Menjadi hal yang biasa main ke rumah sanak saudara, keluarga dan berkunjung meskipun dipisahkan oleh jarak ketika mama masih membersamai.
Mama sering mengajarkan untuk berbagi, kerja keras dan mengasihi. Anak tetangga yang yatim piatu sering disantuni spontanitas tanpa pencitraan, dan juga basa basi.
Mengingatkan kenangan itu  tentu agak sedikit menguras memori berkasih disaat bersama tempo hari,  tepatnya 11 tahun lalu.
Karena seringnya ia bersilaturahmi, maaf-maafan tak pernah absen dari pintu satu ke pintu lain sanak keluarga dan tetangga. Hingga ketika ia memiliki hajatan besar yang membutuhkan massa yang cukup banyak, tidak repot ia memintai tolong atau dengan bayaran. Tetangga hadir dengan suka rela membantu mempersiapkan acaranya.
Dari ia aku belajar bagaimana tetap menyimpan ekspresi, dan juga mengelola kekecewaan terhadap tetangga dengan cara memaklumi, dengan cara memaafkan. Bisa saja ia marah disaat tagihan hutang tetangga tidak terbayar. Tetapi justru beliau santai saja, bahkan ia mendatangi kerumah peminjam dengan maksud menyucikan hati tanpa menagih. Logika kita mungkin harusnya ya yang punya hutang yang datang sungkeman. Ini malah sebaliknya.
Setelah ia pergi, tak ada lagi kunjungan ke rumah tetangga, sanak keluarga, berkunjung ke tempat keluarga yang cukup jauh. Entah kemana gairah keluarga ini untuk bersilaturahmi. Pikirku, mungkin karena faktor U bapak.
Tak ada lagi berbagi saat bulan ramadhan, THR saat lebaran. Dan santunan ke anak yatim pasca mama pulang ke pangkuan ilahi.
Rumah kian sepi, tak ada lagi keriwehan menyambut tamu, berkunjung, dll. Sejak kepergian mama sangat terasa perbedaanya di tahun pertama bulan ramadhan, bahwa semangat untuk bertahan hidup dan habbits silaturahmi pun menghilangkan ditelan bumi.
Tahun perantauanku menjadi ajang  kembali mengembalikan habbits cinta dari ibuku. Karena aku baru faham esensi dan keutamaan dari silaturahmi. Yang bahkan sejak aku belum lahir mamaku sudah menjadikan itu sebagai kebutuhan seorang perempuan yang punya kebiasaan bicara 20000 kata perhari.
Selain itu, mama selalu membawa cerita baru, informasi baru ketika dirumah. Padahal dulu tidak ada HP, WhatsApp, internet tetapi ia selalu update. Dan aku baru menyadarinya sekarang, bahwa segalanya itu ia dapat dari silaturahmi.
Satu hal moment yang paling membuat aku terpukul dan merasa kurang adalah, setiap mengawali Iedul Fitri bapak dan mama selalu mengambil moment hari raya untuk memuji baju baruku dikala masih SD dan setelah shalat Ied itulah momen maaf-maafan termanis yang tak pernah terlupa, disaat seluruh anaknya menangis dalam pelukan haru, cinta, sujud di surga mama dengan merasa bersalah dan berdosa dengan mereka, ya itu menjadi waktu muhasabah kami bersaudara. Dan hal itu hanya terjadi kala itu, saat mama masih ada, dan cinta itu masih merekah. Hingga akhirnya 21 April 2009 kami berpisah beda dunia.