Mohon tunggu...
Juna Hemadevi
Juna Hemadevi Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

Seorang manusia yang masih terus belajar.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Kemelekatan adalah Lem Super Penyebab Kesengsaraan

30 Januari 2023   20:30 Diperbarui: 30 Januari 2023   20:32 1363
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ratiy jyat soko, ratiy jyat bhaya.

Ratiy vippamuttassa, natthi soko kuto bhaya.

Dari kemelekatan timbul kesedihan, dari kemelekatan timbul ketakutan;

Bagi orang yang telah bebas dari kemelekatan, tiada lagi kesedihan maupun ketakutan.

-Dhammapada : 214

Buddha menuntun kita pada bebasnya penderitaan. Supaya tidak menderita, salah satu caranya adalah tidak melekat. Baik itu melekat pada kekayaan, kedudukan, ataupun orang-orang yang dicintai.

Bermula dari kemelekatan, perasaan khawatir dan takut muncul menyebabkan kita menderita.

Kemelekatan Terhadap Kekayaan

Begitu melekatnya kita dengan kekayaan, kita menjadi takut dan khawatir kekayaan itu akan hilang dan habis begitu saja. Kita takut suatu hari maling masuk ke rumah dan mengambil semua harta benda yang berharga. Kita khawatir suatu hari nanti orang tidak mengembalikan uang yang ia pinjam.

Saking takutnya kehilangan kekayaan, kita sampai lupa diri akhirnya menjadi orang yang pelit dan tamak. Saat ada orang membutuhkan bantuan materi, kita menjadi acuh. Menganggap mereka tidak layak dibantu atau bahkan berpikir bahwa mereka hanya pura-pura saja agar dikasihani.

Saking inginnya kekayaan bertambah, kita sampai menipu orang. Berbisnis dengan menaikkan harga barang dua kali lipat. Bahkan tega menipu banyak orang dengan kedok investasi. Padahal saat simpati tidak muncul hingga menipu orang lain, saat itulah kita sebenarnya menderita tapi tidak dirasa--hidup menjadi stress karena dikuasai rasa haus akan kekayaan.

Kemelekatan Terhadap Kedudukan

Begitu melekatnya dengan kedudukan akan membuat takut dan khawatir bahwa posisi kita akan tergantikan. Kedudukan ada bermacam-macam, baik lingkup pekerjaan--direktur, keluarga--orang tua, dan lingkup pertemanan--ketua geng. 

Sebagai direktur, kita takut suatu hari nanti tergantikan. Kita khawatir orang lain nantinya tidak bisa memimpin dengan baik. Alhasil tidak ada regenerasi direktur yang mengakibatkan perusahaan tidak berkembang.

Kadang, orang tua pun tidak mau tergantikan posisinya. Seorang Ibu selama hidupnya akan tetap mengatur anak-anaknya meski mereka telah berumah tangga. Persoalan mau membuka usaha apa dan di mana, seorang Ibu akan terus mengatur. Menurut Ibu, anak mereka tetaplah anak kecil, padahal sudah dewasa dan bisa mengambil keputusan. Alhasil, saat anak-anaknya tidak menuruti kemauan sang Ibu, Ibu juga yang menderita. Begitu juga Ayah, ia akan terus mengatur anak-anaknya supaya hidup dengan jalan yang baik, padahal belum tentu si anak ini dengan suka rela mengikuti kemauan sang Ayah.

Begitu pula dalam lingkup pertemanan, pasti ada salah satu yang ingin dianggap selalu ada. Bahkan keputusan pun harus mengikuti satu orang saja. 

Kemelekatan Terhadap Orang-Orang yang Dicintai

Meninggalnya orang terdekat akan menyisakan luka yang mendalam. Sampai berhari-hari tak mau makan, tak mau bekerja, bahkan ada yang ingin menyusul ke alam lain juga. Padahal belum tentu ikut meninggal pun akan terlahir di alam yang sama. 

Diputus pacar atau diceraikan pasangan pun bisa meninggalkan luka yang mendalam. Stres kalau tidak ada pasangan--tidak ada yang masakin & mencucikan pakaian, tidak ada yang diajak curhat, bahkan sampai seperti orang gila karena tidak pernah mandi ataupun berganti pakaian.

Kalau dipikir ulang, kepergiaan orang yang dicintai bukanlah beban yang harus diangkut. Justru harus dibiarkan dan dilepaskan. Semakin kita melekat dengan mereka, semakin kita menjadi orang gila yang menyia-nyiakan kesempatan untuk menjadi lebih bahagia.

Semakin kita melekat dengan hal-hal yang disenangi, semakin sengsara pula hidup kita. Jadi, saat memiliki apapun, bukan berati kita harus memeluknya erat-erat, tapi membiarkan apapun yang kita miliki sebagai apa adanya. Mereka adalah sesuatu yang anicca (tidak kekal). Bisa aja hari ini kita bergelimang harta dan tertawa bersama orang-orang tercinta, tapi hari esok bisa saja kita jatuh dalam roda kemiskinan dan tangisan atas kematian keluarga. Lantas, apa yang perlu dilekati kalau segala sesuatu di dunia ini tidak kekal?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun