Dalam agama Buddha terdapat syair dalam Dhammapada yang membahas tentang pikiran adalah pelopor. Benar, semuanya tindakan dan ucapan kita bergantung terhadap pikiran. Pikiran bilang lapar maka mulut kita mengunyah makanan. Pikiran bilang berdana, maka tangan kita memberikan makanan kepada orang lain.
Apabila membahas tentang pikiran, saya merasa banyak hal yang seharusnya tidak perlu dipikirkan. Kenapa demikian?
Semuanya bermula di siang ini. Saya membaca sebuah buku yang berisi tentang kebencian. Lantas saya menjadi teringat akan perkataan seseorang "saya melihat pemuka agama itu memiliki masa lalu yang buruk" dan "saya melihat pemuka agama itu berasal dari orang yang tidak baik".
Dua kalimat itu saya renungkan dengan baik dan saya memperoleh sebuah jawaban.Â
Jawabannya adalah "mengapa kita terlalu memikirkan bahwa pemuka agama itu memiliki masa lalu yang buruk atau tidak?"Â
Tentunya itu bukan sebuah jawaban, justru sebuah pertanyaan terhadap dua pernyataan sebelumnya. Apabila direnungkan kembali ya memang kenapa kalau ada orang yang memiliki masa lalu buruk? Bukankah setiap orang berhak untuk memperbaiki kehidupannya? Bukankah setiap orang berhak untuk mengubah perilakunya dari buruk menjadi baik? Bukankah setiap orang berhak untuk dipercaya kembali?
Lagi-lagi, pikiran kita terkadang terlalu liar dan jauh menilai seseorang. Apakah menjadi masalah ketika seseorang yang memiliki masa lalu buruk kemudian menjadi pemuka agama, seperti bhikkhu misalnya? Yang justru menjadi masalah adalah persepsi dan argumen kita bahwa sebenarnya kita tidak mudah percaya kepada orang yang berkali-kali berbuat buruk. Yang justru juga menjadi masalah adalah ketika bhikkhu itu menyesatkan orang untuk berbuat jahat, kalau bhikkhu itu mengarahkan kita pada kebaikan tentu bukan masalah toh?
Pikiran liar ini perlu dikendalikan. Jangan sampai membikin banyak persepsi baru yang ujung-ujungnya membuat diri sendiri susah. Biarlah orang yang buruk menjadi baik dan jangan biarkan diri sendiri yang sudah baik justru menjadi buruk karena mencemooh orang lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H