BEBERAPA hari terakhir masyarakat dibuat heboh dengan keputusan PT. Pertamina yang menaikkan harga gas LPG kemasan 12 kg. Ada pihak yang pro dan ada kontra dalam menyikapi keputusan Pertamina ini yang masing-masing pihak mempunyai argumen kuat dan beragam. Pihak pertamina tentu saja adalah salah satu pihak yang pro dengan kebijakannya sendiri karena untuk menutupi kerugiannya selama ini serta untuk menuju ke harga produk yang sesuai dengan nilai keekonominnya. Sementara pihak yang kontra beralasan bahwa kenaikan ini akan merugikan atau mengurangi pendapatan riil mereka karena beban belanja untuk energi semakin membengkak.
Terlepas dari yang pro dan kontra dengan argumen masing-masing, saya jadi teringat ketika orang tua saya menggunakan LPG pertama kali sekitar tahun 2002 lalu, jauh sebelum ada porgram konversi gas pada tahun 2007. Ini tentu sesuatu yang mewah bagi kami, bukan karena orang tua saya masuk golongan menengah atas, atau golongan yang berpendidikan tinggi, atau juga masuk golongan masyarakat yang tinggal di kota sehingga kami menggunakan LPG. Kalau disesuaikan dengan Survey Nielsen tentang Demografi dan Gaya Hidup Pengguna Elpiji 12 Kg, bisa dikatakan bahwa orang tua kami adalah bagian masyarakat middle 2 dan bagian dari 11 persen masyarakat pengguna LPG yang berpendidikan SD. Kami sekeluarga kala itu juga tinggal jauh dari kota, sekitar 30 km tenggara Kota Jombang atau sekitar 80 km barat daya Kota Surabaya.
Lalu apa alasan pertama kali kami lebih menyukai LPG 12 kg? Alasan utama pertama kali memakai LPG 12 pada tahun 2002 lalu adalah karena kami ingin mendiversifikasi pemakaian energi untuk keperluan dapur. Sebelumnya kami hanya memakai kayu bakar dan minyak tanah, bahkan sebelum tahun 1990-an dominasi pemakaian kayu bakar sangat besar. Kami memakai kayu bakar karena selain tersedia melimpah di sekitar rumah (di kebun) tanpa harus mencari di hutan, juga kondisi lingkungan kami tinggal yang berada di ketinggian atau pegunungan yang “mengharuskan” kami menciptakan “budaya” api-api (menghangatkan badan di depan tungku) di setiap pagi, terutama di musim hujan dan musim bediding yaitu musim kemarau awal yang ditandai dengan berbagai macam tanaman berbunga yang biasanya udaranya sangat dingin menusuk.
Selain itu, penggunaan tungku dan kayu bakar karena untuk memasak makanan tertentu saja misalnya ketika membakar ikan, jagung, atau menggoreng kopi tradisional produk kampung kami. Kami masih percaya sampai saat ini bahwa untuk mengolah atau memasak produk-produk semacam itu dengan cita rasa yang kami sukai, memakai tungku dan kayu bakar belum tergantikan dengan cara lain.
Sementara kompor dan minyak tanah kami gunakan untuk merebus air, menggoreng, dan memasak aneka makanan karena prosesnya lebih cepat dan praktis daripada menggunakan kayu bakar. Sedangkan untuk menanak nasi kami lebih mengandalkan pemakaian energi listrik.
Nah, setelah mengenal gas LPG 12 kg pada tahun 2002 lalu (karena juga belum ada tabung LPG 3 kg), intensitas penggunaan minyak tanah dan kayu bakar kami semakin berkurang. Segala kegiatan dapur hampir semuanya menggunakan enegri kompor gas LPG. Selain praktis dan proses memasak menjadi lebih cepat, hitung-hitungan sederhana kami waktu itu, ternyata biaya penggunaan LPG lebih murah dibandingkan dengan menggunakan minyak tanah ataupun kayu bakar. Namun demikian, meskipun kami menggunakan gas LPG 12 kg, tak serta-merta kami menghilangkan pemakaian kompor minyak tanah dan apalagi kayu bakar.
Kompor minyak tanah masih kami gunakan untuk berjaga-jaga ketika terjadi “kekosongan” LPG 12 kg. Kekosongan maksudnya bukan hanya karena terjadi kelangkaan di pasaran, tetapi pada masa pengisian atau penukaran kami memerlukan waktu untuk menukarkan tabung LPG 12 kg. Bukan perkara sepele kalau kami melakukan pengisian, karena di kampung kami yang berada di lereng Gunung Anjasmoro, 30-an kilometer sebelah tenggara Kota Jombang, kami harus menempuh jarak sekitar 20 km untuk "turun gunung" dan membelinya di kota kecamatan tetangga (Mojoagung) yang lebih besar dan ramai karena berada di poros jalan nasional. Untuk menukarkannya, kami lebih sering menitipkan ke sopir angkutan umum yang mempunyai rute dari kampung kami menuju Mojoagung setiap pagi dengan ongkos sekitar setengah dari ongkos penumpang (manusia).
Lalu mengapa sekarang masih memakai LPG 12 Kg meski sudah ada program konversi penggunaan elpiji 3 kg sejak tahun 2007? Karena praktis dan volume lebih besar membuat lebih lama pemakaiannya sehingga kami tak sering bongkar pasang atau melakukan pengisian ulang. Untuk kami dengan 5 anggota keluarga, tabung gas LPG 12 kilogram bisa terpakai sampai sebulan, sementara yang 3 kg hanya bertahan kurang dari seminggu.
Selain itu, karena kebiasaan dan keamanan pemakaian yang membuat kami nyaman menggunakannya. Ini bukan karena kami tak percaya elpiji ukuran tabung apel (3 kg) tidak aman, tetapi secara psikologis kami sangat terpengaruh dengan kejadian-kejadian awal tentang berbagai kecelakaan penggunaan elpiji 3 kg di awal-awal introduksi pada tahun 2007 itu yang hampir tiap hari terkspos di media massa.
Namun demikian, seperti awal penggunaan LPG 12 kg, kami juga tidak anti menggunakan tabung 3 kg. Ini karena pada tahun 2007 hampir semua warga kampung kami mendapat jatah paket tabung LPG 3 kg plus kompornya.
Kami menjadikan tabung gas 3 kg itu layaknya kompor minyak tanah dulu, yaitu sebagai cadangan atau berjaga-jaga saja ketika melakukan pengisian ulang untuk tabung 12 kg. Toh, saat ini kami tak harus melakukan pengisian ulang elpiji 12 kg di kecamatan tetangga yang jauh karena tabung elpiji 12 kg sudah mulai dijual di kios-kios yang ada kampung bersamaan dengan penjualan tabung 3 kg yang juga marak.
Sementara itu, setelah ada program konversi, penggunaan kompor minyak tanah pun berhenti total. Artinya komposisi penggunaan energi untuk keperluan dapur berubah menjadi dominan oleh elpiji 12 kg, dan 3 kg hanya untuk berjaga-jaga, sementara penggunaan kayu bakar hanya sesekali saja ketika membuat masakan tertentu dan untuk “pemeliharaan” budaya api-api (menghangatkan badan di musim hujan/dingin khas orang pegunungan).
Itulah alasan kami dalam menggunakan elpiji 12 kg. Kami tak pernah terlalu berpikir bahwa menggunakan elpiji 12 kg itu akan menyelamatkan beban ekonomi negara atau tidak. Kami hanya lebih berpikir dari sisi kepraktisan saja serta sebagai jalan atau alternartif mendiversifikasikan energi yang selama ini kami pakai untuk urusan dapur, sehingga kami juga tak terlalu bergantung menggunakan minyak tanah (yang semakin langka dan mahal harganya) dan terutama kayu bakar, yang meskipun bisa kami peroleh secara gratis.
Lalu apa yang dikawatirkan dengan efek kenaikan harap LPG 12 kg? Saya pribadai tidak terlalu kawatir, mengapa? Setidaknya beberapa hari terakhir selepas kenaikan harga LPG 12 kg, setelah saya amati beberapa tempat, harga nasi goreng atau mi goreng dari penjual keliling juga masih belum mengalami kenaikan. Mungkin karena mereka masih setia memakai LPG 3 kg karena kalau memakai 12 kg harga lebih mahal dan sangat tidak praktis, berat dan memberatkan.
Kami memang tak terlalu kawatir, tetapi kami sangat berharap pemerintah bisa menyediakan tabung gas LPG 12 kg secara merata sehingga kami yang tinggal di pedalaman tak kesulitan mendapatkannya. Minimal ketika kami melakukan pengisian ulang kami tak terbebani lagi dengan ongkos transportasinya. Dan yang tak kalah pentingnya, pengawasan dan tindakan terhadap agen-agen atau penjual-penjual nakal yang sempat mencuat, yaitu LPG 12 kg hasil oplosan atau suntikan dari tabung LPG kg, sehingga kami, konsumen yang sudah rela membeli lebih mahal tidak dirugikan dengan tindakan curang seperti ini. Semoga!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H