Ari-ari (plasenta) saya diperlakukan istimewa oleh kakek saya yang kebetulan di kampung dikenal sebagai Sandro (dukun putuh). Â Pada saat itu umumnya ari-ari bayi ditanam di sekitar rumah dan disinari lampu minyak, namun berbeda dengan saya. Ari-ari saya dibuang jauh ke tengah lautan oleh kakek saya.Â
Beliau berkeyakinan dengan ikhtiar tersebut, cucunya (saya) akan menjadi perantau dan mampu sekolah tinggi di tanah rantau. Entah suatu kebetulan atau tidak, Wallahu a'lam bish shawab.
Setamat SMP kisah petualangan saya mulai bergulir. Setelah lulus saya merantau ke kota Sumbawa untuk menempuh pendidikan SMA. Untuk menghemat pengeluaran, orang tua memutuskan agar saya singgah di rumah  paman yang seorang petani  sekaligus juragan jual beli kerbau.Â
Jam belajar saya pada saat itu sore hari pukul 15.30 hingga 20.00 malam, sehingga memberikan banyak spare waktu di pagi hari untuk membantu paman merawat tiga hektar sawah, lima hektar tegalan yang jaraknya 10 km dari kota, juga memberikan makan minum kerbau dagangannya. Karena keterbatasan waktu, seringkali kegiatan terakhir saya lakukan colongan pada jam istirahat sekolah selepas maghrib.
Di Sumbawa, budaya menitipkan anak sekolah ke rumah kerabat di kota umum terjadi. Gratis tanpa harus membayar kontrakan namun harus siap dengan konsekuensinya. Konsekuensi untuk lelah membagi waktu belajar dengan membantu kerabat yang rumahnya gratis kami tinggali. Kami harus pandai berterima kasih dan tau diri bukan?. Untuk itu kami harus pintar-pintar mengatur waktu untuk belajar.Â
Ransel tentara tidak pernah lupa saya bawa ke sawah dan tegalan. Disela-sela istirahat saya manfaatkan untuk mengulang materi pelajaran di sekolah. Beruntung, di tengah padatnya aktifitas, saya dapat mengikuti pelajaran dengan baik dan selalu menyabet urutan tiga besar di sekolah. Dengan alasan ingin lebih fokus belajar, saya memutuskan untuk menyewa sebuah kos berbayar ukuran 3x4 pada saat kenaikan kelas 3 SMA. Alhamdulillah berhasil lulus dengan prestasi dan mendapat kesempatan beasiswa kuliah ke Surakarta, Jawa Tengah.
Sebagai anak petani miskin dari kampung, sekolah hingga tamat jenjang SMA sudah termasuk pencapaian yang tinggi. Ketika saya kabari Bapak saya bahwa saya mendapatkan beasiswa untuk kuliah ke pulau Jawa, dengan ekspresi datar dan seolah mengabaikan beliau menjawab "mana ada sekolah gratis, apalagi jauh ke Jawa. Jangan menghayal."
Jelang sehari sebelum keberangkatan, Bapak saya masih belum setuju. Sampai akhirnya saya harus memintakan tolong kepada guru dan kepala sekolah untuk datang ke kampung guna membujuk kedua orang tua saya. Singkat cerita, didapati kata sepakat pada siang hari dan malam itu juga pukul 00.00 saya harus segera ke pelabuhan untuk mengejar keberangkatan kapal pertama pada pukul 06.00 pagi
Bak menginjak bara api, Ibu dan saudara saya pontang-panting menyiapkan segala sesuatunya. Sekitar pukul 15.00 Bapak berhasil menjual seekor kerbau betina yang paling besar dan gemuk seharga Rp 125.000,- sebuah jumlah yang cukup besar pada saat itu. Rp 100.000,- diberikan untuk saya sebagai transport dan uang saku.
Truk penuh sesak diisi keluarga dan teman-teman yang mengantar saya ke pelabuhan. Sebuah kebanggaan bagi mereka untuk dapat berkontribusi kecil mengantarkan saya menuju perantauan pada saat itu. Sekitar pukul 05.30 saya dan rombongan tiba di pelabuhan. Saya bergegas meninggalkan rombongan menuju kapal.Â
Hanya satu ransel di punggung dan kardus bawaan di kanan kiri mengiringi degup jantung saya yang berdegup kencang. Jangankan ke Jawa, menginjakkan kaki di Lombok pun belum pernah. Kapal bergerak perlahan seiring munculnya sinar matahari pagi. Lambaian tangan keluarga membuat saya tidak kuat menahan air mata. Bismillah, petualangaan saya dimulai.
Masih terekam jelas dalam ingatan saya, bagaimana serentetan detail perjalanan saya menuju tanah Jawa. Transit selama dua hari di Mataram untuk urusan administrasi beasiswa, oleh salah seorang pimpinan Muhammadiyah saya disarankan naik bus langsung ke Yogyakarta via Kapal Feri. Perjalanan panjang selama dua hari dua malam akhirnya berakhir di terminal kota Yogyakarta.Â
Setelahnya menuju ke kantor PP Muhammadiyah menaiki bus jurusan 04. Teman-teman dari seluruh Indonesia mulai berdatangan. Dua hari kami di Yogyakarta, kemudian secara bersamaan diberangkatkan via bus ke Pondok Pesantren Muhammadiyah Hajjah Nurriyah Shabran yang berlokasi di Makam Haji, Pabelan, Solo.
Sebagai tamatan SMA umum, mempelajari ilmu agama Islam dengan literasi full Bahasa Arab adalah tantangan besar pertama bagi saya. Satu demi satu teman saya yang memiliki latar belakang SMA umum seperti saya mulai berguguran dengan  berbagai alasan. Dari 30-an mahasiswa, tertinggal hanya 18 orang yang berhasil lolos mencapai gelar S1.Â
Paket pelajaran pondok kami dapatkan pada siang dan malam hari dengan sistem boarding school. Sementara dipagi hari kami mengenyam pendidikan reguler di Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Satu tahun jelang wisuda, saya menikah. Pada akhir tahun 1991 saya diwisuda S1 dimana anak pertama saya yang masih bayi ikut menyaksikan wisuda bapaknya dari gendongan ibunya. Sempat sebentar jadi pengangguran terdidik di rumah mertua di Jepara, selanjutnya berderet kota saya singgahi.Â
Petualangan karir saya dibeberapa perusahaan membuat saya harus tinggal berpindah-pindah; Godong, Purwodadi, Jakarta, Banda Aceh, Mataram, Sumbawa dan Yogyakarta. Di kota-kota tersebut keluarga saya menetap, namun seringkali tugas mengharuskan saya berpisah dari mereka untuk melakukan perjalanan dinas menyusuri banyak lokasi di Indonesia.
Kini, dalam kondisi terbatas karena penyakit gagal ginjal yang telah saya derita selama hampir dua tahun, dengan tertatih saya masih berusaha memenuhi kewajiban saya sebagai konsultan di BMT Bina Ummat Sejahtera (BUS) yang berpusat di Lasem, Jawa Tengah. Tujuh tahun sudah saya berkarir disini.Â
Kantor ini telah akrab dan menjadi saksi jatuh bangun saya dalam menjalani berbagai fase kehidupan; ketika saya masih aktif dan bugar, ketika saya terjatuh karena kehilangan istri saya, hingga ketika saya yang akhirnya tumbang digerus penyakit demi penyakit hingga sekarang.
Pada tahun 2013, BMT BUS menghargai hasil kerja saya dengan memberikan kado terindah; umroh ke tanah suci beserta istri saya. Melalui BMT BUS yang bekerjasama dengan Water.org juga telah memberikan saya kesempatan untuk menginjakkan kaki ke Benua Afrika (Kenya dan Uganda) guna studi banding terkait sanitasi air bersih. Perjalanan saya sungguh tak terduga. Alhamdulillah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI