Mohon tunggu...
siregar akhmad junaedi
siregar akhmad junaedi Mohon Tunggu... -

Suka mencari keindahan di sela-sela alam tropis. Baginya keindahan itu terpaut di alam liar, termasuk di kutil-kutil katak licin, hingga di antara gigi solenoglipha ular viper. Dia senang mengajak hunting foto, dan rupanya banyak yang menghindar karena takut pantatnya dientup, mau....

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Kura-kura di Antara Pemburu Merauke

16 November 2011   04:26 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:36 1223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ditilik dari kacamata biologi dan anthropologi, Papua tergolong pulau unik. Pulau kanguru itu merupakan fenomena tersendiri bagi Indonesia. Salah satunya adalah budaya terikat erat dengan keberagaman hidupan liar di sekitarnya. Ras kulit hitam itu selalu berinteraksi dengan kondisi lingkungan yang akhirnya melahirkan budaya yang seperti ini kita lihat di pulau paling timur itu. [caption id="attachment_143900" align="alignleft" width="314" caption="Anak-anak Merauke bermain-main di kali Maro"][/caption] Mari kita lupakan sejenak gejolak sosial di Timika dan mencoba menelusuri Sungai Maro di Kabupaten Merauke. Sungai besar asal nama Merauke (Maro ke = itu sungai Maro) itu vital bagi identitas dan ekologi di kabupaten bertugu Sabang-Merauke itu. Taman Nasional Wasur juga berbatas wilayah dengan sungai Maro. Maro penting sebagai nadi penyalur kelimpahan air rawa-rawa taman nasional berlambang kanguru itu. [caption id="attachment_143910" align="alignright" width="314" caption="Pemburu berangkat ke hutan."][/caption] Taman nasional dan hutan-hutan di daerah itu umumnya kaya dengan rawa yang luas. Terlebih pada musim penghujan. Kondisi ini memberi rezeki perikanan yang sangat luar biasa. Namun panen besar dilakukan satu kali dalam setahun. Musim kemarau adalah waktu yang tepat karena di waktu itulah ikan terkonsentrasi pada genangan air sisa dan ikan-ikannya mudah ditangkap. Hampir semua rawa mengalami kekeringan, kecuali Rawa Biru di tengah Taman Nasional Wasur sekaligus sumber mata air andalan satu-satunya di Merauke. Ikan lele, duri rawa, kakap cina dan mujair paling banyak diburu. [caption id="attachment_143917" align="alignright" width="314" caption="Suasana di bipak, tempat istirahat pemburu."][/caption] Tidak berlebihan kalau memancing pada musim ikan mendapat sekarung mujair. Siapa saja bisa memperolehnya, sehingga pada musim puncak ikan itu tidak lagi bernilai. Distribusi ke kabupaten lain di Papua cukup sulit dengan mengandalkan pesawat yang hanya bisa didapatkan setelah dua minggu pemesanan tiket. Harganya tidak jarang di atas jutaan. Jalan darat belum tersedia karena barier rawa. Ikan-ikan itu lebih sering diolah menjadi ikan asin. Begitulah kira-kira rona alam di Merauke. Penduduk asli suku Marind Anim, Asmat dan Yei cenderung masih mengandalkan keberadaan alam di sekitarnya. Tentu kita tidak memasukkan program transmigrasi yang membawa budaya tani di sejumlah tempat di kabupaten Merauke. Menelusuri sungai Maro ke hulu menguguhkan pemandangan potret alam dan sosial Merauke yang sebenarnya. Beberapa puluh kilometer saja berangkat dari Pelabuhan Merauke di Kota Merauke kita akan menemukan sejumlah bipak (camp sementara) pemburu satwa. Bantaran sungai sangat cocok dijadikan tempat singgah pemburu di hutan, selain adanya tumpukan pasir, memperoleh air cukup mudah. [caption id="attachment_143919" align="alignright" width="210" caption="Katak penghias di pinggiran Kali Maro."][/caption] Salam akrab dengan mengangkat kedua tangan cukup ampuh memecah hubungan baru kenal dengan penduduk asli. Berkunjung ke bipak-bipak mengajarkan sosiokultural pedalaman Merauke. Konstruksi rehat atap kulit batang kayu itu menjelaskan kepada kita nuansa berburu yang amat kuat. Pemburu tidak jarang serta merta membawa segenap keluarga. [caption id="attachment_143921" align="alignright" width="314" caption="Labi-labi moncong babi"][/caption] Berburu adalah kehidupan mereka. Keterampilan membidik anak panah ke sasaran tidak perlu diragukan lagi. Begitu juga melempar tombak, menarik ketapel dan memasang jerat. Batang jati super peneduh di sebelah sekolah Bupul penuh dengan tusukan bambu hasil lemparan tangan murid-murid. Anak-anak tidak biasa bermain PS dan gameboard karena mereka belum mendapat layanan dari Perusahaan Listrik Negara. Buruan melimpah terutama rusa, saham (kanguru), babi, buaya, ayam hutan, kasuari, ikan dan kura-kura seakan tidak pernah habis-habisnya. Lantas, hal tersebut yang tetap mengikat pekerjaan utama penduduk lokal sebagai pemburu. Keberadaan penduduk pemburu sendiri dinilai sangat penting di hutan sebagai top predator dalam sistem rantai makanan. Rawa savanna di Merauke berbeda dengan tipe hutan di Sumatera, Jawa dan Bali. Ketiganya kaya dengan predator kharismatik seperti harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) di Sumatera, harimau jawa di hutan Jawa dan harimau bali di Bali di mana kedua jenis terakhir telah punah karena tekanan alam. Di Merauke, peran biosibernetik (pengatur keseimbangan) predator otomatis tergantikan oleh kehadiran pemburu. Fenomena inilah menjadi pembeda. [caption id="attachment_143922" align="alignright" width="314" caption="Kura-kura perut putih hasil tangkapan."][/caption] Kura-kura mendapat porsi perhatian lebih untuk kita. Garis Weber telah membedakan fauna di Merauke. Fauna kota rusa itu tergolong tipe fauna Australis yang terpisah dengan fauna peralihan (Australia – Asiatis) dan Asiatik yang dipisahkan Garis Wallace. Genangan rawa yang sangat luas di Merauke merupakan sorga bagi satwa berbatok tersebut. Kura-kura dinilai masuk sebagai daftar buruan karena bisa dikonsumsi sendiri maupun dijual ke tempat lain dengan harga menjanjikan. Selain itu, keberadaannya melimpah dan cukup mudah diburu. Bantaran Kali Maro sangat mendukung sebagai tempat menanam telur bagi beberapa jenis kura-kura. Pemburu sering menemukan 40 butir telur dalam satu sarang. Pelbagai jenis kura-kura ditemukan di Papua, baik subordo kryptodira maupun pleurodira. Di antaranya kura-kura perut putih (Elseya branderhosti), Elseya novaeguineae, kura-kura papua leher panjang (Chelodina novaeguineae), Chelodina reimanni, Chelodina parkeri, Myuchelys novaeguineae, Macrochelodina rugosa, labi-labi moncong babi (Carettochelys insculpta), dan lainnya cukup melimpah hingga sekarang. Khusus spesies labi-labi moncong babi, sudah mulai dianggap punah oleh dua generasi penduduk terakhir di Kali Maro. Walaupun demikian, mereka masih mengingat namanya, musakas. [caption id="attachment_143923" align="alignright" width="210" caption="Kura-kura konsumsi rumah tangga."][/caption] Pemburu menangkap kura-kura dengan jaring atau mengejarnya dengan tangan kosong. Sewaktu muncul di permukaan memakan rumput, pemburu mengejar dan menangkap kura-kura dan tak jarang itu dilakukan sambil menyelam ke dasar sungai. Tempo beberapa minggu, puluhan hingga ratusan kura-kura terkumpul di kandang kecil sebelah bipak. Penduduk lokal suku Yei seperti di Desa Bupul kerap membawanya ke rumah. Keluarga besar mereka tentu doyan daging kura-kura. Selebihnya diangkut ke kota untuk dilego. Harga jual relatif murah berkisar Rp 15.000 – 30.000,-. Disinyalir barang tersebut ditujukan ke Jawa via laut, tentu pengumpul di Kota Merauke memberi tawaran selangit.telur kura-kura pun sering diperjualbelikan. Sudah rahasia umum bahwa telur itu di bawa ke Jawa dan ditetaskan. Anak kura-kura adalah piaraan mahal. Etnik Merauke masih lekat dengan etnik Papua Nugini (PNG). Sebagian pedagang Merauke memiliki hubungan niaga baik dengan pedagang negara tetangga. Kura-kura kaca endemik Fly River di PNG pun sangat dikenal di Merauke. Perbatasan di Sota, penting bagi kedua pihak dalam bertukar barang dagangan. Beberapa tahun terakhir, perdagangan gelap kura-kura mulai terbongkar. Paling anyar adalah ditangkapnya selundupan ratusan tukik labi-labi moncong babi (Carettochelys insculpta) di Hong Kong, Januari 2011 lalu. Harga dagang satwa tersebut ditaksir lebih dari Rp 10 miliar rupiah. Kemudian pemerintah Hong Kong dan Indonesia menyepakati repatriasi ke Indonesia walaupun sebenarnya tidak diketahui persis asal pengambilan kura-kura tersebut. Tanggal 7 Oktober lalu, dilepas 609 ekor di Kali Maro. [caption id="attachment_143925" align="alignright" width="210" caption="Pelepasan 609 ekor labi-labi moncong babi di Kali Maro, Bupul, Merauke."][/caption] Pelepasan labi-labi moncong babi di daerah mereka disambut meriah. “Kami dan segenap perangkat Kampung dan Adat, Bupul akan menjaga dan melepaskan kembali kalau seandainya kura-kura moncong babi sangkut di jaring kami”, sambut Kepala Kampung, Bapak Ronald. Murid SD dan TK juga berkomitmen sama. Segelintir murid tidak setuju, karena mereka adalah pemburu. Perburuan satwa telah mendarah daging di Kabupaten Merauke. Pemburu adalah top predator bagian integral dalam rantai makanan. Mereka porsi krusial penyeimbang alam. Dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari penduduk asli, disinyalir alam mereka lebih dari cukup menyuplai kesemuanya. Lain cerita datang permintaan dari luar, equilibrum itu akan berubah. Mungkin hilangnya labi-labi moncong babi di Kali Maro adalah contohnya! ■ Oleh: Akhmad Junaedi Siregar Foto-foto: Dokumentasi kegiatan Wildlife Conservation Society & International Animal Rescue

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun