MUDIK lebaran tahun ini agaknya ada “pemandangan” yang berbeda di kampung kami. Bukan masalah perbedaan hari lebarannya, karena di kampung kami sebagian besar mengikuti “petunjuk” pemerintah, meskipun ada juga yang lebaran hari selasa dan bahkan lebaran hari kamis, yaitu para pengikut aliran ABOGE. Perbedaan "pemandangan" di kampung kami lebih disebabkan adanya sebuah tradisi yang mulai terkikis.
Di kampung kami, sejak saya lahir sudah ada tradisi merayakan hari kemenangan dengan cara saling beranjangsana atau biasa di sebut dengan unjung-unjung. Sebenarnya tradisi ini mirip dengan apa yang dilakukan presiden kita saat ini yaitu open house. Namun begitu, open house ala kampung kami ini dilakukan dengan sederhana, tanpa ada penjagaan dan protokoler yang berbelit-belit.
Selepas sholat idul fitri di masjid kampung yang berhalaman luas, biasanya kami langsung pulang ke rumah masing-masing. Di rumah kami tak melakukan acara santap opor ataupun ketupat seperti yang sering muncul di kampung lain yang diwartakan berbagai media. Ya, karena hari pertama lebaran di kampung kami tak ada tradisi bikin opor atau ketupat. Opor dan ketupat di buat menjelang tanggal 7 syawal yang biasa kami sebut dengan lebaran keupat. Orang-orang membuat ketupat dan “kroni-kroni” wajibnya seperti lontong, lepet yang dibungkus daun pisang maupun lepet yang dibungkus dengan janur kuning.
Di hari pertama lebaran itu kami sungkeman (salaman) dengan kerabat terdekat seperti orang tua, kakak- adik, suami-istri, pakde-budhe, paklek-bulek atau keluarga kakek-nenek jika tinggal serumah. Sungkeman sebagai perlambang permintaan maaf di antara para anggota keluarga sekaligus ajang untung saling mendoakan agar semua anggota keluarga diberi kebaikan, keselamatan, kesehatan dan keberkahan dalam kehidupan.
Selepas sungkeman, biasanya kami akan berkeliling atau berkunjung atau yang basa kami sebut unjung-unjung, ke para tetangga atau keluarga yang agak jauh yang lebih dituakan. Dalam acara unjung-unjung ini, dulu kami melakukan secara berkelompok, bisa jadi satu kelompok itu masih satu anggota keluarga, atau berkelompok menurut usia. Biasanya anak-anak berkelompok dengan anak-anak, yang muda dengan yang muda dan seterusnya. Kami berkunjung dari satu rumah- ke rumah lain hingga hampir rumah satu kampung itu kami kunjungi. Tujuan kami mengunjungi para tetangga dan saudara tentu saja untuk bersilahturahim dan bermaaf-maafan. Jika tak selesai di hari pertama, maka akan kami lanjutkan pada hari-hari berikutnya. Kalau dulu, suasana lebaran di kampung memang akan tetap terasa hingga lebaran ketupat atau tanggal 7 syawal. Kalau sekarang mungkin rasanya cuma sehari atau dua hari saja. Entah mengapa terasa demikian. Mungkin karena kesibukan yang "memaksa" lebaran terasa singkta.
Dalam acara unjung-unjung, umumnya yang lebih “beruntung” dan “berbahagia” adalah anak-anak. Betapa tidak, dalam setiap kunjungan umumnya mereka sering menerima uang saku lebaran dari orang-orang atau saudara yang lebih “dewasa” secara ekonomi. Setidaknya saya sendiri pernah mengalami, meskipun tidak besar jumlahnya, tapi lumayan buat tambahan membeli petasan :)
Itu model silahturahim di kampung kami beberapa puluh tahun lalu. Sekarang keadaannya sudah agak berbeda. Tradisi unjung-unjung memang masih ada, namun tak semarak seperti tahun-tahun lalu. Anak-anak muda sudah mulai “ogah-ogahan” untuk saling mengunjungi kerabat dan/atau tetangga. Yang terlihat, anak-anak lebih suka nongkrong di pinggir jalan, di pertigaan atau perempatan jalan yang entah apa yang di obrolkan sambil sesekali menyulut petasan. Beberapa juga lebih asyik kebut-kebutan di jalanan sambil menggeber gas untuk memunculkan suara knalpot yang memekakkan telinga.
Yang lebih “membedakan” lagi, ada yang bersilahturahim di tengah aktivitas kerja di ladang, sawah atau kebun, bahkan di bawah pohon cengkeh. Betapa tidak, karena tuntutan ekonomi, dalam suasana hari raya pun, meskipun tidak pada tanggal 1 syawal, ada orang yang tetap bekerja. Seperti salah satu tetangga kami, dia adalah penyapu daun-daun cengkeh yang menjadi bahan baku pembuatan minyak atsiri. Di lebaran ke dua dia masih berkutat dengan sampah daun cengkeh. Dia tak menghiraukan suasana lebaran, apalagi menikmati liburan lebaran. Tak ada yang salah memang. Namun, di kampung kami, dalam suasana lebaran akan terasa “berbeda” jika masih bekerja di ladang atau kebun.
Harap maklum juga, kampung kami yang mayoritas petani (cengkeh) tahun ini benar-benar "puasa" produksi. Betapa tidak, produktivitas cengkeh hanya sekitar 5 %, jelas ini berakibat negatif pada tatanan ekonomi kampung kami. Kampung kami mengalami paceklik yang luar biasa. Padahal tahun-tahun sebelumnya, pada bulan seperti saat ini adalah masa-masa "emas" uang beredar dan bertebaran di kampung kami. Biarpun kami yang "pribumi" tak memiliki lahan atau kebun yang memadai, jika panen bagus uang akan tetap "berkibar". Akibat kondisi paceklik inilah, banyak orang-orang yang tak terlalu memperhatikan tradisi unjung-unjung. Apalagi daun cengkeh saat ini memang lagi naik daun dengan harga yang sangat fantastik. Kalau tahun-tahun sebelumnya harga sekilo daun cengkeh sekitar Rp. 500,-, tahun ini dan saat saya membuat tulisan ini menembus angka Rp. 2000,-.
Keadaan seperti itulah yang mungkin membuat orang-orang di kampung saya masih asyik bekerja menyapu dan mengumpulkan dedaunan untuk bisa terus menyambung hidup. Bagi saya ini tak masalah, sejatinya silahturahim memang tak hanya di rumah atau istana. Silahturahim bisa dijalin dimanapun, termasuk di sawah, di ladang, di kebun-kebun ataupun di bawah pohon cengkeh seperti di kampung kami. Yang terpenting adalah bagaimana kami tetap bisa mengikat “rahim” agar tak terburai, tercerai-berai atau mbrodol berantakan.
Tulisan Terkait:
Sepenggal Catatan Terpenggal di Hari Kemenangan
Mudik, Fenomena Ekonomi dan Spiritual
Menyapu Sampah, Mendulang Rupiah!
Fantastik, Harga Cengkeh di Jombang Menembus Rp. 130.000 per Kg!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H