Lewat publikasi buku ini, harapan dewan redaksi ke depannya adalah adalah pembincangan lanjutan yang lebih maju dan tindakan yang lebih konkret dalam mewujudkan cita-cita kedaulatan pangan di negeri yang selama ini dikenal gemah ripah loh jinawi, negeri yang diyakini bisa menjadi lahan  pertumbuhan tongkat kayu atau bahkan batu.  Ahmad Nashih Luthfi, memaparkan setidak-tidaknya kita melihat bahwa di pedesaan telah terjadi tiga krisis yang saling terkait, yakni krisis agraria-ekologis, krisis regenerasi dan krisis penggunaan sumber agraria utamanya untuk pangan (hal 4).
Prof. Damayanti Bukhori, berpendapat bahwa permasalahan kedaulatan pangan adalah permasalahan hati, rasa, dan cinta. Kedaulatan pangan bisa membuat kita merdeka dari rasa takut, merdeka dari keterbelengguan, dan pada gilirannya bisa membuat kita mencintai kehidupan. Hal tersebut bisa tercipta jika kita mau belajar bagaimana kita bisa hidup dengan sakmadya atau secukupnya (hal 17-18).
Menurut Singgih S Kartono, berpendapat bahwa dalam konsep Cyral-Spiriterial kemandirian itu tidak bisa dipisahkan dengan konsep kebersamaan dan kegotongroyongan, bukan hanya internal komunitas, namun secara horizontal dengan komunitas desa lainnya, secara vertikal dengan struktur komunitas/jenjang pemerintahan diatasnya. Posisi yang diatas adalah ngemong dan melayani struktur dibawahnya dan semakin ke atas kebijakan dan program semakin makro, semakin ke bawah semakin detail. Aturan detail mestinya dirumuskan oleh masyarakat lokal. Oleh karena itu, konsep kemerdekaan atau kemandirian pangan, sandang dan papan yang paling realistis tidak diletakkan di tingkat desa, namun di tingkat kabupaten (hal 40-41).
Sementara Nissya Wargadipura, menggambarkan keresahannya terkait revolusi hijau di desa-desa yang menjebak petani dalam kemiskinan, lalu berupaya mencari alternatif yang dapat mengurangi ketergantungan petani terhadap input eksternal seperti pupuk, pestisida dan herbisida. Berangkat dari keresahan itulah beliau menemukan satu desain yang mudah dan murah berbasis polikultur bernama agroekologi. "Agro" berarti pertanian, sementara "Ekologi" ialah kembali ke alam. Artinya, desain ini menyerahkan input eksternal pada peran alami masing-masing (hal 49-50).
Sedangkan menurut Maria Loretha, diperlukan langkah-langkah praktis dan konkret. Pertama, perlu dilakukan pemetaan sosial dengan cara mengidentifikasi stakeholder dan potensi pengembangan diri pada komunitas warga desa. Kedua, merumuskan dukungan dari pihak luar dalam rangka menguatkan kapasitas building menuju proses perubahan. Ketiga, kolaborasi lintas stakeholder baik pemerintah, NGO, pelaku pertanian, organisasi sosial-budaya maupun akademisi.
Terkait konsep makanlah yang kita tanam, tanamlah apa yang kita makan, kita mengenal konsep karangkitri dengan menggunakan lahan sempit merupakan konsep ketahanan pangan yang diajarkan oleh nenek moyang kita, dan sampai saat masih layak untuk tetap dilakukan oleh desa-desa di Nusantara. Konsep karangkitri dapat menjaga kedaulatan pangan di desa dan juga merupakan solusi alternatif dalam rangka mewujudkan pangan sehat. Pangan yang dapat kita kontrol darimana sumbernya dan jelas pengolahannya, sehingga apa yang kita makan jelas halalan thoyyibah, aman secara lahir dan batin.
Kelebihan Buku
Buku ini memberikan pengetahuan baru tentang solusi ketika jalan terjal menuju kedaulatan pangan di desa, era dan pasca Covid-19 karena pangan merupakan penjamin kehidupan, sedangkan lingkungan merupakan penjamin keberlanjutan. Penyelamatan ketahanan pangan dan jaminan keberlanjutan lingkungan (ekologis) merupakan dua hal yang harus dihadirkan bersama.
Buku ini mencoba memberikan gambaran  sirkulasi ekonomi dan lingkungan lewat budi daya BSF(Black Soldier Fly/lalat tentara hitam, larva BSF akan mulai memakan sampah yang diberikan, sampai pada tingkat reduksi hampir 55% berdasarkan berat bersih sampah dan Water Banking Method (Metode Menabung Air ) yang dapat diterapkan untuk memperbaiki tatanan hidrologi yang dapat diterapkan di wilayah desa guna mengurangi risiko bencana hidrologis. Metode ini mengintegrasikan fungsi ekologi dari biopori, parit resapan, bak kontrol, dan sumur injeksi guna mengoptimalkan tangkapan air di wilayah permukiman.
Buku ini memberikan wacana terobosan atau pencarian solusi yang serius guna meminimalkan guncangan ketahanan pangan nasional. Salah satu caranya yakni dengan mengembalikan diversifikasi atau keberagaman pangan masyarakat melalui pemuliaan tanaman pangan lokal.
Kekurangan buku
- Bahasa yang digunakan para nara sumber dalam buku ini, terlalu ilmiah atau terlalu tinggi. Diksi-diksi yang dipaparkan banyak menggunakan istilah asing, yang masih asing juga bagi pembaca buku ini, sehingga menimbulkan kebingungan pembacanya yang sebagian besar adalah warga desa.
- Sistematika penulisan buku tidak diurutkan berdasarkan pendahuluan, isi, dan penutup juga tidak di urutkan bab per bab.
- Kertas Cover, kertas cetaknya kurang menarik dan ukuran buku kekecilan.
Identitas Buku
Judul Buku      : KEDAULATAN PANGAN :  Merdeka Pangan, Sandang, dan Papan
Dewan Redaksi  : Wahyudi Anggoro hadi, Ryan Sugiarto, Ahmad Musyaddad, Any Sundari, AB Widyanta, dan Sholahuddin Nurazmy
Penerbit         : Yayasan Sanggar Inovasi Desa
Cetakan         : Pertama,  Agustus 2020
Ukuran Buku    : 13  x 19 cm
Tebal Buku      : xxxviii + 160 halaman
ISBN Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â : Â 978-623-94663-6-7
Judul Resensi    :  Makanlah Apa yang Kita Tanam dan Tanamlah Apa yang Kita Makan
Resensator       :  JUNAEDI, S.E.
JUNAEDI, S.E., Tim Media Yayasan Sanggar Inovasi Desa (YSID).Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H