Gerakan Boikot terhadap Saipul Jamil untuk tampil di Stasiun TV Swasta dan Channel Youtube, sebetulnya bukan perilaku yang adil dan bijaksana. Terkait bahwa Saipul Jamil adalah seorang napi pedofilia, tidak pantas mendapatkan glorifiakasi dari siapa pun dan pihak mana pun saya pun sepakat demikian.Â
Tetapi memboikot atau istilah kerennya sekarang adalah cancel culture terhadap apa yang akan dilakukan atau menjalani profesinya setelah mendekam di pesakitan selama 5 tahun harus dilihat dari berbagai perspektif.
Ada 4 Perspektif yang dapat dilakukan dalam memandang seorang napi pedofilia secara utuh dan detail .
1. Â Â Â Â Perspektif Media.Â
Dari kaca mata media, bahwa kebebasan Saipul Jamil sebagai napi pedofilia kurang pantas juga ketika mendapat glorifikasi bak seorang pahlawan. Apalagi bagi kalangan media, dengan menyiarkan langsung kebebasan seorang napi pedofilia demi untuk menaikkan rating penonton jelas-jelas melanggar etika jurnalistik.Â
Makanya ketika ada media yang melanggar kode etik ini seyogyanya lembaga yang berwenang seperti Komisi Penyiaran Indonesia menjatuhkan sanksi yang tegas bagi pelanggar kode etik ini. Tetapi cancel culture terhadap tampilnya Saipul Jamil di stasiun TV swasta dan Channel Youtube bukanlah tindakan yang tepat.
2. Â Â Â Â Perspektif Korban dan Keluarga Korban.Â
Dari sisi korban dan keluarga korban serta semua masyarakat yang memiliki kepedulian terhadap kasus pelecehan seksual pada anak  (pedofilia) termasuk Komite Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) maka jelas-jelas akan menolak adanya glorifikasi terhadap napi pedofilia. Karena secara psikologi korban masih mengalami trauma yang berkepanjangan, maka dengan tampilnya kembali Saipul Jamil di layar kaca pastinya akan memuat tambah syok bagi korban.
Mungkin butuh waktu yang lama agar korban dapat menerima dan mau memaafkan  pelaku  agar bisa tampil di layar kaca lagi. Yang jelas untuk saat ini, timingnya tidak pas bagi korban. Tetapi tindakan pemboikotan atau cancel culture terhadap stasiun TV sawasta dan Channel Youtube bukanlah tindakan yang tepat.
3. Â Â Â Â Perpektif Pelaku.Â
Dari sisi pelaku selama ini sudah menjalani hukuman kurungan penjara di lembaga permasyarakatan selama 5 tahun tentunya bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Kemudian perubahan sikap perilaku dan mental pelaku juga masih perlu di monitoring dan di evaluasi lagi, apakah setelah keluar dari penjara ada perubahan ynag signifikan atau tidak, hal ini juga butuh proses dan waktu yang panjang.Â
Artinya ketika pelaku mengulanginya lagi kita serahkan kepada para penegak hukum di Indoensia. Tetapi ketika ada perubahan yang signifikan dari pelaku, maka kita tidak boleh terburu-buru justifikasi kepada pelaku dengan cancel culture. Karena cancel culture bisa merugikan bagi pelaku dan keluarga pelaku seterusnya, dalam kaitannya dengan mata pencaharian pelaku.
4. Â Â Â Â Â Perspektif Agama.
Dari sisi agama ini, yaitu saling memaafkan. Hal ini tidak mudah bagi korban untuk melakukannya setalah perbuatan ynag dilakukan korban kepadanya. Tetapi dengan mengedepankan prisnip husbnudzon kepada Allah, bahwa semua yang terjadi terhadap semua makhluk sudah kehendak Allah, kita ambil hikmah terbaiknya.Â
Dalam prisnip agama, Allah adalah Maha Pemaaf. Apakah kita sebagai hamba Allah tidak mau memberi maaf dari kesalahan yang telah diperbuat kepada korban, walaupun hal ini tidak mudah dan butuh waktu serta proses yang cukup  lama.
Kita jangan terlalu gegabah dalam bertindak atau bersikap. Saya tegaskan saya tidak setuju dengan glorifikasi dan cancel culture. Hati-hatilah. Dan waspadalah.
JUNAEDI SE, Crew Media Sanggar Inovasi Desa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H