Di era digital saat ini, berbagai opini atau gagasan masyarakat secara luas bisa disebar dalam tiap detik. Bukan hanya gagasan-gagasan yang disebar, tetapi lebih mengacu pada hal-hal remeh yang un-faedah. Dengan jelas dan tegas, saya katakan saja, Facebook -- karena media itu sering saya gunakan -- menjadi ajang berinteraksi. Entah dengan maksud menyebar inspirasi atau menyungsepkan pembaca dengan bahasa-bahasa propaganda dan adu domba.
Hal tersebut bukan hal yang asing lagi di tengah-tengah masyarakat yang kehidupannya dimanja oleh teknologi. Memang, dari sekian pengguna media sosial ada yang menebar tulisan-tulisan yang isinya menyejukkan dan menenteramkan. Tetapi, kita tak dapat memungkiri, tulisan-tulisan yang bernada kebencian pun tersebarluas seperti jamur atau benih-benih tumbuhan yang diterpa air saat musim hujan.
Seharusnya, masyarakat jangan mudah terpengaruh oleh tulisan-tulisan yang sifatnya provokatif. Lebih-lebih untuk meghindari agar mental atau pikiran tidak terisi oleh hal-hal negatif. Misalkan ikut mengumpat atau membuat tulisan tandingan yang nadanya juga penuh kebencian. Netizen yang membaca pasti gerah. Itu tak dapat kita mungkiri. Setidaknya, jika ada tulisan-tulisan yang bernada kebencian dan provokatif, kita melaporkan ke server.
Karena seperti yang saya dapat ketika berbincang dengan Pak Edi Mulyono (CEO penerbit DIVA Press Yogyakarta), menyelesaikan suatu perkara tidak cukup hanya dengan berbalas komentar di akun media sosial (medsos). Hal itu hanya akan menambah runyam persoalan dan panas pikiran. Padahal, ketika kita berhadapan langsung dengan orang yang bersangkutan, tentu nuansanya berbeda.
Jadi, untuk mengatasi segala bentuk tulisan yang berisi kebencian, penyudutan suatu pihak, dan provokatif, bukan dengan berbalas pisuhan atau sanggahan-sanggahan koementar di media sosial. Tetapi, kita perlu merealisasikannya dalam bentuk tatap muka dan mencari solusi terbaik agar bangsa ini tidak pecah hanya karena persoalan postingan yang berisi kebencian.
Untuk menanam kebencian saat ini, sungguh sangat mudah. Kita hanya tinggal menuliskannya dalam bentuk uraian di media sosial. Sudah pasti, tulisan itu dilirik oleh banyak orang yang membencinya. Nah, dari tulisan itu kemudian muncul kebencian-kebencian lain yang bersifat abstrak dan membunuh mental serta menguras pikiran.
Mari menebar gagasan yang menyejukkan dan mempererat persatuan melalui tulisan di media sosial. Hindari terjerumus dan terbawa pada arus tulisan-tulisan provokatif dan bernada kebencian. Itu un-faedah. Semoga!
* Penulis adalah Akademisi asal Sumenep, lulusan Sastra Inggris Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Ampel Surabaya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H