Kaldu salah satu makanan bubur favoritku sejak aku mengenal masakan lezat di berbagai warung makan, Sumenep Madura. Tidak ada selain kaldu kacang hijau di benakku setiap kali mampir di warung makan. Bahkan teman yang kumaini pasti dengan akrab aku bertanya kaldu.
"Ayo, mana kaldunya?" Aku menyapa Pak Rasyidi selaku pangajar materi Sosiologi di kelasku waktu SMA. Itu kutanyakan setiap kali berkunjung ke rumahnya di Batu Dinding, Gapura, Sumenep Madura. Kadang di tengah perjalanan pun aku nanya kaldu.
Alangkah parahnya diriku kecanduan kaldu kikil yang selalu kuidamkan. Biasanya aku makan kaldu kikil hanya pada hari-hari tertentu. Seperti hari raya Idul Fitri. Karena pada hari itu berbagai masakan diolah oleh para tetangga. Jadi mudah untuk makan kaldu kikil gratis. Khususnya pada Hari Raya Ketupat, seminggu setelah Hari Raya Idul Fitri.
"Ayo Pik main ke rumah ki Marzuki." Aku ajak Taufik Umar sebelum berangkat solat 'Id ke musolla. Dia adalah sepupuku sekaligus teman akrabku di rumah.
"Ayo! Katanya di sana mau bikin kaldu kikil," jawab Upik dengan penuh semangat. Karena dia juga peminat kaldu gratis. Entah dari mana dia tahu kalau di rumah ki Marzuki itu mau bikin kaldu kikil. Jika urusan kaldu kikil gratis dia tidak pernah ketinggalan informasi.
Pada hari raya Idul Fitri itu setelah solat 'Id aku langsung menuju rumah ki Marzuki selaku tokoh masyarakat di kampungku. Eh, ternyata di sana sudah banyak orang yang juga mungkin mengharapkan suguhan kaldu kikil olahan istrinya (sepupuku) dengan gratis. Termasuk di antaranya, ada guruku, Pak Rasyidi, S.Sos.I.
"Ada di sini, Pak?" sapaku pelan karena banyak orang.
"Ya, kamu ke sini mau makan kaldu kikil ya?" jawab Pak Rasyidi sekaligus nanya dan sedikit menggojlok.
"Ya Pak," jawabku tegas dan dibuat-buat agar gak begitu ketara ketahuan kalau memang berniat makan kaldu kikil. Orang-orang di sana pada ketawain aku. Tapi aku gak hiraukan. Aku sok akrab saja. Padahal aku sudah tidak memiliki muka lagi di depan para tamu.
Perbincangan pun ramai di antara para tamu. Kaldu kikil kesukaanku pun dihidangkan. Aromanya menjadi seserambi tamu.
"Jun, kamu besok ikut aku ke kota." Eh, tiba-tiba Pak Rasyidi ngajak aku. Sambil ngunyah daging kikil kaldu, aku hanya melongok.
"Ya Pak, siap!" jawabku semangat, karena aku gak pernah menolak ajakan Pak Rasyidi.
***
Acara makan-makan pun usai. Para tamu sudah bubar begitu pula aku, Upik, dan Pak Rasyidi. Gak ada sisa sedkitpun dari kaldu di piring masing-masing. Dijilat hingga bersih.
Keesokan harinya. Aku langsung menemui Pak Rasyidi di rumahnya. "Ayo Pak, katanya mau jalan-jalan ke kota," ajakku gak tahan ingin cepat berangkat dengan harapan nanti markir di warung bu Sadik selaku penjual kaldu kikil di pinggiran jalan kota Sumenep.
Aku berangkat dengan naik motor boncengan. Ternyata doaku terkabulkan. Pak Rasyidi ternyata ke kota memang hanya untuk makan kaldu kikil di warung bu Sadik. Aku senang. Aku bisa makan kaldu kikil dengan gratis lagi.
"Bu, pesan dua porsi kaldu kikil." Pak Rasyidi memesan kaldu untuk nraktir seleraku. Dua mangkuk kecil pun datang disuguhkan oleh bu Sadik.
"Ayo makan Jun," pinta Pak Rasyidi. Aku hanya mengiyakan dan mengangguk kegirangan.
Semangkuk kaldu sudah hampir habis punya Pak Rasyidi. Beda dengan punyaku masih tinggal separoh mangkuk. Enaknya bukan main. Eh, ternyata saat aku enak makan, ada yang mengganjal di dalam mulutku. Keras kayak kacang ijo yang belum matang. Tapi bentuknya agak besar. Pinggirannya agak gitu kasar dirasakan lidah. Kukunyah keras-keras dan akhirnya remuk juga. Kutelan bersamaan dengan kuah kaldu campur kikil yang super lezat.
Ternyata bu Sadik mondar-mandir di sekitar dalam warung. Aku gak tahu maksudnya secara pasti. Tapi tingkahnya berhasil membikin aku penasaran. Longok sana, longok sini kayaknya mencari sesuatu yang hilang. Karena penasaran Pak Rasyidi tanya. "Bu, cari apa?"
"Aku cari geraham yang sering copot nak," jawab Bu Sadik dengan nada lirih takut ketahuan orang-orang di sekitarku yang kebetulan juga  nunggu angkring di warungnya.
Aku mual-mual mau muntah. Tapi kutahan rapat-rapat. Ternyata benda keras mirip kacang ijo yang belum matang itu aku yakin geraham bu Sadik yang jatuh ke dalam mangkuk kaldu kikil yang kumakan tadi. Wah, sejak itu aku trauma makan kaldu kikil di warung yang pelayannya sudah tua dan nenek-nenek. Elus dada pelan-pelan.
Oleh: Junaidi Khab
Surabaya, 24 Oktober 2012
CATATAN: Kisah ini merupakan saduran dari kisah yang benar-benar terjadi pada seseorang di Sumenep. Tapi aku tak tahu tokoh utamanya. Maka dari itu, tokoh utamanya aku sendiri saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H