Masih ingatkah Anda  pada pada Bahagia. Ataukah Anda sudah melupakan bahagia. Menurut Anda lebih enak mana "lupa bahagia atau ingat bahagia". Menurut Anda lebih mudah mana "lupa bahagia atau ingat bahagia". Jawabannya ada pada diri sendiri.
Menurut ajaran Kawruh Jiwa : bahagia itu adalah saat seseorang sudah menerima fakta kehidupan. Hidup itu akan tentram karena telah menerima susah dan senang. Hal ini menarik untuk diperbincangkan di saat pandemi Covid -- 19, mengapa? Karena bahagia, tentram menjadi urgent dalam rangka meningkatkan imun tubuh seseorang terutama bagi penderita positif Covid -- 19.
Bahagia, senang, gembira, atau sebutan semacamnya adalah ungkapan terindah yang terukir dalam hati. Kebahagiaan seseorang sebenarnya terletak  pada diri sendiri, tidak ada orang lain yang tahu. Karena kalau sudah menyangkut penilaian orang lain, ada kriteria -- kriteria tertentu yang bisa jadi tidak sesuai dengan kondisi riil seseorang. Hanya diri sendirilah yang tahu, yang bisa merasakannya.
Ibarat kata pepatah "dalamnya lautan masih bisa diukur tetapi dalam hati manusia siapa yang dapat menduga". Tidak ada yang mampu menembus tebal, pekat dan kuatnya dinding penjaga hati manusia, hanya diri sendirilah yang bisa mengerti, memahami dan mengetahui hatinya.
Menurut diksi  Orang Jawa mengatakan,"wong kuwi mung wang sinawang". Menurut Paijo, Paijem hidup bahagia karena suaminya jadi pengusaha sukses. Lain halnya menurut Paijan, Paijem tidak bahagia karena tiap hari bertengkar melulu dengan suaminya. Lain lagi menurut Paiman, Paijem walaupun banyak harta tetapi hidupnya tidak bahagia karena anak -- anaknya selalu berurusan dengan pihak Kepolisian.
Hal diatas hanya sebagai ilustrasi saja, untuk menguatkan bahagia itu tidak dapat dilihat dari sekedar penilaian orang lain. Ada orang yang memiliki grade tertinggi dalam menentukan kebahagiaan hidupnya. Ada juga orang yang tidak terlalu ambil pusing cukup dengan sekedar bisa tertawa dengan keluarga, bisa jalan -- jalan dengan keluarga, bisa mendengarkan lagu favoritnya, bisa main dengan anak -- anaknya, bisa menekuni hobbinya dan sebagainya.
Bahkan saking pusingnya mencari kebahagiaan yang paling ideal, sempat ada fenomena kata -- kata : "bahagia itu sederhana, bahagia itu simpel". Saya sering sekali mendengarkan istri saya, ketika memotivasi anak didiknya, ketika suatu saat anak didiknya tidak semangat untuk mengikuti model pembelajaran jarak jauh (pjj) atau daring, seperti ini : "halo anak --anakku, bahagiakah hidupmu hari ini".
Masih menurut istriku yang kebetulan mengampu pelajaran SBK --Seni Musik pada anak didiknya,"kalau kurang bahagia mari ikut pelajaran ibu, kita bisa nyanyi -- nyanyi , kita senang -- senang dengan teman, apa lagu kesukaanmu" demikin bla bla bla dan seterusnya. Menurut istriku bahagia itu bisa nyanyi, bisa dengerin musik favorit.
Menurut teman saya, yang seorang penyuluh agama, bahagia itu bisa meluangkan waktu bersama keluarga atau menurutnya "qulity time". Bisa jalan -- jalan, bisa makan bersama, bisa bermain dengan anak -- anak, dan lain sebagainya.
Menurut teman saya, yang seorang relawan Covid -- 19, bahagia itu ketika bisa berbuat baik kepada sesama "migunani marang liyan". Menurut teman saya,"ada kepuasan batin tersendiri ketika kita bisa menolong warga yang terpapar positif Covid -- 19".
Kembali kepada topik perbincangan kita, bahwa bahagia itu sumbernya pada diri sendiri. Orang lain tidak akan tahu, bahkan orang tua kita tidak akan tahu apa yang terjadi sebenarnya pada diri kita, keluarga kita, istri kita, anak -- anak kita. Dan sudah saatnya kita mendown grade pada diri kita bahwa bahagia itu simpel saja, bahagia itu sederhana.