KOMODITAS cengkih merupakan "salah satu" komoditas unggulan yang "pernah" menjadi penopang utama ekonomi di Wonosalam Jombang.Â
Saya katakan "salah satu", karena di Wonosalam ada beragam komoditas yang saat ini mendominasi atau mulai menggeser komoditas cengkih, yaitu kopi dan durian yang saat ini trend-nya terus meningkat. Kemudian saya katakan "pernah" karena sejak sepuluh tahun terakhir setidaknya, daya topangnya untuk perekonomian Wonosalam mulai melemah.
Kenapa melemah? Ada banyak penyebab sebenarnya. Salah satu penyebabnya adalah sejak terserang penyakit Bakteri Pembuluh Kayu Cengkeh (BPKC) sekitar 2010-an lalu, populasi tanaman cengkih yang produktif berkurang drastis, mungkin saat ini tinggal 20-25 persen yang tumbuh dan berproduksi secara normal dibandingkan sebelum terserang penyakit yang sampai sekarang sulit dikendalikan itu.
Penyakit BPKC sendiri merupakan salah satu penyakit tanaman cengkih yang paling merusak dan menghancurkan perkebunan di satu wilayah. Bukan saja menurunkan tingkat produktivitas tanamannya, tetapi bisa langsung membuat tanaman cengkih "meranggas" dan mati.
Bukan perkara mudah untuk menanam kembali sampai bisa berproduksi optimal, butuh waktu puluhan tahun. Itupun kalau tidak mati tanamannya atau tidak layu sebelum berkembang. Tak sedikit usaha pemulihan yang telah dilakukan oleh petani cengkih di Wonosalam, namun biasanya usia 3-4 tahun tanaman cengkih itu layu dan mengering.
Padahal tanaman yang dikembangkan sejak awal 1970-an itu pernah menjadi penopang utama perekonomian masyarakat Wonosalam. Itu terjadi pada akhir 1980-an sampai awal 1990-an sebelum muncul tragedi kebijakan masa orde baru dengan memunculkan Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkih (BPPC) yang pada 1998 lalu Los Angeles Times menyebutkan bahwa BPPC merupakan simbol kebobrokan dan kejatuhan ekonomi Orde Baru dengan nepotisme dan penipuannya. BPPC kemudian dibubarkan pada jaman Presiden Abdurahman Wahid.
Ketika itu, saat panen raya, yang umumnya terjadi pada Juli-Agustus, aktivitas masyarakat Wonosalam hampir terkonsentrasi dengan tanaman cengkih. Mulai memetik bunga-bunga cengkih, memisahkan tangkai dan bunga, proses pengeringan, dan sebagainya banyak yang melibatkan tenaga kerja, tua-muda, laki-laki dan perempuan, bahkan anak-anak ikut "merayakan" panen raya, meskipun bukan pemilik kebun.Â
Demikian juga dengan lalu-lalang pedagang cengkih, tak pernah sepi. Bahkan sebelum ada BPPC, tak sedikit perusahaan rokok yang terjun langsung membeli cengkih ke petani. Tentu dengan harga yang lebih "merayu" petani atau harga yang lebih tinggi dibanding dengan harga pedagang biasa.
Saat itu harga memang berfluktuasi, tetapi fluktuasi atau gejolaknya masih di atas harga rerata, jadi masih sangat menguntungkan petani. Ini mungkin juga yang jadi penyulut munculnya BPPC dengan berdalih meredam gejolak harga. Padahal munculnya BPPC saat itu tak ubahnya VOC di masa kolonial.
Dan pada saat ini, sebenarnya harga cengkih melonjak cukup tinggi dibanding di awal-awal tahun kemarin atau tahun-tahun sebelumnya. Beberapa hari lalu sempat mencapai 50.000 rupiah per kilogram basah. Kalau kering bisa menembus sampai 160.000 per kilogram, tergantung kualitas dan masa penyimpanan.Â
Baca juga:Â Fantastik, Harga Cengkeh di Jombang Menembus Rp 130.000 per kg!
Namun sekali lagi, harga tinggi saat ini belum bisa memulihkan ekonomi cengkih seperti 10 atau 15 tahun lalu ketika cengkih benar-benar menjadi primadona dan emas hitam. Ekonomi cengkih benar-benar mulai runtuh di kampung kami meskipun saat ini hargnya melonjak. Entah sampai kapan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H