Wahai sahabat Qur’an, apa kabar imanmu hari ini? Masih ingatkah bahwa beberapa waktu yang lalu jutaan umat muslim baru saja memperingati peristiwa agung di mana Nabi besar kita, Muhammad Saw. diantarkan oleh Jibril melakukan perjalanan jasadi/ruhani menuju kehadirat-Nya untuk menerima hadiah dari Sang Kekasih (shalat) atau yang biasa disebut dengan Isra Mi’raj. Tapi sayang seribu sayang, peringatan yang sudah berlangsung sejak lama ini lebih cenderung bersifat seremonial belaka, tanpa meretas dalam ranah realitas kehidupan sehari-hari. Buktinya, kita bisa melihat kondisi emosional-psikologis bangsa Indonesia yang belakangan ini kurang stabil. Padahal jika esensi pesan perjalanan Isra Mi’raj ini dapat benar-benar dihayati bahkan dipraktikkan, bukan saja akan berdampak positif bagi si pelaku melainkan efeknya akan meluas ke seluruh Nusantara. Jadilah, Islam rahmatan lil alamin membumi, tak sekadar slogan-slogan belaka.
Salah satu dampak dari keterasingan shalat di dalam kondisi umat Muslim modern ini ialah karena kita sudah terpedaya oleh hal-hal yang serba material (materialis). Semua perbuatan diukur oleh seberapa banyak keuntungan materi yang didapat. Jika perbuatan tersebut tidak menghasilkan benefit material (keuangan, harta benda, jabatan,dll) maka sulit menjadikan shalat sebagai sebuah perbutan yang perlu dilakukan. Tentu ini salah besar. Tidakkah kita sadari bahwa sebenarnya tubuh kita terdiri dari dua unsur, yakni ruh/spiritual dan jasad/badan yang mana keduanya tentu membutuhkan asupan, sesuai kadarnya masing-masing. Jika kita hanya memberi asupan pada salah satunya saja, maka ketimpangan tinggal menghitung hari.
Kita bisa melihat kondisi ini telah terjadi di negara-negara Barat yang berpola hidup serba materialistik. Alih-alih memperoleh kebahagiaan, tingkat depresi yang mereka alami malah meningkat signifikan. Akhirnya para psikolog disibukkan untuk merevitalisasi jiwa-jiwa mereka, tapi hasilnya pun kurang memuaskan. Hingga akhirnya mereka menyadari bahwa spiritualitas merupakan fitrah manusia sebagaimana yang dipaparkan oleh William James, psikolog Amerika, dalam bukunya yang fenomenal The Varieties of Religious Experience. Agaknya pernyataan ini mirip dengan frasa Qur’an yang berbunyi, “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (way of life); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah tersebut. Tidak ada perubahan pada fitrah tersebut. (Itulah) agama (way of life) yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Rum [30]: 31)
Bagaimanakah cara menghadapkan wajah (totalitas kehidupan) kepada jalan hidup yang lurus itu? Ayat selanjutnya menyatakan, “dengan kembali bertaubat kepada-Nya dan bertawakal, serta mendirikan shalat dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah.” (QS. Rum [30]: 31).
Jika orang-orang Barat saja sudah memahami bahwa materi bukanlah segalanya, lantas bagaimana mungkin kita malah mengikuti kesalahan mereka yang lalu? Uniknya, umat Islam telah diberi “bocoran” dari-Nya tentang bagaimana cara memenuhi kebutuhan spiritual itu yang tiada lain ialah dengan mendirikan shalat sehingga konsekuensi logis dari pernyataan di atas ialah shalat bukanlah merupakan sebuah kewajiban, sebagaimana diyakini oleh sebagian umat muslim, melainkan kebutuhan. Makanan dan minuman dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan jasad kita, sedangkan shalat, dzikir, serta doa untuk kebutuhan ruhani/spiritualnya.
Pada sisi yang lain, bagi yang sudah gemar shalat, masih pula terdapat kekurangan, sebabnya karena kita telah tersibukkan pada tataran fisik/syariat shalat daripada esensi atau hakikatnya. Sudah tak terhitung berapa juta jilid buku yang menuliskan tentang hukum atau tata cara shalat, semuanya ditinjau hanya dari satu sisi yakni syariat. Belum lagi dalam buku-buku tersebut –seringkali– mereka menyalahkan bahkan menyesatkan orang-orang atau mazhab yang berbeda tata cara shalatnya dengan mereka. Padahal dalam Islam, khususnya berkenaan dengan urusan keibadahan, terdapat konsep tanawwul al-ibadah(keragaman cara beribadah) yang disebabkan oleh keragaman praktik ibadah yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad sendiri. Dalam hal ini, daripada saling memojokkan satu sama lain, lebih baik bersikap toleran terhadap yang berbeda tanpa harus mereduksi keyakinan tata cara yang dipercayai.
Kita harus dapat berjalan lebih jauh dari ranah syariat dan menembus esensi shalat sebab di sanalah muara kebahagiaan/ketentraman yang dicari oleh seluruh para pencari Tuhan. Dalam Al-Qur’an shalat dilaksanakan guna mengingat-Nya (QS. Thaha [20]: 14) meskipun sudah sepantasnya umat muslim senantiasa mengingat Allah dalam setiap waktunya. Atau sebagaimana dijelaskan secara lebih mendetail oleh salah satu hadits qudsi yang dikutip oleh Muhammad Al-Bagir dalam buku Shalat dalam Perspektif Sufi:
“Allah Swt. berfirman, tidaklah Aku menerima shalat setiap orang. Aku hanya menerima shalat dari orang yang merendah demi ketinggian-Ku, berkhusyuk demi keagungan-Ku, mencegah nafsunya dari segala larangan-Ku, melewatkan siang dan malamnya dalam mengingat-Ku, tidak terus-menerus dalam membangkang terhadap-Ku, tidak bersikap angkuh terhadap makhluk-Ku, dan selalu mengasihani yang lemah, dan menghibur orang miskin demi keridhaan-Ku. Bila ia memanggil-Ku, Aku akan memberinya. Bila ia bersumpah dengan nama-Ku, Aku akan membuatnya mampu memenuhinya. Akan Aku jaga ia dengan kekuatan-Ku dan kubanggakan dia di antara malaikat-Ku. Seandainya aku bagi-bagikan nurnya untuk seluruh penduduk bumi, niscaya akan cukup bagi mereka. Perumpamannya seperti surga firdaus, buah-buahannya tidak akan rusak, dan kenikmatannya tidak akan pernah sirna.”
Sebagai contoh seseorang yang sudah meraih nikmatnya hakikat shalat, Syaikh Nazim Al-Haqqani, mursyid sufi Tarekat Naqsabandiyah asal Cyprus pernah menceritakan pengalaman ruhaninya saat melaksanakan shalat dalam sebuah kesempatan:
“Pagi-pagi sekali beliau (Syaikh Abdullah Al-Daghestani –guru Syaikh Nazim) membangunkanku untuk menunaikan shalat. Tidak pernah aku merasakan kekuatan luar biasa seperti cara beliau beribadah. Aku merasa sedang berada di hadapan Ilahi dan hatiku semakin tertarik pada beliau. Kembali sebuah ‘penglihatan’ terlintas. Aku melihat diriku sendiri menaiki tangga dari tempat kami shalat menuju Baitul Makmur, Ka’bah surgawi, setingkat demi setingkat. Setiap tingkat yang kulalui adalah maqam yang diberikan oleh Syaikh kepadaku. Di setiap maqam aku menerima pengetahuan di dalam hatiku yang sebelumnya tidak pernah aku dengar ataupun aku pelajari. Kata-kata, frase, kalimat, diletakkan sekaligus dalam cara yang indah dialirkan menuju hatiku, dari maqam ke maqam sampai terangkat menuju Baitul Makmur. Di sana aku melihat ada 124.000 Nabi berbaris melakukan shalat dan Nabi Muhammad sebagai imamnya. Aku melihat 124.000 sahabat nabi yang berbaris di belakang beliau. Aku melihat 7007 awliyaTarekat Naqsabandiyah berdiri di belakang mereka sedang shalat. Aku juga melihat 124.000 awliyatarekat lain berbaris melaksanakan shalat. Sebuah tempat sengaja disisakan untuk dua orang tepat disebelah Abu Bakar as-Shiddiq. Grandsyaikh mengajakku menuju tempat itu dan kami pun melaksanakan shalat subuh. Suatu pengalaman beribadah yang sangat indah. Ketika Nabi memimpin shalat itu, bacaan yang dikumandangkan beliau sungguh syahdu. Tidak ada kata-kata yang mampu melukiskan pengalaman itu, sesuatu yang Ilahiah. Begitu shalat selesai, penglihatan itupun berakhir, tepat ketika Syaikh menyuruhku untuk mengumandangkan adzan subuh.”
Sejatinya pengalaman-pengalaman ruhani seperti yang digambarkan di atas, dapat berbeda pada diri setiap orang. Betapapun, itulah shalat yang sesungguhnya, bukan lagi sekadar gerakan-gerakan semata, melainkan menjurus pada hal yang lebih Ilahiah-transendental.