Mohon tunggu...
Junaidi Khab
Junaidi Khab Mohon Tunggu... Editor -

Junaidi Khab lulusan Sastra Inggris UIN Sunan Ampel Surabaya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Ingatan Daun

13 November 2017   16:26 Diperbarui: 13 November 2017   16:33 970
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok. Kedaulatan Rakyat - Junaidi Khab

Orang-orang di seberang pasti  menganggapku dan tetangga kampungku sebagai orang tak tahu dunia yang  terus menggelinding maju. Aku semakin hari semakin merasa tak memiliki  dunia lagi. Seakan-akan dunia lenyap oleh gemerlapan dunia yang diangaap  harus berubah total. Padahal tak perlu mengikuti arus kerlap-kerlip  dunia yang pada kenyataannya merusak dunia.

Dahulu, nenekku mengajarkan cara  mendapatkan uang dengan cara yang mudah dan sederhana. Aku diajak ke  ladang-ladang dan ke hutan. Aku merasa masuk pada dunia baru di rimba  belantara. Tapi kini tak ada hutan yang bisa menjadi kenyataan hidupku.  Hidupku yang hakiki. Hutan-hutan ditebang dan yang tersisa hanya tanah  gersang. Jika tak gersang, tentu banjir menjadi pemandangan.

Usahaku dan nenek memetik daun-daun jati  atau daun pisang di ladang atau di hutan. Daun itu kemudian aku jual  bersama nenek ke pasar atau pada orang-orang yang menjadi langganan  harian. Selebihnya aku menjualnya ke pasar. Pada masa itu, daun jati dua  puluh lembar bisa mendapat uang lima ratus rupiah yang bisa membeli  kebutuhan dapur untuk lima hari. Sehari ibu dan nenekku hanya butuh uang  seratus rupiah untuk kebutuhan sehari-hari.

"Mit, jika kamu tiap hari rajin  mengumpulkan daun pisang dari ladang dan daun jati dari hutan, hidupmu  tak akan jatuh melarat karena tak punya uang."

Nasihat nenek masih saja terngiang di  telingaku meski usianya di dalam tanah sudah mencapai tiga puluh satu  tahun. Usiaku pada saat ini sudah menginjak kepala empat dengan bayi  dalam rahim istriku. Statusku tiap hari dimakan waktu dengan  ingatan-ingatan masa silam yang sebenarnya sangat kurindukan. Tiga  anakku kuajari agar tiap bepergian membawa tas yang kuanyam sendiri dari  bahan ijuk dan daun-daun menjalin yang kuat.

Istriku membuka toko aksesoris yang  menjual tas dan lainnya berbahan tumbuhan. Memang, teman-teman dan para  tetanggaku sedikit yang menghampiri. Tapi, bule-bule asing selalu  membeli dengan permintaan yang bervariasi. Orang-orang yang kuanggap tak  peduli alam ternyata anggapanku melesat. Bule-bule itu jarang membawa  kantong plastik. Mereka lebih suka membawa kantong bahan rajutan dan  anyaman keluargaku.

Kini, cara hidupku yang kadang kuanggap  unik meski kata teman-temanku juga udik sekali karena mereka sudah tak  ada yang melakukan lagi. Padahal, daun jati jika dibuat bungkus ikan,  aroma ikannya tak hilang dan sedap ketika dimasak. Para tamuku selalu  memuji masakan istriku. Aroma dan kelesatannya begitu terasa katanya.  Ini bukan rahasia lagi sebenarnya jika mereka mau menggunakan bungkus  makanan dari bahan dedaunan. Berbeda dengan zamanku saat ini yang sudah  berubah seratus delapan puluh derajat. Para tetangga dan pedagang kini  sudah menggunakan plastik sebagai bungkus belanjaannya.

***

Malam semakin larut dan tenggelam di  lautan sepi. Anak-anak sudah berlayar ke samudera mimpi. Gerasak-gerusuk  dari bilik kamar masih kudengar dengan jelas. Tak harus kutebak. Itu  bukan suara tikus yang menggerogoti gabah seperti di desa waktu aku  kecil dulu. Kuhampiri istriku yang seorang diri merajut rotan-rotan  pilihan dan daun-daun lentur di sekitarnya. Kulihat ada beberapa tas,  keranjang, dan bahan-bahan lainnya. Aku mendekati dengan perlahan  matanya tertuju padaku.

"Ada apa toh mas?"

"Sudah larut malam dek, lanjutkan besok saja."

"Iya mas. Ini sudah tinggal beberapa rajutan lagi."

Aku hanya menghela nafas mendengar  jawabannya. Tak ada jawaban lain. Istriku selalu menyelesaikan pekerjaan  rajutan berbahan dedaunan dan pepohonan. Aku hanya mengambil sebagian  rotan-rotan dan daun-daun yang sudah lembek. Kuanyam perlahan di samping  istriku. Hingga pikiranku membawa pada masa-masa kecil. Aku teringat  dengan banjir yang sangat kusenangi.

Pada masa kecilku dulu, jika ada banjir  aku dan teman-teman merasa teramat senang. Pada waktu itu, aku tak tahu  banyak tentang banjir. Tapi kata guru-guruku, di kota banjir sangat  ditakuti. Aku hanya terheran-heran. Aku dan teman-temanku jika ada  banjir di sungai sangat gembira untuk berenang. Hitung-hitung ketika  berenang dapat banyak kelapa yang terhanyut arus. Tapi tidak bagi orang  perkotaan katanya. Banjir menjadi bencana besar. Aku semakin tak paham  dengan hidup ini.

"Mas, mas..."

Istriku dengan suara lembut menegurku.  Anyaman di tangan masih setengah jadi. Bahan rajutan dan anyaman di  sekitarku sudah tak ada lagi. Aku hanya melihat-lihat tak keruan melihat  bahan-bahan itu sudah tak ada sisa. Aku mempercepat tanganku agar  anyaman tas daun bisa kuselesaikan.

"Iya dek. Sudah selesai ya?"

"Sudah sejak tadi mas. Ke mana saja pikiranmu kok melamun?"

"Oh, tidak. Hanya teringat masa kecilku dulu.

Istriku hanya mengulum seutas senyum dan  berlalu untuk membereskan hasil bahan rajutan dan anyaman dari bahan  dedaunan. Aku pun cepat menyelesaikan pekerjaanku. Lalu membantu istriku  yang membereskan semua aksesoris dari hasil tangannya. Seakan tak ada  resah, juga tak ada gelisah dalam perjalanan hidupku. Semuanya tampak  mulus dan penuh dengan bunga-bunga yang bernektar segar.

Bebintang di langit mulai tampak begitu  mengantuk. Rembulan sudah hampir tenggelam dengan model mirip senyuman  indah dari bibir istriku. Aku pun mengikutinya ke alam khayal di lautan  mimpi bersama sisa hidupku. Tiap malam dan tiap aku menutup mata,  bayangan masa-masa kecilku selalu hadir dengan beribu keindahan yang tak  kudapat kubayangkan. Seakan-akan tiap malam aku kembali pada masa  kanak-kanak dengan hasil daun pisang dan jati yang kukumpulkan di ladang  atau hutan bersama nenek. (*)

Surabaya, 14 Maret 2016

Oleh: JUNAIDI KHAB

Tulisan ini pernah dimuat oleh Kedaulatan Rakyat: Minggu, 20 Maret 2016 dan tayang di: JUNAIDI KHAB.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun