Mohon tunggu...
Jumarni
Jumarni Mohon Tunggu... Freelancer - Hanya Manusia Dhaif

Selesaikan Urusan Allah, Allah akan selesaikan segala urusanmu.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dibimbing Rektor

7 Mei 2021   11:09 Diperbarui: 7 Mei 2021   11:57 324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Apa yang sudah saya alami tidak pernah saya khayalkan.

Sudah menjadi rahasia umum mahasiswa akan kesulitan bertemu dengan jajaran petinggi kampus.

4,4 tahun selama di kampus, sembari organisasi mungkin ekspektasi orang, akan sering bertemu dengan petinggi universitas namun ketika menjelang demisioner saya bertanya pada diri saya 'siapalah aku bertemu jajaran rektor dengan mudah'. Pernah waktu itu, ketika wisuda, dan penerimaan mahasiswa baru. Ya, begitulah adanya. Mentok-mentok bertemu dengan WR3 karena memang ada hubungan organisasi yg sama dulunya dengan beliau. Tapi ya tetap saja jarang.

Ini hanya sekadar coretan ketidaksangkaan dari realitas yang sudah saya alami.
**
Mulai dari mendapatkan musyrif (pembimbing) Tugas Akhir (TA) selama di PKU. Ya, beliau pembimbing saya, ust Hamid Fahmy Zarkasyi. 

Bermimpi untuk itu saja tidak pernah, adanya nangis, takut tidak maksimal, deg-degan dsb. Hal ini efek dari beberapa cerita mentor akan koreksi mahasiswa Pascasarjana yang dicoret-coret. Disatu sisi coretan itu tanda cinta pembimbing katanya. Tapi saya tidak sanggup membayangkan ketika itu.


Mudahnya bertemu beliau ketika selesai shalat Maghrib, hal ini kapanpun saya siap dan beliau tidak sedang mengajar dari kampus putri.
Tinggal chat dan dipersilahkan utk bertemu di hari yg beliau berkenan. Dengan ditemani mentor akhwat, kami berangkat. Kalau di kampus saya boro-boro ngechat di balas, punya kontaknya aja ga. Kondisinya ketika itu saya sih bukan anak BEM dimana mereka akan memiliki kontak pada petinggi kampus untuk demo atau aksi di kampus.

Kemudian, konsultasi perdana itu terjadi setelah tiga kali revisi dengan mentor pembimbing saya. Coret sana sini, dan harus bagus versi beliau kemudian baru boleh takdim ke musyrif.

Revisi, dicoret sampai tak bisa terbaca tulisan beliau, biasa aja sebenarnya, yang penting saya aman di musyrif, pikir saya.

Gejolak ketakutan saya ketika ustadz Hamid mencari saya lewat WR3 sekaligus direktur PKU, dan menyampaikan ke staff. Dan saya pun miang (read:pusing). Staffnya 3 atau empat orang sepertinya. Kemudian ketika kajian ba'da subuh direktur PKU tersebut menyampaikan langsung ke saya "dicari ustadz Hamid" ini sudah kali kedua, pekan sebelumnya ketika hanya ditanya 'ada yang belum konsultasi? Penutup beliau ketika kajian. 'ana ustadz'. "Siapa musyrifnya?" "Ustadz Hamid ust, Afwan, ana masih revisi ustadz".


Akumulasi kejadian itu membuat saya merasa  jadi buronan rektor  (Hal ini tersirat saya tuliskan di naskah serah terima PKU Unida Gontor ke Pemprov Kaltim tempo hari).
**

Ada hal yang cukup menarik.
Ketika itu takdim pertama saya. Sudah menunggu didepan rumah beliau dan ketika itu beliau muncul dengan diikuti mahasiswa doktor AFI sejak dari masjid. Namun ketika itu, beliau menolak permintaan itu dan mempersilahkan kami masuk ke teras rumah beliau. Sontak mentor yang membersamai saya bergumam "MasyaAllah, demi anak-anak PKU".
Dalam hati saya "ya Allah, siapalah kami".

Dari hal itu saya mengambil pelajaran bagaimana beliau-beliau memuliakan tamu yang kami pun bukanlah apa-apa ini. Begitulah sebaiknya ihsan yang sering beliau sampaikan dalam perkuliahan.

Konsultasi pertama saya hanya manut-manut saja seperti dapat kajian biasa. Masih takut dan berusaha memahami apa sekiranya yang ingin beliau sampaikan akan makalah saya.

Konsultasi kedua, mentor akhwat tersebut sampai berpesan "tanyakan semua yang antum mau tanyakan!"

Jadilah takdim ketika itu, saya merasa punya teman diskusi sekaligus pembimbing. Hasilnya? Ya, Revisi 'lagi'.

Setelah itu, dijalan pulang mentor akhwat tersebut berkata "coba tadi itu, sejak awal takdim ya, lebih enak dan lowong waktunya untuk revisi ".

Saya cuma ambil pelajarannya "Iya ustadzah, intinya jangan malu untuk diskusi lain kali, malu dan takutlah pada tempatnya. "Saya takut ustadzah, masih beradaptasi diawal begitu".
Yaudah intinya revisi  lagi.

Kemudian, akhirnya, saya pamit dan menceritakan bagaimana takutnya dan tak menyangkanya saya menjadi anak bimbingan seorang Rektor Universitas Darussalam Gontor, yang notabenenya pasti sibuk. Tapi tetap mau menjadi pembimbing pendatang yang fakir ilmu ini. Karena hal ini tak biasa bagi saya.

Terakhir, yang cukup berkesan bagi saya. Setelah sebulan lebih telah berada di Kaltim, dan baru terlaksana serah terima peserta PKU dari Unida Gontor ke pemprov Kaltim. Dan Qodarullah Allah izinkan saya menyampaikan pesan dan kesan, sebagai luahan hati saya selama disana. Beres menyampaikan, belum lama saya duduk setelah itu, beliau me-WA saya. (lihat di akun @marny_27 slide dua. Perasaan senang, tidak nyangka  tentunya. Chat WA saya dengan beliau sudah steril. Dan beliau masih menyimpan jejak WA saya ketika itu.
Dulu beliau tidak menyimpan kontak saya (profilenya tidak terlihat), saya berpikir, 'man ana, siapalah saya.' Dibimbing beliau aja sudah sangat bersyukur. Tapi setelah pelepasan kemarin, profile kontak beliau muncul, Sungguh Terharu sekali.

Alhamdulillahi bini'matihi tatimmush sholihaat..

**
Pesan saya siapapun kamu yang membaca tulisan ini. Dan semisal mendapatkan musyrif yang sama. Jangan 'malu' untuk bertanya, diskusi, minta pendapat, dan dari kesimpulan apa yang kamu pahami pun sampaikan kepada beliau. Karena telepati bukan solusi, serius.

Samarinda, 7 Mei 2021.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun