Mohon tunggu...
Juna Hemadevi
Juna Hemadevi Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

Seorang manusia yang masih terus belajar.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Membunuh Itu Berat, Yuk Cari Solusinya!

3 November 2022   19:00 Diperbarui: 3 November 2022   18:58 314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

A: "Kamu Buddhis bukan sih?"

B: "Iya, emang kenapa?"

A:"Kok bunuh semut? Kasihan tahu, kalau kamu gantian dibunuh sama semut gimana?"

B: "Hah, aneh. Mana mungkin semut sekecil itu bisa bunuh aku."

A: "Jangan sepelein semut loh, kalau dia datang dengan seribu pengawalnya, bisa apa

kamu?"

B: "Lari lah."

A: "Apakah semudah itu?"

B: "Hmm, entah."

Menjadi seorang Buddhis bisa dikata gampang-gampang susah. Kita berbuat baik, nanti bisa membuahkan hasil yang baik. Kita berbuat tidak baik, nanti menghasilkan buah yang tidak baik. Ya begitulah, tapi, untuk menjadi seorang Buddhis kita tidak harus juga masuk dalam agama Buddha. Berdasarkan kepercayaan yang sudah kita miliki saat ini, kita juga bisa menjadi seorang Buddhis dengan meyakini bahkan menerapkan ajaran Buddha, yaitu ajaran welas asih, memercayai ketidakkekalan, dan percaya hukum karma.

Ada beberapa hal yang sebenarnya bertolak belakang antara pemikiran sebagai orang Buddhis dan praktiknya. Seperti larangan untuk tidak membunuh makhluk hidup. Membunuh tidak hanya diartikan sebagai menghilangkan nyawa dari makhluk hidup lainnya. Tapi juga berkaitan dengan mental orang lain. Kita bisa membunuh satu ekor semut per hari dan selama setahun tidak terasa ternyata sudah membunuh 356 ekor semut. Setiap hari kita membunuh perasaan orang lain dengan berkata kasar, kalau setahun, sudah berapa banyak perasaan dan mental orang lain yang sudah kita bunuh? Hitung saja sendiri.

Membahas lebih lanjut tentang karma, ada empat sifat karma, di antaranya: (a) karma itu pasti; (b) pertumbuhan karma sangat pesat; (c) kita tidak akan mengalami akibat dari karma yang tidak kita lakukan; dan (d) karma yang telah hilang tidak akan hilang begitu saja. Karma itu hal yang pasti. Seperti syair dari Nagarjuna, "Dari ketidakbajikan, muncul segala bentuk penderitaan, dan tentu saja, semua alam menyedihkan. Dari kebajikan, muncul segala bentuk kebahagiaan, dan tentu saja, semua alam menyenangkan". Jadi, segala perbuatan baik maupun tidak baik yang telah kita lakukan pasti akan berbuah entah kapan waktunya bisa saat ini juga, besok, tahun depan, atau bahkan di kehidupan selanjutnya.

Pertumbuhan karma juga sangat pesat, perbuatan sekecil apapun akan menghasilkan karma yang besar apabila kita tidak segera mengakuinya dan mengubah perbuatan kita. Misal kita membunuh satu semut dan tidak segera mengakui, maka keesokan harinya karma bisa bertambah dua kali lipat dan seterusnya. Apalagi kalau kita membunuh makhluk hidup dengan ukuran melebihi semut, bagaimana ya karmanya?

Kita juga tidak akan menerima akibat dari karma yang tidak kita lakukan. Kita tidak mungkin akan dicopet apabila kita tidak mencopet, kita juga tidak mungkin dibohongi apabila kita tidak membohongi. Kita juga bisa selamat dari suatu kecelakaan yang besar, ini bukan suatu keajaiban, tapi memang buah dari karma yang tidak kita lakukan. Dan karma kita tidak akan hilang begitu saja. Meski kita sudah banyak berbuat baik, tetapi kita belum bisa menghancurkan klesha atau kekotoran batin, maka karma itu akan terus berbuat. Begitu juga bila kita terus melakukan perbuatan buruk dan tidak segera memurnikannya, maka kita akan terus menerima karmanya.

Dalam cuplikan paragraf yang saya temukan dalam buku What Makes You Not a Buddhist, "Dalam kisah lain, Siddhartha mengingatkan seorang tukang jagal bahwa membunuh akan menimbulkan karma buruk. Tetapi tukang jagal itu berkata, 'Cuma ini yang bisa saya lakukan, ini mata pencaharian saya.' Siddhartha meminta tukang jagal itu setidaknya bertekad tidak membunuh dari matahari terbenam sampai matahari terbit. Ia bukan memberi izin tukang jagal itu untuk membunuh pada siang hari, tetapi membimbingnya untuk berangsur-angsur mengurangi perbuatan buruknya."

Dari cuplikan kisah tukang jagal tersebut, coba kita merenung sebentar tentang banyaknya pekerjaan umat Buddha di luar sana yang berkaitan dengan pembunuhan. Misal umat Buddha yang tinggal di wilayah pesisir pantai, mereka hanya bisa menangkap ikan untuk dijual di pasar. Apabila mereka disuruh untuk berhenti dari pekerjaan tersebut dan melakukan pekerjaan lain seperti menanam rumput laut atau membuat garam, apakah sudah pasti akan menyamai pendapatan mereka sama seperti saat mereka menangkap ikan? Belum tentu sama, dan siapa yang akan bertanggung jawab untuk menghidupi mereka sehari-hari? Tidak tahu juga pastinya. Dan ketika sebagai seorang Buddhis kita menyarankan para nelayan tetap melakukan pekerjaan mereka dan hanya cukup dengan melepas hewan seperti burung untuk mengurangi karma buruk, apakah akan seimbang karma baik dan karma buruk mereka nantinya? Entah, saya pun tidak tahu pastinya.

Pekerjaan dengan menghilangkan nyawa makhluk lain ini tergolong berat. Satu sisi para pekerja membutuhkan uang untuk hidup dan hanya pekerjaan demikian yang bisa dilakukan. Di sisi lain banyak konsumen juga membutuhkan daging untuk dikonsumsi sehari-hari. Andai saja para konsumen mengurangi bahkan menghilangkan konsumsi daging, pasti pekerjaan para pemotong hewan perlahan berkurang. Tapi, tidak semudah itu juga, karena tidak semua makanan kecuali daging bisa memenuhi nutrisi tubuh manusia.

Bahwasannya semua pekerjaan yang terkait untuk menghilangkan nyawa makhluk lain sebenarnya dilarang dalam agama Buddha karena itu bertentangan dengan aturan sila. Namun, kita tidak bisa memungkiri juga bahwa umat Buddha tinggal di berbagai belahan dunia dengan latar belakang sosial dan budaya berbeda, sehingga memengaruhi cara mereka melakukan suatu pekerjaan untuk menghidupi keluarga mereka. Dan pastinya akan ada karma dari setiap perbuatan yang telah dilakukan.

Bila kita hubungkan antara kisah tukang jagal di paragraf sebelumnya dengan sifat karma, Siddhartha membimbing seorang tukang jagal untuk mengurangi perbuatan buruknya. Sedangkan di sela-sela waktu matahari terbenam hingga matahari terbit si tukang jagal tidak melakukan pembunuhan dan sambil melatih batinnya. Batin yang dilatih ini untuk merenungkan bahwa membunuh itu adalah suatu hal yang sebenarnya tidak pantas untuk dilakukan. Praktik ini bisa mengurangi kebiasaan membunuh makhluk lain secara perlahan dan memperlambat sifat karma yang bisa berkembang dengan pesat. Perbuatan buruk yang dilakukan satu kali bila dilakukan setiap hari maka akan terus berlipat ganda buahnya. Jadi, dengan mengurangi perbuatan buruk dari si tukang jagal, maka ia juga memperlambat karma buruknya.

Oleh karena itu, kita kita harus bisa mengimbangi perbuatan buruk dengan memperbanyak perbuatan baik lainnya seperti menolong orang lain dan membacakan sutra cinta kasih dengan setulus hati untuk makhluk hidup. Hal ini bisa membantu mengurangi karma buruk, tapi kita juga tidak akan pernah tahu kapan karma buruk ini benar-benar berkurang, bertambah, atau malah lenyap. Satu yang penting, perbanyak perbuatan baik dengan setulus hati, apapun pekerjaan kita, dan jangan menghakimi pekerjaan orang lain. Karena kita tidak tahu perbuatan apa yang sebelumnya ia lakukan sehingga bisa terlahir sebagai manusia dengan pekerjaan demikian. 

Jadi, marilah kita merenung bersama untuk menemukan solusi pengganti dari pekerjaan yang melibatkan pembunuhan makhluk hidup, sambil diimbangi dengan banyak berbuat baik dan didedikasikan untuk makhluk-makhluk yang sudah tiada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun