Mohon tunggu...
Junaedi SE
Junaedi SE Mohon Tunggu... Wiraswasta - Crew Yayasan Sanggar Inovasi Desa (YSID)

Penulis Lepas, suka kelepasan, humoris, baik hati dan tidak sombong.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pentingnya Menggagas Sensitivitas Gender dari Desa

11 Juli 2021   13:50 Diperbarui: 11 Juli 2021   13:55 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Fenomena terjadinya pelecehan seksual dengan modus remas payudara -- sering disebut -- begal payudara, di wilayah  hukum Polda DIY beberapa bulan yang lalu, dalam kondisi keprihatinan akibat pagebluk Covid-19, seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi negara dan masyarakat bahwa kita belum dapat memberikan rasa nyaman dan rasa aman bagi warganya, khususnya bagi kaum perempuan.  

Kita perlu  merekonstruksi alam pemikiran warga desa, mengembalikan posisi perempuan agar setara dengan lelaki (perspektif gender dan inklusi sosial). Agar posisi perempuan tidak direndahkan oleh lelaki. 

Jangan ada anggapan bahwa perempuan lebih inferior daripada lelaki. Perlu dihilangkan stigma yang mendiskreditkan bahwa perempuan hanya mempunyai peran di dapur, di sumur dan di kasur.

Seharusnya di era pandemi ini, adalah waktu yang sangat tepat untuk membalikkan status perempuan sebagai aktor di desa masing-masing. Karena semua sendi hidup dan kehidupan perempuan lebih dekat dengan persoalan ekonomi, pendidikan  dan  kesehatan. 

Misalnya, masih adanya rasa ketidak nyamanan dan keamanan bagi perempuan ketika keluar dari rumah. Karena masih adanya bias-bias kategorial dan wacana feminime Barat. Misalnya tentang perempuan sebagai korban kekerasan lelaki, sebagai pihak yang universal tergantung dan pernikahan merupakan proses kolonial.

Bagi negara, perlu jaminan ketertiban dan keamanan ketika perempuan bekerja atau aktivitas lainnya  diluar rumah.  Bagi masyarakat, perlu adanya gerakan "jaga tangga" dalam hal ketertiban dan keamanan lingkungan terkecilnya. Tidak hanya persoalan keamanan dan ketertiban, tetapi juga menjaga terkait protokol kesehatan, keberlangsungan ekonomi keluarga, dan ketahanan pangan keluarga.

Gerakan komunitas  Urban Care Semarang , yang memang di dominasi oleh perempuan, menggerakkan kesadaran bersama melalui gerakan membagikan bahan pangan dengan menggantungkannya di sekitar lingkungan tempat tinggal warga. 

Gerakan ini diberi nama "jogo tonggo". Gerakan ini diinisiasi oleh kesadaran ibu-ibu lingkungan sekitar yang dikendalikan secara mandiri berbasis Rukun Warga (RW) [Myra Diarsy, 2020]. Dekonstruksi relasi sosial sebagai bentuk implementatif  dalam merawat kehidupan, berinteraksi secara sosial --spiritual, tetap bertumpu pada karakter kepedulian, saling asah, saling asuh dan saling asih.

Perwujudan kepedulian dan pelibatan seluruh elemen masyarakat secara penuh, mau tidak mau harus menbang seluruh bentuk power relation dan praktik budaya patriarki yang mengakar. Setiap fenomena terutama yang berkaitan erat dengan power relation dan praktik budaya patriarki, perlu dilihat dan dikaji dari hulu hingga hilir. 

Praktik-praktik yang bersumber dari hulu (budaya, tradisi, stigma) ini, terus dilanggengkan dan memangsa perempuan sebagai penerima atau hilir.  Oleh karena itu, sikap kepedulian untuk mengetahui kebutuhan dan kepentingan semua elemen dapat menciptakan potensi kolaborasi yang timbal-balik. Misalnya, gerakan Jateng Gayeng Nginceng Wong Meteng dan gerakan kepedulian laiannya  di Jawa Tengah (Myra Diarsy, 2020).

Tingginya frekuensi laki-laki atau perempuan berada (bekerja) diluar rumah ditengarai sebagai penyebab ketidakharmonisan hubungan yang kemudian jadi pemicu kasus kekerasan dan perceraian dalam rumah tangga. Sehingga semestinya pandemi Covid-19 bisa dijadikan momentum  "paksa" untuk mengembalikan pasangan suami- istri lebih kerap berada di rumah, menata keharmonisan keluarga, dan berpeluang menjadi hari keluarga terlama sepanjang sejarah. Namun saat protokol kesehatan memaksa keluarga untuk kembali ke rumah dan berkegiatan di rumah, yang terjadi justru sebaliknya. Peningkatan kasus  kekerasan di dalam rumah tangga ini semacam ironi intensitas pertemuan keluarga di masa pandemi Covid-19 (Hasan Aoni Aziz, 2020).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun