Lalu langkah apa yang dapat kita lakukan supaya dapat merasakan nikmatnya shalat, sebagaimana yang dialami oleh para Shadiqin? Imam Ghazali, seorang filsuf sekaligus sufi kenamaan dalam bukunya Ihya Ulumuddinmemberikan panduan kepada kita supaya shalat dapat bermakna. Hal yang paling utama ialah memiliki kesadaran. Sadar bahwa kita sedang shalat karena banyak sekali di antara kita yang jasadnya terlihat shalat tetapi pikiran dan hatinya melayang-layang tak tentu arah. Dalam sebuah hadits dinyatakan, tidak ada suatu kebaikan apapun yang diperoleh seseorang dari shalatnya kecuali sekadar yang dikerjakan dengan kesadaran [penghayatan]. Di dalam hadits lain dinyatakan bahwa saat menjelang shalat kita harus merasa seakan-akan melihat/menghadap Allah, kalau tidak bisa, yakini dalam diri –dengan penuh kesadaran– bahwa Allah sungguh-sungguh melihat kita shalat.
Al-Ghazali memberikan enam cara praktis supaya shalat kita dapat bermakna sehingga dapat dikatakan shalatnya khusyuk, pertamaialah hudurul qulubyakni upayakan untuk mengosongkan hati dari selain apa yang sedang dikerjakan (shalat) sehingga selaraslah antara perbuatan-ucapan dengan keadaan hati; keduaialah tafahhum, memahami makna kata-kata yang diucapkan. Bacaan shalat bukanlah kumpulan mantra jampi-jampi sehingga setelah membacanya kita merasa telah tercukupi. Ini jelas sebuah kesalahan besar. Kalau sekadar membaca/membunyikan, burung beo pun dapat melakukannya. Bukan itu yang dikehendaki dalam shalat. Sebagai muslim sudah sepatutnya mempelajari bacaan-bacaan shalat –dengan ilmu– supaya dapat diresapi sebagai sarana komunikasi dengan Allah; ketigaialah takzim,mengagungkan dan menghormati Allah; keempatialah haibah,merasa takut kepada Allah sebagai akibat pengetahuannya yang mendalam akan kekuasaan dan hukuman-hukuman Allah; kelimaialah raja’, sebuah pengharapan yang muncul karena pengetahuan akan kasih sayang-Nya dan janji-Nya (surga) bagi orang-orang yang senantiasa mendirikan shalat; dan keenamadalah haya’,rasa malu yang muncul karena kesadaran akan ketidakkuasaan dalam beribadah (merendahkan diri di hadapan Allah). Bukankah kita suka mengucapkan lafadz la haula wa la quwwata illa billah?
Implikasi pelaksanaan shalat yang seperti di atas, selain menambah kedekatan dengan Allah, juga berimbas pada komunikasi positif terhadap sesama. Siapakah sesama itu? Yaitu seluruh umat manusia tanpa memandang latar belakangnya.
Nah, jika direlasikan dengan kondisi bangsa, maka terlihat nilai-nilai etis shalat terkesan masih kering dalam bentuknya yang real.Tetapi bayangkan jika umat muslim mendirikan shalat setegak-tegaknya, maka ketidakadilan akan semakin minim, hukum berjalan dengan baik dan independen –tidak memihak pada siapapun selain kebenaran dan kemaslahatan. Rakyat pun akan sejahtera sebab kekayaan tidak hanya dinikmati oleh segelintir orang, serta kasih dan laku saling maaf-memaafkan lebih dikedepankan. Semoga masih ada harapan untuk ke arah sana, dan itu dimulai dari diri kita!
(Penulis: relawan jumatan.org, M. Jiva Agung)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI