Sebuah gagasan kedaulatan pangan desa, yang sering kali dilontarkan oleh Wahyudi Anggoro Hadi, Lurah Desa/Kalurahan Panggungharjo yaitu gagasan karangkitri, sebuah gagasan ketahanan pangan lokal dengan mengolah sejengkal tanah yang secara terpadu akan ditanami sayur - mayur, buah-buahan, sumber lauk-pauk dari perikanan maupun peternakan dalam lahan tanah kas desa yang mangkrak tidak dimanfaatkan. Â Kalau kita mencari di KBBI, definisi karangkitri adalah tanaman buah-buahan di halaman rumah. Berbeda dengan apa yang dikatakan Wahyudi cakupannya lebih luas lagi.
Salah satu jargonnya adalah makanlah apa yang kita tanam, dan tanamlah apa yang kita makan. Filosofi dari kalimat itu, adalah bahwa kita akan tahu dari mana sumber makanan yang kita peroleh, baik cara menanam, benih yang ditanam, pupuk dan air yang digunakan, lebih tepatnya lagi secara etimologis apa yang kita makan jelas "halalan thoyyibah" dalam arti yang luas. Sebagai contoh, terkait lauk-pauk yang dari hasilkan dari peternakan, ayam, bebek, mentok dan lain sebagainya, sangatlah penting bagi seorang muslim/muslimah untuk mengerti kaidah fikihnya. Karena binatang yang kita dimakan harus disembelih terlebih dahulu dan halal menurut syar'i. Dengan memastikan memutus saluran pernafasan, saluran makan dan dua urat leher. Dan diawali dengan melafalkan asma Allah SWT.
Demikian pula sayur mayur atau buah-buahan yang kita makan, apa termasuk sayur dan buah yang sehat. Apakah dalam proses penanamannya ramah dengan lingkungan. Bagaimana dengan pupuk yang digunakan, air yang dialirkan ke lahan karang kitri tersebut? Model karang kitri ini akan menjawab semua pertanyaan-pertanyaan dan kesubhatan-kesubhatan bagi muslim/muslimah, karena apa? Karena kita sendiri yang menanam dan kita sendiri yang makan, inilah yang dinamakan "halalan thoyyibah " dalam arti luas.
Dengan prinsip fikih "halalan thoyyibah" dalam arti yang luas ini, maka kesehatan kita pun akan terjamin, dan konsep "karangkitri"  dalam arti yang luas juga, akan mendorong desa untuk  tidak bergantung pada pasokan pangan dari luar desa (kota-kota  besar atau impor dari negara tetangga). Disamping masih biasnya persoalan "halalan thoyyibah" juga sederek problem yang mengikutinya terkait persaingan harga yang tidak normal, tidak terjaganya kualitas produk, dan permasalahan keterlambatan distribusi, selalu akan muncul ketika kita membahas produk dari luar desa.
Gerakan Ketahanan Pangan (GKP) seyogyanya dimulai dari tingkat keluarga, misalnya dengan alternatif model karangkitri. Karangkitri adalah  suatu kawasan lahan pekarangan yang ada di sekitar rumah dengan batas pemilikan yang jelas sebagai tempat tumbuh berbagai tanaman buah, sayuran, tanaman obat keluarga (TOGA) dan perikanan. Seperti yang sudah dilakukan Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Jawa Timur yang dimulai sejak tahun 2014.
Di Kabupaten Lumajang untuk tahun 2017 ada 5 Kelompok Karangkitri seperti dilansir laman p.lumajangkab.go.id, yaitu Karangkitri Dasawisma Kunir Kidul, Karangkitri Dasawisma Desa Tukum, Karangkitri Dasawisma Desa Klanting, dan Karangkitri Dasawisma Kelurahan Ditotrunan ( Junaedi, 2021) Â
Kemandirian pangan dan desa, Menurut Prof. Damayanti Bukhori (2020), sebetulnya sudah dilakukan oleh Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP). KRKP dibentuk pada Februari 2003 di Bogor, kemudian disahkan sebagai badan hukum pada tanggal 21 Juli 2006. KRKP dibentuk atas dasar keprihatinan bahwa masyarakat petani adalah kelompok rentan dan marjinal.Â
Padahal fungsi petani terhadap penyediaan pangan bagi rakyat sangat besar. Ada beberapa program yang diselenggarakan oleh KRKP. Salah satunya adalah mengenai lumbung pangan. Lumbung pangan yang dibuat KRKP ini berfungsi sebagai antisipasi terhadap datangnya bencana. Menurut Mahatma Gandhi ada tujuh bahaya yang muncul dari kekuatan manusia. Semua bahaya itu adalah : kekayaan tanpa bekerja, kesenangan tanpa hati nurani, pengetahuan tanpa karakter, bisnis tanpa etika, ilmu pengetahuan tanpa kemanusiaan, agama tanpa pengorbanan, dan politik tanpa prinsip.
Selayaknya ibu, desa adalah ibu bumi tempat kembalinya para petarung kehidupan yang harus rela meninggalkan desa untuk bekerja di ibu kota dan karena kondisi saat ini harus kembali pulang. Kembalilah kepangkuan ibu bumi, selayaknya ibu. Desa akan menerima kehadiran kembali, apa pun adanya saat ini. Selayaknya ibu, desa adalah ibu bumi, tempat kembali dan berbagi (Ryan Sugiarto, 2020).
REFERENSI :
Wahyudi Anggoro Hadi dkk. 2020. Kedaulatan Pangan  : Merdeka Pangan, Sandang, dan Papan. Yogyakarta.  Yayasan Sanggar Inovasi Desa.