Mohon tunggu...
Jumarni
Jumarni Mohon Tunggu... Freelancer - Hanya Manusia Dhaif

Selesaikan Urusan Allah, Allah akan selesaikan segala urusanmu.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Liberalisme di Barat Menurut Isaiah Berlin (Dua Konsep Kebebasan)

18 Januari 2021   21:31 Diperbarui: 20 Januari 2021   14:23 842
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Isaiah Berlin adalah seorang sejarawan ide dan filosof Inggris keturunan Rusia, yang merupakan 'tamu masa depan'. Sebutan tersebut diberikan oleh Anna Akhmatova salah seorang penyair terbesar Rusia. Berlin menemukan bahwa benih-benih totalitarianisme berasal dari hasrat manusia terhadap pembebasan, akan tetapi dengan bersandarkan pada keyakinan akan kebenaran absolut dan universal. Berlin mengkritik klaim universal dan absolut yang mewarnai gugusan pemikiran pencerahan yang berkembang dikalangan intelektual Prancis abad ke-18 dengan memperhatikan, menyimak gagasan dari kontra pencerahan dari Italia yang salah satunya ialah  Giambatista Vico, dan dua tokoh pelopor romantisisme Jerman Johan Georg Hamann dan Johan Gottfried Herder.

Kritik dari Berlin terhadap pencerahan tidak membuatnya antipati kepada kebebasan individu. Berlin yang secara tajam melucuti universalisme pencerahan tetapi ia tetaplah seorang liberal. Bagaimanapun Berlin, ia tetaplah anak kandung dari masa pencerahan, meski bukan anak yang penurut. Menurut Ignatieff penulis biografi Berlin ia menuliskan "Berlin adalah seorang liberal yang berkunjung ke kubu kontra pencerahan yang irasional disiang hari dan kembali ke benteng pencerahan yang rasional dimalam hari." Posisi Berlin memiliki posisi yang menarik, terutama dalam konsep dunia postmodern. Disaat orang lain beramai-ramai menyudutkan klaim universalimodernism dan begitu antusias menyambut pluralisme postmodern.

Berlin mengulas dua hal yang sangat menonjol dan melingkupi begitu banyak sejarah manusia, dan menurutnya masih akan terus berlanjut. Pengertian politik pertama dari kemerdekaan atau kebebasan (ia menggunakan dua kata ini dengan arti yang sama) dengan banyak pertimbangan yang kemudian disebut sebagai pengertian 'negatif', tercakup dalam jawaban dari pertanyaan 'dalam wilayah apa seorang manusia atau sekelompok manusia harus dibiarkan bertindak atau berkehendak sebagaimana yang ia snediri mampu lakukan atau inginkan, tanpa campur tangan orang lain.?' Pengertian kedua yang dimaksud ialah pengertian 'positif', tercakup dalam pertanyaan "apa dan siapa yang merupakan kontrol atau campur-tangan yang dapat menentukan seseorang untuk melakukan atau menghendaki hal ini dan bukan hal itu?" dua pertanyaan tersebut jelas-jelas berbeda, meskipun jawabannya sangat mungkin tumpang-tindih.

Gagasan Tentang Kebebasan 'Negatif'

Kebebasan politik dalam artian ini berarti suatu wilayah dimana seseorang dapat bertindak tanpa dihalang-halangi oleh orang lain. Jika dihalang-halangi untuk melakukan hal-hal yang ingin dilakukan, maka ada hal tersebut merupakan bukanlah suatu kebebasan; dan jika wilayah ini dipersempit oleh orang lain melebihi suatu batas minimum dianggap sebagai suatu perbudakan. Pengekangan, bukan merupakan suatu istilah yang melingkupi setiap bentuk ketidakmampuan. Contohnya, jika saya menganggap bahwa saya tidak mampu meloncat diudara lebih dari sepuluh kaki, atau tidak dapat membaca karena saya buta, atau tidak mampu memahami halaman-halaman sulit dari buku Hegel[1], maka akan menjadi aneh untuk mengatakan bahwa saya sampai tingkat tertentu diperbudak atau dikekang. Pengekangan mengandaikan suatu campur tangan yang disengaja dari orang lain dalam wilayah dimana seseorang dapat bertindak sebaliknya. Seseorang tidak mempunyai kebebasan atau kemerdekaan politik jika seseorang tersebut dihalang-halangangi oleh orang lain untuk mencapai suatu tujuan.sekadar ketidakmampuan untuk mencapai suatu tujuan bukan berarti ketiadaan kebebasan politik. Helvetius mengemukakan hal ini dengan jelas. "seorang manusia yang bebas adalah manusia yang tidak terbelenggu, tidak terkekang dalam penjara, tidak tercekam ketakutan akan hukuman layaknya seorang budak. Bukan merupakan ketiadaaan kebebasan jika tidak bisa terbang seperti elang atau tidak bisa berenang seperti ikan paus."[2] De' I'esprit, wacana pertama, bab 4.

Jika kemiskinan seseorang merupakan suatu jenis penyakit, yang menghalangi nya untuk dapat membeli roti, atau melakukan perjalanan keliling dunia, atau membuat perkara saya didengar di pengadilan, sebagaimana kepincangan menghalangi saya untuk berlari, maka ketidakmampuan ini tidak dapat secara alamiah dianggap sebagai ketiadaan kebebeasan, paling tidak kebebasan politik. Hanya karena anggapan bahwa ketidakmampuan seseorang untuk mendapatkan sesuatu disebabkan oleh kenyataan bahwa orang lain telah membuat suatu rencana, dan bukan orang lain, dihalangi untuk memperoleh cukup uang yang dapat membiayai semua itu, maka seseorang dapat berpikir bahwa 'saya merupakan korban dari suatu penindasan atau perbudakan'. Dengan kata lain, penggunaan istilah tersebut bergantung pada teori sosial ekonomi tertentu tentang sebab-sebab kemiskinan atau ketidakmampuan. Jika kekurang akan saranan material disebabkan oleh kurangnya kemampuan mental atau fisik, maka saya akan mengatakan bahwa kebebsan telah hilang.[3]

Gagasan tentang kebebasan positif

Pengertian 'positif' sari kata 'kebebasan' bersumber dari keinginan yang ada dalam diri seorang individu untuk menjadi tuan atas dirinya sendiri. Kehidupan dan keputusan-keputusan saya bergantung pada diri sendiri, bukan pada kekuatan-kekuatan luar apapun bentuknya. Keinginan menjadi sarana bagi tindakan yang dikehendaki snediri, bukan bagi tindakan dan kehendak orang lain. Keinginan menjadi subjek bukan objek. Dikendalikan oleh akal sehat, oleh tujuan-tujuan sadar yang saya kehendaki sendiri, dan bukan oleh tindakan-tindakan dari luar yang menimpa seseorang. Keinginan untuk menjadi orang yang berarti bukan orang yang tak berarti. Menjadi seorang pelaku yang menentukan, bukan yang ditentukan. Yang memerintah diri sendiri bukan dikendalikan oleh dunia luar atau orang lain, seolah mengangap bahwa manusia adalah sebuah benda atau seekor binatang atau budak yang tidak mampu mengambil peran sebagai seorang manusia yakni memahami tujuan dan kebijaksanaan snediri dan mewujudkannya.[4]

Hal diatas merupakan bagian dari alasan mengapa ia mengatakan bahwa dirinya adalah seseorang yang rasional, dan bahwa akal-budilah yang membedakan manusia. Keinginan untuk menjadi manusia yang sadar akan dirinya sendiri, sebagai mahluk yang berpikir, berkendak hidup, dan mampu bertanggungjawab atas pilihannya dan mampu menjelaskan itu semua dengan mengacu pada gagasan dan tujuannya sendiri. Ia merasa bebas sampai derajat dimana ia yakin bahwa hal ini adalah benar. Kebebasan yang muncul dalam wujud menjadi tuan atas diri sendiri, dan kebebsan yang muncul dalam bentuk tidak dihalang-halangi oleh orang lain utnuk memilih kehendak diri sendiri. Jika dilihat secara sepintas lalu, mungkin tampak sebagai konsep logis yang tidak dapat dipisahkan dari satu dengan yang lainnya.[5]

Salah satu cara untuk menjelaskan hal ini dapat dilihat dari suatu momen kemerdekaan yang pada awalnya mungkin sangat tidak berbahaya dimana metafor tentang pengendalian diri sendiri diperoleh. 'saya adalah tuan atas diri sendiri', 'saya tidak diperbudak oleh siapapun' namun (sebagaimana yang cenderung dikatakan oleh para pengikut Plato dan Hegel) bukankah saya buudak alam? Atau budak dari hasrat saya yang tidak terkendali? Bukankah terdapat berbagai macam bentuk 'budak' yang serupa, budak politik atau hukum serta budak moral atau spiritual? Tidakkah manusia mempunyai pengalaman membebaskan diri mereka sendir.lki dari perbudakan spiritual, atau perbudakan pada alam, dan tidakkah mereka dalam hal ini menjadi sadar disatu pihak tentang sesuatu yang berkuasa. Idiri yang berkuasa ini kemudian dengan berbagai cara dikenali sebagai akal-budi sebagai kodrat yang lebih tinggi. Seseorang yang dapat menghitung dan mengukue apa yang menguntungkannya dalam jangka panjang sebagai diri yang nyata, sejati atau otonom atau sebagai diri yang luhur yang kemudian dilawankan dengan dorongan yang tidak rasional, hasran dan kesenangan-kesenangan yang dekat, diri yang empiris atau heteronom yang diombang-ambingkan oleh hasrat dan nafsu dan yang perlu ditertibkan dengan ketat jika seseorang ingin meraih kodrat sejati yang paling tinggi.[6]

Kesimpulan 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun