Mohon tunggu...
Junanto Herdiawan
Junanto Herdiawan Mohon Tunggu... Jurnalis - Kelompok Kompasianer Mula-Mula

Pemerhati Ekonomi, Penikmat Kuliner, Penulis Buku, dan Pembelajar Ilmu Filsafat. Saat ini bekerja di Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Lampung. Tulisan di blog ini adalah pandangan personal dan tidak mencerminkan atau mewakili lembaga tempatnya bekerja. Penulis juga tidak pernah memberi janji atau menerima apapun terkait jabatan. Harap hati-hati apabila ada yang mengatasnamakan penulis untuk kepentingan pribadi.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Eksotisme Tengkleng Solo

27 Oktober 2009   11:54 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:31 2049
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_19067" align="alignright" width="300" caption="Gigi dan Lidah Kambing dalam Tengkleng / foto : Junanto"][/caption] Buat para pemula di ranah kuliner, Tengkleng adalah makanan yang terkesan sungguh barbaric. Tapi bagi para penikmat, inilah eksotisme kuliner yang sangat sensasional. Pergilah ke Solo dan cicipi “Tengkleng Solo”. Tengkleng adalah sajian dahsyat yang “die die must try” kalau anda pergi ke Solo. Setiap mengunjungi Solo, saya tak pernah melewatkan tengkleng sebagai tujuan utama kuliner. Cobalah tengkleng di pasar Klewer, persis di bawah gapura masuknya. Tengkleng ini terkenal sejak tahun 1971 dan menyajikan tengkleng di atas pincuk daun pisang. Tapi, tengkleng jagoan lainnya di kota Solo adalah Tengkleng Cemani. Rasanya sungguh lezat, mencecap ludah, dan mengenang di langit-langit mulut. Tengkleng Cemani hanya dibuat khusus berdasarkan pesanan. [caption id="attachment_19064" align="alignleft" width="338" caption="Satu Kuali Tengkleng Cemani / Foto: Junanto"][/caption] Dalam dunia kuliner, Tengkleng adalah sejenis gulai encer yang berisi jeroan dan tulang-tulang kambing dari seluruh bagian tubuhnya, khususnya bagian kepala. Alkisah, Tengkleng ini dulunya adalah “Soup for the Poor”. Pada jaman dulu, hanya toean dan noni Belanda yang bisa makan gulai daging dengan kuah kental. Sementara kaum kuli dan rakyat jelata hanya bisa melihat mereka makan. Sisa-sisa bagian kambing selain daging, yaitu tulang-belulang dan jeroan, dibuang oleh para orang kaya. Dan para kuli mengambil sisa-sisa tulang tersebut lalu merebusnya dengan kuah encer yang minimalis. Bertahun-tahun kemudian, tengkleng menjadi semakin terkenal dan justru bergeser jadi makanan kaum berpunya. Tengkleng juga mulai disajikan di berbagai hotel bintang lima. Meski demikian, tengkleng asli adalah tengkleng yang disajikan dengan tulang belulang. Hal tersebut karena saat ini mulai banyak warung tengkleng fusion yang justru menyajikan tengkleng berisikan daging iga, bahkan daging tanpa tulang. Tentu saja penyajian itu sudah meleset dari pakem "keimanan" tengkleng sejati. Berhati-hatilah sebelum mencicipi tengkleng ini karena anda akan menemukan pemandangan yang "mengerikan". Tengkleng cemani menyajikan mata kambing, lidah yang masih menempel di rahang kambing plus giginya, otak kambing, pipi kambing, jeroan, dan berbagai bagian tubuh kambing lainnya. Tapi bagi penggemar, inilah puncak kenikmatan kuliner. Seruput pula kuahnya pelan-pelan. Meski minimalis, kuah Tengkleng sungguh lezat. Rasa kuahnya gurih asam dan manis yang terdiri dari campuran dari kemiri, kunyit, bawang merah dan bawang putih yang dihaluskan. Bumbu-bumbu tersebut direndam bersama tulang belulang kambing dan dimasak hingga 4 jam, sehingga bumbu lebih meresap dan daging lebih empuk. Hmmm, tertarik? yuk makan Tengkleng... mbeeeek... mbeeekkk.... [caption id="attachment_19065" align="aligncenter" width="448" caption="Otak Kambing dlm Tengkleng / Foto : Junanto"][/caption] [caption id="attachment_19066" align="aligncenter" width="448" caption="Sate dalam Tengkleng / Foto : Junanto"][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun