BEBERAPA hari yang lalu seorang kawan sempat memposting foto burung terbang hasil jepretannya di Kawasan Wonosalam Jombang dan mengajukan pertanyaan: apakah ini burung Elang Bido? Saya pun dengan spontan menjawab dengan melihat ciri-cirinya itu kemungkinan memang benar itu Elang Bido.
Ya, kawasan pegunungan Wonosalam selama ini memang dikenal memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi meskipun sebagian besar spesiesnya banyak yang belum teridentifikasi sepenuhnya secara taksonomi. Bahkan pada 1861, seorang naturalis asal Inggris, Alfred Russel Wallace pernah menjelajah kawasan Wonosalam untuk mengumpulkan berbagai macam spesies burung, utamanya burung merak dan ayam hutan yang jadi perhatiannya.
Lalu bagaimana dengan Elang Bido di Wonosalam? Elang Bido sejatinya juga dikenal sebagai Elang Jawa, merupakan burung pemangsa dan merupakakan salah satu burung paling langka dan rentan mengalami kepunahan. Nama Elang Bido sendiri identik dengan nama durian unggul dan merupakan buah endemi Wonosalam, yaitu Durian Bido Wonosalam. Entah siapa yang memakai nama duluan, elangnya atau duriannya. Atau memang Elang Bido ini suka bertengger di pohon Durian Bido yang menjulang, yang bisa mencapai puluhan meter tingginya. Â
Pada periode akhir 80-an atau awal sampai pertengahan 90-an, saya masih sering menjumpai Elang Bido ini terbang kawasan hutan maupun perkampungan-perkampungan Wonosalam. Biasanya menjelang tengah hari dengan kondisi panas menyengat dengan terbang berputar-putar dan mengeluarkan suara melingking yang khas, atau bunyi "kiiiiiiiiiiik", yang terkadang terdengar menyayat.Â
Sebagai hewan predator, barangkali terbang di langit perkampungan untuk mencari mangsa hewan-hewan kecil seperti ayam kampung, terutama yang masih kecil, yang pada waktu itu masih banyak dipelihara oleh warga. Ayam-ayam ini pada siang hari dilepas-liarkan di pekarangan atau kebun-kebun warga, dan inilah yang mengundang Elang Bido untuk memangsanya.Â
Saya tak pernah melihat dari dekat penampakan Elang Bido ini. Namun dari kejauhan yang tampak adalah berwarna hitam legam. Berbagai referensi menyebutkan bahwa elang bido bulunya berwarna coklat tua atau kehitaman dengan garis-garis putih pada ujung sayap dan tepi ekornya, membentuk huruf C ketika terbang. Lebar sayap bisa lebih dari 50cm dengan bentangan sayap bisa lebih dari 1 meter dan kulit kuning pada kakinya yang diyakini memiliki kekebalan terhadap bisa ular.
Ekornya pendek dengan garis abu-abu lebar di tengah garis hitam, dan jambul pendek berwarna hitam putih. Daerah sekitar matanya dikelilingi oleh kulit dominan berwarna kuning memanjang hingga paruhnya yang berwarna coklat keabu-abuan. Iris mata berwarna kuning dengan pupil berwarna hitam. Elang Bido dewasa memiliki tubuh bagian atas berwarna coklat tua dan bagian bawah berwarna coklat muda dengan bintik-bintik putih, sedangkan burung muda berwarna lebih terang dengan bulu lebih putih. Biasanya hidup berpasangan dan bertelur satu sampai dua butir telur berwarna putih kusam dengan bintik kemerahan.
Sayangnya, Elang Bido ini keberadaannya mulai langka dan saya pun tak sering menjumpainya seperti jaman dulu. Seperti halnya burung merak dan ayam hutan yang pada 1990-an masih sering menampakan dirinya, tidak saja di pinggiran hutan tetapi muncul bahkan sampai ada yang bertelur di kebun-kebun cengkih.
Barangkali karena tanaman-tanaman besar dan menjulang yang dulu masih banyak tumbuh baik di pekarangan, kebun atau terutama di hutan sudah mulai berkurang, bahkan hilang. Tanaman yang menjulang ini biasanya menjadi tempat yang nyaman bagi Elang Bido dan berbagai spesies burung untuk berdiam ataupun sekadar bertengger, mengintai dan mencari mangsa.
Beberapa tumbuhan menjulang dengan nama-nama lokal yang saya ingat seperti tanaman gondang, cembirit, kemloko, dan eprek yang saat ini sulit ditemui. Demikian juga dengan pohon randu dan pohon maja, atau tanaman yang menghasilkan buah seperti tanaman gowok, buah uni, dan buah jirek, sekarang sulit ditemui.
Belum lagi, eksploitasi berlebihan terhadap tanaman bambu hutan yang menjulang tinggi, yang beragam jenisnya untuk diambil bambunya dan terutama rebungnya, yang setahu saya sejak 1980-an sampai 90-an banyak dikirim sampai ke luar kota.
Begitulah, habitat Elang Bido sendiri memang sudah mulai terancam. Ditambah lagi akhir-akhir ini banyak pemburu satwa liar yang dengan vulgar, mondar-mandir keluar masuk hutan dengan menenteng senapan yang saya tahu senapan itu dilengkapi dengan berbagai peralatan mutakhir untuk menambah presisi dalam membidik satwa-satwa di hutan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H