Senyumnya masih saja ditanggalkan di atas meja. Iya, pemuda itu, Halilintar yang sering Mega sebut sebagai Lintar. Entah apa yang dia pikirkan saat itu. Alam pun merasa aneh melihat apa yang ia lakukan detik itu. Angin-angin terus menghempas badannya yang sedikit berisi.Â
Suara kodok berlalu-lalu lalang ditelingaku dan telinganya. Kicauan burung di belakang rumah menambah aneh apa yang aku lihat dalam dirinya. Serasa sebongkah bola api bukan menjadi alasan ia gelisah, tetapi bongkahaan es batu menjadi kegelisahannya. Tidak dingin seperti biasa, dan kini ia menjadi panas, berkat surya yang sudah menunjukkan sedikit wajahnya diantara kaut tebal yang menyelimuti rumah kami.
Alam terasa sejuk, tapi juga tidak. Mega pun datang kepada Lintar. "Hai, kawan. Masihkan angin ribut itu terus mengganggumu? Ataukah kicauan mulut mereka masih membiaskan pandanganmu?"
"Sudahlah Mega, aku pun bisa apa?"
"Hmm, aku pun tidak tahu kamu harus melakukan apa. Baiklah, aku akan ke pasar membeli bahan-bahan sup daging. Aku akan memasaknya untukmu."
"Terima kasih kawanku."
Mega kala itu cukup tersenyum. Sandal jepitnya selalu setia menemaninya ke manapun, termasuk ke pasar untuk membeli bahan-bahan sup daging. Aku masih tidak percaya. Masih ada perempuan yang rela berjalan menyusuri parit-parit sawah demi pemuda itu. Baiklah, aku hanya bisa mengatakan, sungguh luar biasa semesta ini, ada pasangan yang elok untuk dipandang setiap hari.
Beberapa saat kemudian...
"Lintar, aku pulang."
"Mega." Wajahnya sedikit memerah, pertanda dia sedikit membaik dari pagi tadi.
"Iya, Lintar."