Mohon tunggu...
Junanto Herdiawan
Junanto Herdiawan Mohon Tunggu... Jurnalis - Kelompok Kompasianer Mula-Mula

Pemerhati Ekonomi, Penikmat Kuliner, Penulis Buku, dan Pembelajar Ilmu Filsafat. Saat ini bekerja sebagai Direktur Departemen Komunikasi BI dan menjabat sebagai Ketua Ikatan Pegawai BI (IPEBI). Tulisan di blog ini adalah pandangan personal dan tidak mencerminkan atau mewakili lembaga tempatnya bekerja. Penulis juga tidak pernah memberi janji atau menerima apapun terkait jabatan. Harap hati-hati apabila ada yang mengatasnamakan penulis untuk kepentingan pribadi.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Ancaman Terbesar Pemulihan Ekonomi

11 Juli 2010   01:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:57 898
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_190678" align="alignleft" width="300" caption="Kegiatan Ekonomi Indonesia / sumber : kompas.com"][/caption] Pemulihan ekonomi global saat ini dihadapkan pada ancaman terbesar. Ancaman itu mencuat dalam pertemuan pemerintah kelompok negara G-20 beberapa pekan lalu. Para pengambil kebijakan di banyak negara saat ini dihadapkan pada dilema antara dua kepentingan, yaitu pertumbuhan ekonomi jangka pendek atau stabilitas fiskal jangka menengah panjang. Dilema yang dihadapi adalah apakah pemerintah perlu terus mendorong ekonomi dengan memberi stimulus fiskal dan kebijakan moneter yang longgar, atau berhenti melakukan hal tersebut guna menjaga kesinambungan fiskal di jangka panjang. Beberapa bank sentral di wilayah regional sudah mulai ancang-ancang untuk menaikkan suku bunga dan menghentikan kebijakan moneter longgar (exit strategy). Pekan lalu, Bank of Korea bahkan telah menaikkan kembali suku bunga sebesar 0,25%, karena mulai khawatir akan ancaman inflasi yang meningkat. Kitapun dihadapkan pada ancaman terbesar pemulihan ekonomi global, yaitu apabila para pengambil kebijakan mulai berhenti mendorong ekonomi dan menaikkan suku bunga, di tengah kondisi ekonomi dunia yang masih rapuh. Saat krisis global melanda beberapa waktu lalu, hampir seluruh negara merespon dengan memotong suku bunga dan membiarkan defisit fiskal meningkat. Langkah tersebut dilakukan sebagai upaya mendorong perekonomian agar tidak semakin terpuruk dalam pusaran krisis. Namun, langkah tersebut bukannya tanpa masalah. Saat pemerintah terus menerus melakukan kebijakan mendorong ekonomi melalui defisit anggaran, permasalahan utang yang membengkak menghadang di depan. Krisis utang pemerintahpun mulai muncul dan menjalar seperti apa yang terjadi di Eropa. Selain itu, kebijakan moneter longgar menyebabkan uang beredar meningkat dan mendorong harga-harga ikut naik. Apabila defisit fiskal tadi dimonetisasi, inflasi yang tinggi kemudian menjadi ancaman. Akibatnya, suku bunga mulai harus ditingkatkan, dan langkah pemulihan ekonomi kembali terhambat. Dalam pertemuan G-20 kemarin, Jerman dan beberapa negara Eropa lain seperti Inggris, menjadi pihak yang mendukung usulan menaikkan pajak, menaikkan suku bunga, dan memotong pengeluaran guna menjaga stabilitas fiskal dan moneter Eropa. Namun di sisi lain, Amerika Serikat mengkhawatirkan langkah tersebut akan memberi akibat negatif pada ekonomi global yang masih rentan. Pemerintah dan bank sentral dihadapkan pada buah simalakama. Mereka berada dalam posisi yang serba salah, antara terus memberi stimulus atau berhenti memberi stimulus. Apabila mereka berhenti melakukan dukungan pada ekonomi, risikonya adalah krisis akan terjadi kembali (double dip recession), bahkan bisa jadi lebih parah. Namun, bila mereka terus mendorong ekonomi, posisi utang pemerintah negara maju sudah berada pada tingkat yang mengkhawatirkan. Posisi rata-rata utang pemerintah di negara maju anggota G-20 diperkirakan mencapai 107,7 persen dari PDB pada tahun 2010. Jumlah ini meningkat hampir 3 kali lipat dari negara berkembang di G-20, dan meningkat 80 persen dibandingkan tahun 2007. Bagaimana dengan Indonesia? Berbeda dengan permasalahan di negara maju, Indonesia berada pada posisi yang lebih baik dalam menghadapi krisis global. Defisit fiskal kita relatif aman dan terkendali. Pertumbuhan ekonomi Indonesia juga semakin membaik di tengah perekonomian dunia yang masih lesu. Prospek ekonomi untuk tahun 2010 inipun lebih baik dari perkiraan semua, bahkan akan tumbuh mendekati 6%, sehingga pada tahun 2011 diperkirakan dapat mendekati 6,5%. Kinerja yang membaik ini juga tercermin dari perbaikan outlook Indonesia yang dikeluarkan oleh lembaga rating internasional seperti Moody’s beberapa waktu lalu. [caption id="attachment_190679" align="alignleft" width="300" caption="Sumber Tekanan Inflasi Indonesia / sumber : BI"][/caption] Namun, ancaman bagi pemulihan ekonomi tersebut mulai nampak dari meningkatnya tekanan inflasi. Sebagaimana kita lihat dalam triwulan II-2010, inflasi di Indonesia tercatat sebesar 5,05% (yoy), atau meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya yang hanya sebesar 3,43% (yoy). Dilema tentu juga dihadapi oleh para pengambil kebijakan di negeri ini. Melakukan respon kebijakan terhadap inflasi perlu dilakukan secara berhati-hati dan melihat pada faktor-faktor penyebabnya. Respons kebijakan bank sentral sendiri, tentu harus konsisten dengan target pencapaian inflasi sebesar 5 plus minus 1 persen untuk tahun 2010 ini. Kebijakan suku bunga akan efektif apabila penyebab inflasi berasal dari faktor-faktor yang dapat dipengaruhi oleh suku bunga, seperti mulai tidak seimbangnya penawaran dan permintaan (output gap), tekanan nilai tukar, dan ekspektasi inflasi. Sementara itu, saat ini inflasi meningkat lebih banyak disumbang oleh kenaikan pada harga bahan makanan. Setelah bawang putih harganya meningkat, harga makanan utama seperti beras, bumbu, termasuk cabe mulai meningkat. Harga cabe misalnya, terus meningkat dan kini bahkan sudah mulai dijual satuan karena semakin mahal apabila dijual kiloan. Apabila kenaikan bahan makanan ini terus terjadi, pada gilirannya akan berdampak pada meningkatnya ekspektasi masyarakat akan inflasi ke depan. Masyarakat akan menghitung kenaikan inflasi dalam pembentukan harga-harga. Self fulfilling prophecy inilah yang juga akan meningkatkan inflasi ke depan. Oleh sebab itu, upaya bersama antara para pemutus kebijakan, khususnya terkait dengan sisi produksi dan distribusi bahan makanan, menjadi penting. Ingat, kita masih akan menghadapi bulan Ramadhan, hari raya Idul Fitri, Natal, dan Tahun Baru. Apabila pengendalian inflasi tidak dilakukan secara terkoordinasi, harga-harga akan terus naik, dan tentu akan berdampak pada pemulihan ekonomi yang sedang berlangsung. Salam.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun