Mohon tunggu...
Junaidi Muhammad
Junaidi Muhammad Mohon Tunggu... -

Bapak dengan 5 anak hebat, single parent, dan survivor gagal ginjal. Tujuan saya menulis untuk memotivasi sesama agar tetap kuat bertahan dalam sakit dan cobaan hidup yang mendera, serta meyakinkan bahwa kalian yang senasib dengan saya tidak sendirian.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Nomaden dan Kemandirian Hidup

5 Desember 2017   21:20 Diperbarui: 5 Desember 2017   21:23 676
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ari-ari (plasenta) saya diperlakukan istimewa oleh kakek saya yang kebetulan di kampung dikenal sebagai Sandro (dukun putuh).  Pada saat itu umumnya ari-ari bayi ditanam di sekitar rumah dan disinari lampu minyak, namun berbeda dengan saya. Ari-ari saya dibuang jauh ke tengah lautan oleh kakek saya. 

Beliau berkeyakinan dengan ikhtiar tersebut, cucunya (saya) akan menjadi perantau dan mampu sekolah tinggi di tanah rantau. Entah suatu kebetulan atau tidak, Wallahu a'lam bish shawab.

Setamat SMP kisah petualangan saya mulai bergulir. Setelah lulus saya merantau ke kota Sumbawa untuk menempuh pendidikan SMA. Untuk menghemat pengeluaran, orang tua memutuskan agar saya singgah di rumah  paman yang seorang petani  sekaligus juragan jual beli kerbau. 

Jam belajar saya pada saat itu sore hari pukul 15.30 hingga 20.00 malam, sehingga memberikan banyak spare waktu di pagi hari untuk membantu paman merawat tiga hektar sawah, lima hektar tegalan yang jaraknya 10 km dari kota, juga memberikan makan minum kerbau dagangannya. Karena keterbatasan waktu, seringkali kegiatan terakhir saya lakukan colongan pada jam istirahat sekolah selepas maghrib.

Di Sumbawa, budaya menitipkan anak sekolah ke rumah kerabat di kota umum terjadi. Gratis tanpa harus membayar kontrakan namun harus siap dengan konsekuensinya. Konsekuensi untuk lelah membagi waktu belajar dengan membantu kerabat yang rumahnya gratis kami tinggali. Kami harus pandai berterima kasih dan tau diri bukan?. Untuk itu kami harus pintar-pintar mengatur waktu untuk belajar. 

Ransel tentara tidak pernah lupa saya bawa ke sawah dan tegalan. Disela-sela istirahat saya manfaatkan untuk mengulang materi pelajaran di sekolah. Beruntung, di tengah padatnya aktifitas, saya dapat mengikuti pelajaran dengan baik dan selalu menyabet urutan tiga besar di sekolah. Dengan alasan ingin lebih fokus belajar, saya memutuskan untuk menyewa sebuah kos berbayar ukuran 3x4 pada saat kenaikan kelas 3 SMA. Alhamdulillah berhasil lulus dengan prestasi dan mendapat kesempatan beasiswa kuliah ke Surakarta, Jawa Tengah.

Sebagai anak petani miskin dari kampung, sekolah hingga tamat jenjang SMA sudah termasuk pencapaian yang tinggi. Ketika saya kabari Bapak saya bahwa saya mendapatkan beasiswa untuk kuliah ke pulau Jawa, dengan ekspresi datar dan seolah mengabaikan beliau menjawab "mana ada sekolah gratis, apalagi jauh ke Jawa. Jangan menghayal."

Jelang sehari sebelum keberangkatan, Bapak saya masih belum setuju. Sampai akhirnya saya harus memintakan tolong kepada guru dan kepala sekolah untuk datang ke kampung guna membujuk kedua orang tua saya. Singkat cerita, didapati kata sepakat pada siang hari dan malam itu juga pukul 00.00 saya harus segera ke pelabuhan untuk mengejar keberangkatan kapal pertama pada pukul 06.00 pagi

Bak menginjak bara api, Ibu dan saudara saya pontang-panting menyiapkan segala sesuatunya. Sekitar pukul 15.00 Bapak berhasil menjual seekor kerbau betina yang paling besar dan gemuk seharga Rp 125.000,- sebuah jumlah yang cukup besar pada saat itu. Rp 100.000,- diberikan untuk saya sebagai transport dan uang saku.

Truk penuh sesak diisi keluarga dan teman-teman yang mengantar saya ke pelabuhan. Sebuah kebanggaan bagi mereka untuk dapat berkontribusi kecil mengantarkan saya menuju perantauan pada saat itu. Sekitar pukul 05.30 saya dan rombongan tiba di pelabuhan. Saya bergegas meninggalkan rombongan menuju kapal. 

Hanya satu ransel di punggung dan kardus bawaan di kanan kiri mengiringi degup jantung saya yang berdegup kencang. Jangankan ke Jawa, menginjakkan kaki di Lombok pun belum pernah. Kapal bergerak perlahan seiring munculnya sinar matahari pagi. Lambaian tangan keluarga membuat saya tidak kuat menahan air mata. Bismillah, petualangaan saya dimulai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun