Sebagaimana tertulis dalam biografi Saramago, dia merupakan sosok ateis sekaligus komunis yang berpikiran cukup kritis atas eksistensi Tuhan. Baginya, Tuhan memiliki sifat yang tak jauh berbeda dengan manusia: diliputi rasa ingin unggul dan mengalami rasa sedih. Berbeda dengan Ibn Tufail dalam karyanya yang berjudul Hayy bin Yaqdzon (2010), menyatakan bahwa Tuhan tak bisa diindera karena sifat-Nya tak terhingga. Hal ini sangat bertolak belakang dengan Saramago yang menghadirkan Tuhan sebagaimana sosok manusia.
Dalam karya ini -- Kain, Perjalanan Sang Pembunuh Pertama -- yang diterjemahkan oleh An Ismanto dari edisi bahasa Inggris berjudul Margaret Jull CostaCain, houghton miffling harcourt akan memberikan gambaran sifat ateis Saramago yang sedikit terasa lugu dan lucu tentang keimanan manusia pada Tuhan. Sebagaimana dijelaskan dalam kitab-kitab agama samawi yang meyakini penciptaan manusia pertama, Saramago memulai kisahnya dari manusia pertama, Adam dan Hawa.
Dikisahkan bahwa saat Adam dan Hawa hidup di taman Eden (surga), akhirnya diusir karena melakukan sebuah kesalahan akibat rayuan ular jelmaan setan, yaitu mereka melanggar larangan Tuhan agar tak mendekati satu pohon (hlm. 13). Percakapan dan dialog pun terjadi antara Adam dan Hawa hingga mereka dikeluarkan.
Alur penceritaan Saramago memang cukup artistik-estetis sekaligus sangat ekstrem dalam menggambarkan sosok Tuhan yang tak ubahnya memiliki kecemburuan. Adam dan Hawa pun hidup dalam hukuman Tuhan di dunia sebagai skenario-Nya dan kemudian memiliki anak. Sebagaimana disebutkan oleh Saramago, anak mereka yaitu Kain, Habel, dan Seth.
Kain bertani sementara Habel beternak. Hingga pada suatu ketika, tiba waktunya untuk mempersembahkan hasil kerja mereka masing-masing. Namun, persembahan yang diterima hanya milik Habel. Sehingga, akibat hinaan dari Habel, Kain menaruh kesal dan rasa tak suka, lalu dia membunuh Habel, saudaranya sendiri (hlm. 33). Kain tak mau disalahkan, Tuhan yang bersalah karena katanya, Dia yang berkuasa.
Pada saat itu, Kain -- menjelma manusia modern dengan rasionalitasnya -- berjumpa dengan Tuhan. Dia harus dihukum menjadi gelandangan dengan sebuah tanda hitam di dahinya. Dengan tanda itu, Kain akan menjadi gelandangan seumur hidup dan tak bisa mati.Â
Dia pun mengikuti perintah Tuhan untuk menggelandang, hingga masuk pada dunia masa depan dimana -- sebenarnya -- Saramago yang membawanya ke masa depan yang lebih modern atas kekuatan imajinasinya yang cukup tinggi dan bisa membakar keimanan orang-orang yang beragama dan mematuhi Tuhan.
Balas Dendam pada Tuhan
Dendam pada Tuhan di hati Kain bersemi meski dia tak menampakkannya dengan terang-terengan. Selama dalam pembuangannya, dia mencari kesempatan untuk membalas dendam. Hingga berbagai peristiwa yang lebih maju dari zamannya pun dilewati yang secara ragawi dia hidup jauh sebelum dunia berkembang dan maju.
Dia dipertemukan dengan orang bernama Lilith hingga melakukan persetubuhan dan memiliki anak (hlm. 51). Dia juga dipertemukan dengan Abraham yang diperintahkan oleh Tuhan untuk menyembelih putranya. Selain itu, dia juga menjumpai sebuah menara yang tujuannya menjangkau langit yang kemudian disapu oleh badai karena Tuhan tak ingin tersaingi, kaum Lot yang menyukai sesama jenis laki-laki lalu dikutuk oleh Tuhan bersama anak-anak yang tak berdosa, Musa yang bertemu Tuhan di gunung Sinai dan kaummnya membuat patung sapi dari emas untuk disembah, dan kemudian sebagai titik akhir hidupnya Kain bertemu dengan Nuh yang membangun perahu di daratan.
Meskipun Saramago beraliran ateisme, namun ateis yang diimaninya masih memercayai eksistensi Tuhan. Keimanan ateisnya masih lemah. Hal tersebut cukup jelas jika dilihat dari tokoh Kain yang digadang terus berjumpa dengan Tuhan, meskipun perwujudan-Nya diserupakan dengan mahluk yang juga memiliki kelemahan atas tugas-tugas yang harus diurus di dunia, termasuk mengurus mahluk-Nya di bumi.