Hari ini - Sabtu, 25 November 2017 - merupakan Hari Guru. Di beberapa media sosial, aku membaca perihal catatan tentang Hari Guru. Sebagian ada yang bilang:
"Guru yang disenangani muridnya adalah guru yang jarang masuk (mengajar)"
"Kapan akan mengabdi jika para guru mabuk candu sertifikasi?"
Itu saja dua kutipan dari media sosial yang kuingat karena kebetulan membacanya. Ungkapan pertama aku mengalaminya. Dulu, saat masih sekolah atau kuliah pun, jika pengajar (guru atau dosen) tidak masuk alias tidak mengajar, aku merasa senang. Tapi, aku merasa tak senang juga kadang sama guru yang tidak mengajar ketika tugas dan buku materi pelajarannya sudah kukerjakan dan kubaca.
Kemudian kita bisa merenung. Kita senang saat guru tidak masuk. Sebenarnya, itu akibat kita tidak belajar materi pelajarn guru yang bersangkutan. Juga bisa jadi karena kita bisa santai sebab guru tidak masuk.
Untuk ungkapan kedua, aku tak mau menyalahkan siapapun para guru yang mengejar sertifikasi. Silakan. Tetapi, sebagai pribadi yang memiliki tugas dan tanggung jawab, maka penuhilah tugas dan tanggung jawab tersebut dengan baik (maksimal).
Guru  adalah orang yang patut digugu (dipercaya) dan ditiru. Masih adakah pribadi yang menjadi guru kita? Adakah orang yang ucapannya dipercaya dan tindakannya kita teladani? Siapakah guru kita?
Mari sejenak kita diam, mengheningkan diri, dan mencari siapa guru kita, yaitu orang yang ucapannya bisa digugu (dipercaya) dan tindakannya bisa ditiru atau diteladani.
Yogyakarta, 25 November 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H