Menyoal problematika pernikahan dini tak ada habis-habisnya diperbincangkan dari generasi ke generasi. Masalah yang sudah ada sejak era kelahiran Baby Boomers (generasi X), bahkan mungkin masa sebelumnya lagi ini menjadi 'pekerjaan rumah' bagi agent of change di era milenial. Hal ini pastinya termasuk pula untuk para pendidik secara umum, terkhusus sentilan keras bagi guru agama, guru Pkn, hingga guru BK. Karena hal ini berkaitan erat dengan perilaku sosial dan pembentukan karakter serta masa depan generasi (peserta didik).
  Kilas balik pada Kamis 22 April 2021, penulis pernah ikut menghadiri undangan Bapak Gubernur Prov. Kepulauan Provinsi Bangka Belitung di rumah dinas Wakil Bupati Belitung (sekitar Masjid Al Ihram Tanjungpandan). Pada pertemuan itu, turut hadir Ketua MUI, Ketua DMI, FKUB Kab. Belitung dan Belitung Timur, serta Ketua HMI dan beberapa tokoh masyarakat lainnya. Pada kesempatan itu, Bapak Erzaldi selaku Gubernur Babel memulai pembicaraannya membahas masalah nikah mudah dan perceraian dini. Pada kesempatan ini juga beliau menceritakan tingkat atau ranking perceraian di Prov. Bangka Belitung itu pada peringkat ke-4 dari seluruh provinsi se Indonesia.
  Tentu saja ini menjadi hal yang sangat miris dan menyedihkan. Pertemuan itu menjadi pemantik bagi para tokoh masyarakat yang ada agar dapat memberikan solusi, dan tentunya dapat menekan angka pernikahan muda dan perceraian dini tersebut. Menurut Erzaldi, sebaik apa pun ide dan strategi yang telah kita siapkan, hal ini tentu tidak dapat tewujud jika tidak ada dorongan dan kekompakan dari MUI, DMI, Da'i muda, dan tokoh agama, serta lembaga lainnya.
  Menikah bukan saja menjadi keharusan yang ditunaikan oleh setiap orang, agama apa pun memerintahkan umatnya untuk menikah dan menjalin kisah kasih dengan pasangannya. Bahkan dalam agama Islam, menikah dapat menyempurnakan sebagian dari 'setengah' agamanya dan sudah barang tentu itu merupakan ibadah yang tak ternilai pahalanya. Menurut hadis Nabi Muhammad SAW "........dan aku juga menikahi wanita. Maka siapa yang saja yang membenci sunnahku, berarti bukan dari golonganku." (HR. Muslim).
  Kendati, menikah merupakan perintah Allah SWT dan Rasulnya dan ladang pahala bagi kedua pasangan, bukan berarti menjadi alasan untuk menyegerakan atau menggampangkan untuk menikah dan bukan pula untuk menghalangi-halangi pernikahan tersebut. Sejatinya, menikah bertujuan selain memperbanyak pahala, keturunan dan terciptanya kebahagian. Namun yang tidak kalah penting adalah selalu menjalin hubungan yang harmonis baik bagi suami istri dan kedua keluarga pasangan dan terhindarnya dari perpisahan. Â
  Selain itu, belakangan ini juga terjadi kemunduran atau degradasi moral di kalangan remaja kita hingga menimbulkan pergaulan bebas. Tak pelak banyak orang tua berinisiatif untuk menyegerakan anaknya menikah dini supaya terhindar dari perbuatan yang tercela. Imbuhnya, mereka pun berdalih menikah muda pernah terjadi pada sayyidah Aisyah yang dinikahi oleh Nabi Muhammad SAW pada umur 9 tahun. Nampaknya masih banyak yang salah dalam memahami hadis ini.
  Terlepas dari itu semua, nikah muda juga terlaksana karena disebabkan oleh faktor ekonomi yang kurang mampu, ditambah lagi dengan persoalan pandemi Covid19, serta juga disebabkan oleh pergaulan bebas dengan tujuan untuk menutup aib keluarga. Alhasil, akibat lainnya sudah pasti menanti, seperti menikah yang tidak tercatat di KUA, anak yang lahir sulit mendapatkan akta lahir, dan masih banyak lagi turunan persoalan yang lebih intim.
  Walaupun tokoh masyarakat, dai muda, agama dan tokoh wanita begitu giatnya dalam mengampanyekan terkait negatifnya nikah di bawah umur. Akan tetapi dengan berbagai persoalan yang akan dihadapi, persoalan-persolan lain seolah-olah timbul dari persoalan utama tersebut. Maka dari itu, sudah sewajarnya pemerintah pada waktu itu melalui KPPA dan Kementerian Agama RI telah mengajukan untuk menaikan usia nikah yang sebelumnya batas usia nikah diatur dalam Pasal 7 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah 19 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk perempuan.
  Terkait dari batas minimal usia nikah juga sebelumnya pernah digugat di Mahkamah Konstitusi meski pada waktu itu belum dikabulkan. Hingga kemudian pada akhirnya atas desakan pemerintah, berbagai tokoh wanita dan LSM, peraturan usia nikah bagi wanita disamakan dengan batas usia nikah laki-laki yakni 19 tahun. Kendati demikian, peraturan yang telah disahkan oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 14 Oktober 2019 tersebut tidak menutup celah akan terjadi nikah di bawah umur. Â
  Umur yang relatif muda sudah pasti kurangnya pengetahuan dan pengalaman hidup. Jika ditanya seberapa pentingnya wawasan, maka penulis akan menjawab sangat penting. Apalagi wawasan tersebut terkait pengetahuan agama. Untuk itu, bagaimana mungkin para pemula yang harus menyebrangi lautan yang luas dengan menggunakan sebuah kapal yang canggih tapi tanpa mengetahui fungsi kompas dan navigasi, peran, hak dan kewajiban masing-masing. Akhirnya bukan sampai pada pelabuhan di sebrang, namun yang terjadi adalah karam di tengah luasnya lautan. Lalu, siapa yang salah?
  Nah, di sinilah penulis menekankan peran orang tua sangat berpengaruh dan mempengaruhi. Orang tua memiliki peran sangat penting untuk mendidik anaknya dalam memberi wawasan keagamaan dan pengalaman hidup lainnya. Kepada orang tua, mulailah dengan menjelaskan kepada mereka dampak negatif dan bahaya nikah muda dengan memberi contoh kehidupan orang lain yang pernah nikah muda. Misalnya terjadinya kekerasan dalam berumah tangga (KDRT) yang mengakibatkan luka pada tangan istrinya. Di mana persoalan tersebut bisa berawal dari tidak adanya makanan di atas meja kemudian berakhir di meja hijau (perceraian).
  Menurut Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Hasto Wardoyo, mengatakan bahwa bagaimana pun usia ideal pernikahan terutama untuk perempuan adalah di atas 21 tahun. "Perkawinan usia muda akan memunculkan berbagai risiko bagi pasangan pengantin. Begitu pun risiko bagi bayi yang akan dilahirkan" ucapnya. Tak hanya berdampak pada psikologis, pernikahan usia muda juga bisa memicu sejumlah masalah kesehatan, khususnya pada perempuan. Berikut beberapa dampak kesehatan menurut Hasto Wardoyo, yakni:
  Pertama, sebuah studi menunjukkan adanya hubungan antara usia ibu saat melahirkan dengan angka kejadian stunting. Semakin muda usia ibu saat melahirkan, semakin besar kemungkinannya untuk melahirkan anak stunting. Stunting merupakan kondisi kekurangan gizi kronis yang terjadi selama periode paling awal pertumbuhan dan perkembangan anak. Tak hanya tubuh pendek, stunting juga memiliki banyak dampak buruk untuk anak (MCN, 2009).
  Kedua, kondisi panggul yang sempit membuat persalinan jadi macet. Tak hanya itu, kondisi ini bahkan memicu risiko kematian saat melahirkan. "Kondisi panggul yang sempit mengancam kematian," ujar Hasto. Hasto mengatakan, saat usia remaja seperti 16 tahun, diameter panggul perempuan baru selebar 8 cm, sementara ukuran kepala bayi mencapai 9,8 cm. Ukuran panggul baru akan membesar pada usia 19-21 tahun.
  Ketiga, risiko kematian pada perempuan berusia 10-14 tahun memiliki kemungkinan meninggal dunia lima kali lebih besar selama kehamilan, dibandingkan dengan perempuan berusia 20-25 tahun. Sementara pada usia 15-19 tahun, perempuan memiliki risiko kematian dua kali lebih besar saat hamil. Tak hanya itu, proses kehamilan dan persalinan juga akan terasa lebih menyakitkan dari biasanya. Yang mana, saat hamil terlalu muda, perempuan berpotensi mengalami robek mulut rahim saat proses melahirkan yang menimbulkan ancaman pendarahan serta kematian.
  Keempat, menikah pada usia terlalu dini membuat perempuan berisiko tinggi terhadap perkembangan kanker mulut rahim atau serviks. Di usia remaja, sistem reproduksi perempuan belum berkembang secara sempurna sehingga menjadi rentan. Kanker serviks sendiri merupakan kanker atau adanya pertumbuhan abnormal pada sel-sel di leher rahim. Kanker ini tak memperlihatkan gejala pada tahap awal. Gejala baru muncul saat sel kanker sudah mulai menyebar.
  Kelima, mengganggu pertumbuhan tulang, perempuan yang hamil pada usia muda berisiko mengalami pertumbuhan tulang yang terhenti. Tulang juga menjadi cenderung keropos. Menurut Litbang CNN TV, di usia menopause karena nikah muda bisa menjadi bungkuk, mudah patah tulang, dan menjadikan usia tua tidak produktif.
  Dampak negatif nikah muda lainnya juga dapat seperti putus sekolah, akan lebih berpeluang mengalami KDRT, dan sudah barang tentu akan mengurangi keharmonisan dalam rumah tangga, dan bahkan dapat berakhir pada perceraian. Tentunya hal ini disebabkan oleh cara pola pikir yang belum matang. Di samping itu, hal ini bisa diperparah dengan adanya ego yang tinggi dan kurangnya rasa tanggung jawab pada rumah tangga.
  Nikah muda bukanlah satu-satunya solusi untuk menghindari terjadinya perbuatan tercela pada anak dan kesulitan ekonomi pada orang tua. Namun faktanya nikah muda banyak menimbulkan persoalan yang lebih kompleks bagi anak dan orang tua.
  Memang tidak menutup kemungkinan ada yang menikah muda yang harmonis. Akan tetapi peluang itu sangatlah kecil sekali dan tetap saja hal itu tidak dapat dibenarkan baik dalam pandangan agama dan peraturan pemerintah. Dan perlu penulis tegaskan, hal itu tidaklah cukup dan sangat tidak kuat untuk dijadikan alasan melakukan menikah muda. Karena dampak-dampak negatifnya hingga saat ini telah menjadi realitas hitam sosial yang sepatutnya kita atasi bersama-sama.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H