuk kembali pulang, mereka tetap melakukannya dengan tertib dan antri secara teratur. Di jalanan, meski macet total, tapi tidak terlihat ada yang menyerobot, bahkan menyalakan klakson. Gempa dan bencana alam memang tak bisa ditolak. Korban juga tak dapat dihindari. Gempa saat ini adalah yang terbesar sepanjang sejarah gempa di Jepang. Namun mereka telah mempersiapkan kedatangan gempa ini jauh-jauh hari. Malang tentu tak dapat ditolak, tapi bagaimana kita menyikapi bencana tersebut menjadi penting. Dengan persiapan yang matang dan antisipasi yang baik, meski terdapat korban, jumlahnya bisa diminimalkan. Bayangkan bila Jepang tidak mempersiapkan diri, termasuk mempersiapkan ketahanan bangunannya. Korbannya mungkin bukan hanya akibat tsunami, tapi ditambah dengan akibat reruntuhan bangunan. Saat ini, gempa susulan masih terjadi beberapa kali. Mudah-mudahan keadaan bisa lebih baik di sini, dan kita bisa mengambil pelajaran. Mohon doanya dari rekan kompasianer. Salam [caption id="attachment_93882" align="aligncenter" width="300" caption="Lemari kaca terbalik / photo JH"]
12999014191345320364
12999014191345320364
[/caption] [caption id="attachment_93883" align="aligncenter" width="300" caption="Retakan di lantai 5 gedung tempat kami berkantor / photo JH"]
12999015091949317276
12999015091949317276
[/caption] [caption id="attachment_93884" align="aligncenter" width="300" caption="Antrian membeli makanan di kombini / foto JH"]
12999016171976448603
12999016171976448603
[/caption] [caption id="attachment_93885" align="aligncenter" width="300" caption="Tetap mengantri Taxi / photo JH"]
12999021571360343764
12999021571360343764
[/caption] [caption id="attachment_93886" align="aligncenter" width="300" caption="Rak makanan kosong diborong warga Tokyo / photo JH"]
129990181316603330
129990181316603330
[/caption]

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun