Mohon tunggu...
Junaedi
Junaedi Mohon Tunggu... Lainnya - Pencangkul dan Penikmat Kopi

Lahir dan tumbuh di Wonosalam, kawasan pertanian-perkebunan dataran tinggi di Jombang bagian selatan. Seorang pencangkul dan penikmat kopi. Dapat ditemui di www.pencangkul.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Jejak Flores (1): Menyusuri Desa Sikka

14 Desember 2010   04:09 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:45 1561
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

RASANYA terlalu manis untuk melewatkan begitu saja tanpa menancapkan “prasasti aksara”, untuk sedikit mengabadikan jejak langkah di kawasan ini. Semoga ini akan menjadi landasan utama prasasti itu. Saya mulai saja dari Desa Sikka. Ini adalah salah satu desa di antara puluhan desa yang telah saya telusuri. Namanya persis dengan nama kabupaten yang menjadi homebase saya, yaitu Kabupaten Sikka. Konon, desa inilah yang menjadi cikal-bakal lahirnya Kabupaten Sikka di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur ini. Desa ini berada cukup jauh dari ibukota Kabupaten Sikka, Maumere. Perjalanan dengan mobil menempuh waktu sekitar 1 jam 30 menit dari Maumere dengan kondisi jalan beraspal menanjak-menurun-menukik dan berliku-liku. Kalau tidak biasa, bisa membuat kepala pusing, perut mual dan mabuk perjalanan. Kondisi aspal banyak yang terkelupas dan menimbulkan lubang menganga yang sangat berbahaya. Jalan yang berlubang menganga ini mengingatkan saya pada salah satu aktor yang politisi, yang bulan lalu tewas terhempas akibat jalan berlubang di daerah Ngawi, Jawa Timur. Salah siapakah ini? Adakah para pemimpin kita yang bertanggungjawab tentang hal ini? Adakah para pemimpin kita yang seperti Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang menangis dan bersujud mohon ampun kepada Allah SWT gara-gara seekor unta yang terpeleset di jalan di wilayah pemerintahannya? Kembali ke Sikka, meskipun banyak jalan berlubang, sepanjang perjalanan akan nampak dengan jelas keindahan alam Flores yang panas ini. Padang ilalang yang mulai menguning keemasan, puncak gunung Egon yang beberapa waktu lalu memuntahkan isinya, dan tentu saja rimbunnya kebun coklat, jambu mete, dan ribuan kelapa yang menancap di lereng-lereng gunung hingga tepian pantai, adalah pesona yang dianugerahkan Tuhan. Semua menawarkan keindahan dan tentu saja seharusnya memberikan kesejahteraan rakyat di kawasan ini. Desa Sikka sendiri persis berada di wilayah selatan Kabupaten Sikka. Posisinya langsung menghadap Laut Sawu, laut yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia. Ombak di perairan ini sangat besar dan mengerikan, apalagi di kala musim barat. Namun demikian, dikala tenang kondisinya sangat bagus dan menakjubkan, hijau kebiru-biruan dan kemilau warnanya ketika diterpa matahari. Dari perjalanan saya, saya mendapat sedikit informasi dari mulut ke mulut dan beberapa referensi tertulis tetapi terpisah-pisah tentang sejarah desa ini. Jadi, bagi yang lebih memahami kawasan ini, mohon kiranya memberi koreksi jika ada yang “tidak pas” dengan tulisan ini. Sikka berasal dari bahasa Portugis, sicha yang artinya kering. Sejak abad ke-12, kampung Sikka masih berupa hutan belantara dan di daerah pantainya masih banyak dihuni oleh binatang liar. Kampung pertahanan orang Sikka yang pertama adalah Natar Gahar yang artinya Kampung Tinggi, atau oleh Moang Bata Jawa disebut dalam bahasa Sikka dengan Ina Gete Ama Gahar. Disebut Bata Jawa karena masih ada pengaruh dari Kerajaan Majapahit di Jawa Timur. Bata Jawa adalah seorang ksatria pemberani yang sangat ditakuti musuh-musuhnya dari luar. Setelah Bata Jawa meninggal, muncullah Moang Baga atau disebut juga dengan Baga Ngang atau Baga Igor. Setelah Moang Baga meninggal, muncul Moang Don Alesu yang kemudian menjadi Raja Sikka I, yaitu pada tahun 1511 dan pada saat itulah masuk agama Katholik yang dibawa oleh bangsa Portugis dengan membangun Gereja Sikka, sehingga setiap tahun, yang istilahnya pada masa sengsara Yesus, diadakan acara keagamaan Jumat Agung. Pada tahun 1859 terjadi penyerahan kekuasaan dari Portugis ke Belanda. Pada masa kolonialisasi Belanda, hanya ada 3 kerajaan di Flores, yaitu Kerajaan Ende, Kerajaan Sikka, dan Kerajaan Larantuka. Asal-usul keturunan orang Sikka adalah dari Gunung Iligai, yaitu dari keturunan Moang Ria yang mempunyai 5 orang anak perempuan, yaitu Dua Sikka, Dua Krowe, Dua Pau Wai Laju, Dua Lii Wai Bara, dan Dua Lii. Dari kelima anak ini, Dua Sikka dan Dua Krowe yang paling menonjol, sehingga muncullah daerah Sikka dengan dialek atau logat yang lemah lembut dan daerah Krowe dengan dialek atau logat gelombang atau disebut koung kange. Pada tahun 1871 sudah berdiri Sekolah Yesuit dengan merekrut para muda-mudi menjadi guru umum dan guru agama. Tahun 1904 mulai dibentuk harmente atau distrik atau kecamatan, dan setiap harmente dipimpin oleh seorang Kapitan. Kapitan pertama di Harmente Sikka yang beribukota di Lela adalah Kapitan Nes Fernandez. Kemudian pada tahun 1917 Kapitan Nes Fernandez meninggal dan digantikan oleh Kapitan Sidolo Fernandes. Pada tahun 1920-1943 dipimpin oleh kapitan Kinyu da Silva. Pada tahun 1943-1950 digantikan oleh Kapitan Kristianus da Silva. Selanjutnya sampai tahun 1960 dipimpin oleh Kapitan David Pareira. Tahun 1960-1968 dipimpin oleh Kapitan Dergius, dan pada masa ini terjadi pemekaran wilayah menjadi Harmente Lela dan Desa Sikka, dengan Kepala Desa Sikka adalah Michael da Chunha. Tahun 1968-1973 dipimpin oleh Vincensius da Gomes dan 1973-1978 oleh Dinyo Conterius. Tahun 1978-1982 dipimpin oleh Gervasius Domi. 1982-1983 dipimpin oleh PJS. Rodolfus Pareira kemudian diganti oleh Stefanus Diaken. Tahun 2003-2004 dipimpin oleh Donjela da Lopez. Pada tahun 2004 sampai sekarang dipimpin oleh Hipolitus Agustalis. Komposisi mata pencaharian masyarakat Desa Sikka adalah 20 % sebagai nelayan, 70% petani daratan atau ladang, 10 % tersebar sebagai pegawai pemerintah, tukang kayu, tukang batu, pedagang ternak atau blantik, dan sebagainya. Kegiatan pertanian merupakan kegiatan utama dari kaum perempuan dan anak. Sementara itu, kaum laki-laki dan anak laki-laki dewasa pekerjaan utamanya adalah melaut dan hanya pergi ke ladang pertanian jika tidak melaut karena sesuatu hal, misal musim, atau ketika panen hasil pertanian. Hambatan utama dalam sektor pertaniannya adalah curah hujan yang tidak teratur dan hama tikus, yang terkadang menggagalkan panen dan mengakibatkan bencana kelaparan. Kegiatan pertanian dilakukan ketika musim penghujan antara bulan November sampai April atau Juni dengan kegiatan utamanya adalah membersihkan ladang, menanam, membersihkan rerumputan dan memanen. Diantara bulan-bulan tersebut juga seringkali diadakan acara-acara atau upacara-upacara adat. Nah, acara-acara inilah yang ingin saya nikmati selama kaki saya menjejak di bumi Flores ini. Semoga saja! *Artikel ini juga bisa dinikmati di: http://pencangkul.blogspot.com/2008/06/menyusuri-desa-sikka.html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun