Polemik perkawinan tidak akan lekang oleh gerusan zaman. Karena perkawinan itu merupakan adat dan cara manusia menjalin hubungan terkait kebutuhan hidupnya. Secara sederhana perkawinan merupakan sebuah ikatan untuk membentuk keluarga antara laki-laki dan perempuan. Undang-undang nomor 1 Republik Indonesia tahun 1974 tentang perkawinan bab I pasal 1 menyatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam Kifayah al-Akhyar (Juz. II Hal.36) disebutkan bahwa pernikahan merupakan ungkapan sebuah akad yang memiliki beberapa rukun dan syarat.
Perkawinan memiliki norma-norma tersendiri dalam pelaksanaannya. Baik yang menyangkut dengan tatacara hingga, adat, dan budaya yang diyakini benar dan boleh oleh tiap-tiap individu berdasarkan agamanya masing-masing. Dengan norma tersebut pernikahan itu akan dikatakan sah jika sudah benar-benar memenuhi sayarat dan rukun yang sudah menjadi kesepakatan masyarakat berdasarkan pada keyakinan mereka masing-masing.
Seiring dengan aturan dan patokan kebolehan dalam menikah berjalan, lambat laun aturan yang sudah menjadi kesepakatan itu meruncing hingga berbuah polemik konflik. Misalkan dalam Islam yang memperbolehkan sebuah pernikahan pada anak usia dini. Aturan dan rujukan ini mengacu pada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Hisyam bin 'Urwah menyatakan bahwa nabi Muhammad Saw. menikahi gadis di bawah umur (umur 7/9 tahun) -- sayyidah Aisyah -- sedangkan dirinya sudah berusia lima puluh tahun.
Namun dalam beberapa literatur menyatakan bahwa keberadaan hadits tersebut tergolong lemah karena hanya berasal dari seoarang perawi saja. Selain itu pula disebutkan bahwa perawi saat meriwayatkan hadits tersebut ketika berada di Iraq daya ingatnya sudah lemah. Mengenai Hisyam ini, Ya'qub bin Syaibah berkata: "Apa yang dituturkan oleh Hisyam sangat terpercaya, kecuali yang disebutkannya tatkala ia sudah pindah ke Iraq." Syaibah menambahkan, bahwa Malik bin Anas menolak penuturan Hisyam yang dilaporkan oleh penduduk Iraq. (Ibn Hajar Al-Asqalani, Tahzib al-Tahzib. Dar Ihya al-Turats al-Islami, Jilid II, Hal. 50). Termaktub pula dalam buku tentang sketsa kehidupan para perawi Hadits, bahwa tatkala Hisyam berusia lanjut ingatannya sangat menurun (Al-Maktabah Al-Athriyah, Jilid 4, hal. 301). Alhasil, riwayat umur pernikahan Aisyah yang bersumber dari Hisyam ibn 'Urwah, tertolak.
Mentalitas dan Umur
Di Indonesia beberapa tahun terakhir ini mengenai pernikahan dini mulai mendapat sorotan dari publik. Padahal pemerintah dengan UU nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan menegaskan dalam bab II pasal 7 ayat 1 bahwa perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun. Namun dengan dalih menghindari perbuatan zina maka pernikahan dini di bawah umur yang ditetapkan oleh pemerintah masih saja dilakukan.
Peraturan perundang-undangan tersebut sudah standard dan menjadi patokan bagi pemuda dan pemudi Indonesia. Namun kendatipun demikian, aturan yang dibuat oleh pemerintah kehilangan taringnya dengan dalih masyarakat melakukan pernikahan dini di bawah umur merujuk pada hadits nabi Muhammad Saw. ketika menikahi sayyidah Aisya r.a. Padahal mereka tidak menyadari ketika pernikahan dini itu terjadi akan berdampak pada kehidupan yang akan dijalani oleh dua insan tersebut. Tentu akibat pernikahan dini ini banyak mengalami konflik keluarga dan bahkan banyak janda muda yang berseleweran.
Bukan salah siapa-siapa ketika hal tersebut terjadi. Namun perlu menjadi kesadaran bagi kita semua. Meskipun nabi menikahi Aisyah pada usia dini konon katanya berada dalam satu kamar ketika ia sudah berusia 17 tahun. Perbandingan antara manusia Arab dan Indonesia yaitu faktor usia dan iklim yang mengiringinya. Jika anak orang Arab berusia tujuh tahun sebanding dengan anak Indonesia yang berusia dewasa sekitar 22 tahunan. Yang mana hal tersebut diakibatkan oleh iklim yang panas sehingga mempercepat mentalitas kedewasaan anak perempuan dan postur tubuhnya pun jauh berbeda dengan bangsa Indonesia. Mereka memiliki postur tubuh yang besar dan tentu akan mengimbangi mentalitasnya ketika berumah tangga.
Dari sini kita akan memahami, bahwa kendatipun Nabi menikahi Aisyah pada usia 7/9 tahun tersebut keadaan fisik, psikis dan pola pikirnya tentu sudah dewasa dan memiliki postur tubuh yang bisa menopang mentalitasnya ketika berada dalam lingkungan keluarga. Berbeda dengan anak Indonesia meski berusia lanjut dewasa postur tubuh, psikis, dan mentalitasnya masih di bawah kendalinya. Sehingga pernikahan dini tersebut terlihat negatif dan melahirkan probelmatika baru akibat ketidaksesuaian antara fisik, psikis, dan mental pasangan suami istri di bawah umur.
Dari sini kita harus mampu membedakan antara umur dan mentalitas anak laki-laki dan utamanya anak perempuan. Karena belum tentu anak berumur cukup akan mampu berpikir dewasa dan mampu menyelesaikan suatu persoalan hidup dengan baik dan benar. Namun jika sudah mentalitas memadai meski berada pada usia di bawah umur setidaknya akan memberikan jaminan dalam mengarungi bahterah rumah tangga, layaknya Aisyah dengan nabi Muhammad Saw. Namun akan lebih arif lagi jika pernikahan itu memandang usia dan mentalitas orang yang akan menikah. Suatu pernikahan itu harus diukur dengan kedewasaan dalam berpikir dan diutamakan bagi mereka yang sudah cukup umur.
Oleh: Junaidi Khab*
* Penulis adalah asal Sumenep, lulusan Sastra Inggris UIN Sunan Ampel Surabaya.
Tulisan ini pernah dimuat oleh Duta Masyarakat: Sabtu, 04 Mei 2013 dan tayang di JUNAIDI KHAB.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H