Mohon tunggu...
Junaidi Muhammad
Junaidi Muhammad Mohon Tunggu... -

Bapak dengan 5 anak hebat, single parent, dan survivor gagal ginjal. Tujuan saya menulis untuk memotivasi sesama agar tetap kuat bertahan dalam sakit dan cobaan hidup yang mendera, serta meyakinkan bahwa kalian yang senasib dengan saya tidak sendirian.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menerima Kepasrahan

11 Desember 2017   13:08 Diperbarui: 12 Desember 2017   18:16 917
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sabar, tawakkal, pasrah, adalah ungkapan empati yang lazim kita ucapkan ketika sedang mengunjungi handai taulan yang tertimpa musibah dengan harapan ia yang tertimpa musibah dapat diberikan ketabahan dan ikhlas dalam menerima cobaan. Kali ini, tulisan ini mencoba mengajak pembaca untuk melihat sebuah musibah dari sudut si penderita atau yang tertimpa musibah.

Istri saya menjadi seorang penderita tumor stadium empat Thymoma Mediastinum yang menempel di paru-paru dan berujung komplikasi di hampir seluruh organ dalam. Saya tidak bisa membayangkan betapa berat perjuangan yang harus istri saya hadapi selama sisa hidupnya. Hingga pada satu sore di rumah sakit, Bunda tiba-tiba meminta saya untuk mengambil cuti sebulan penuh diluar tanggungan kantor.

"Pak jangan tinggalkan saya, saya ingin di masa-masa sulit ini, bapak selalu ada mendampingi saya", pintanya.

Tanpa berpikir panjang, saya penuhi permintaannya karena saat itu ia dalam kondisi yang benar-benar lemah. Saya memang tidak bisa selalu hadir untuk mendampingi Bunda di rumah sakit. Tuntutan pekerjaan membuat saya harus lebih banyak tinggal di Rembang dan bepergian ke luar kota. Namun, sebisa mungkin saya sempatkan ke Yogyakarta untuk ikut mendampingi Bunda di setiap kali kesempatan.

Sebulan berlalu sejak bunda meminta saya untuk cuti diluar tanggungan kantor. Bunda tanpa sepatah kata pun, melepas keberangkatan saya yang harus kembali Rembang. Baru dua hari saya kembali menjalani rutinitas di kantor, saya mendapat berita duka bahwa ayah mertua saya meninggal dunia. Malam itu juga saya segera berangkat ke Grobogan untuk ikut melayat dan melepas kepergian almarhum. Esok harinya, saya kembali bergegas ke Yogyakarta. Tiba di rumah sakit umum pemerintah tempat Bunda dirawat, saya dapati Bunda sedang berbaring di bed nya, dibalut mukena putih, menunaikan ibadah shalat maghrib. Saya salut, bahkan ketika dihadapkan dengan cobaan yang luar biasa besarnya, Bunda tidak pernah sekalipun melupakan kewajibannya. Ia sama sekali tidak pernah menyalahkan apalagi berprasangka buruk atas takdir yang dialamatkan kepadanya, alhamdulillah. Setelah Bunda menyelesaikan ibadahnya, pelan saya beritahukan bahwa Bapak (mertua) sudah tiada. Diluar dugaan, Bunda tanpa reaksi yang berlebihan menjawab,

"Kita semua toh memang akan mati pak." respon Bunda datar

"Pak, tambah cuti seminggu lagi ya." tambahnya

"Nggak enak Bu, kemarin sudah cuti sebulan." saya menjawab

"Bapak yang akan menyesal jika tidak nuruti permintaan saya." jawabnya singkat

Saya mecoba mengenyahkan firasat yang menghantui saya ketika Bunda meminta hal demikian. Saat itu saya mencoba tetap berpikir positif.

Enam hari kemudian, Bunda menunjukkan gelagat yang tidak biasanya. Terlihat bunda sangat tidak nyaman dan sangat gelisah. Ketika ditanya oleh putra-putrinya, Bunda hanya menjawab seperlunya. Upaya kami untuk mencoba menenangkan bunda dari apapun yang membuatnya gelisah juga tidak banyak membantu. Hingga tiba waktu ashar, tiba-tiba Bunda meminta bagaimanapun caranya untuk dipindahkan dari salah satu paviliun di rumah sakit umum pemerintah di Yogyakarta (tempatnya dirawat sejak sebulan terakhir) ke sebuah bangsal rawat inap kelas dua di salah satu rumah sakit islam swasta di Yogyakarta. RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta, bangsal Multazam, merupakan bangsal dimana Bunda banyak menghabiskan waktu perawatan selama sakitnya. Rumah sakit terutama bangsal tersebut telah mendapat tempat khusus di hati Bunda karena keakraban, keramahan dan rasa kekeluargaan yang selama ini dibangun oleh jajaran perawat dan dokter kepada pasien-pasien. Bukan hanya asas profesionalitas (yang kadang tidak manusiawi dan terkesan robotic) dari tenaga medis ke pasien.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun