Melapangkan hati, temukan syukur dalam pandemi
Kita sering berpikir bahwa kita adalah orang yang paling merugi. Tidak beruntung sama sekali. Â Tidak pernah merasakan kebahagiaan, selalu merasa kekurangan. Dan tak jarang menyudutkan Allah, karena merasakan suatu ketidakadilan atas apa yang terjadi dengan kita.
Siang ini aku sedang ada keperluan untuk berjalan menyusuri wilayah kampus. Dalam perjalanan sering tidak fokus dengan jalan dan mengalihkan pandangan ke hal-hal yang mungkin karena inginnya Allah untuk kulihat.
Aku melihat seorang petugas kebersihan tengah lari-lari untuk mengambil sampah yang ada di pinggiran kota dan tak jarang dari mereka masuk ke gerobak sampah untuk membersihkan sampah Samarinda. 2016 aku berjalan bersama dengan seniorku, mba inisial R dia berkata "ada ya, orang yang mau kerja gali-gali sampah seperti itu". Aku tak banyak berkomentar.
Saya berpikir, jika tidak ada orang yang mau membersihkan sampah ini, bagaimana kehidupan kita dipenuhi dengan sampah ? Dan terpenting, berapa banyak amal jariyah karena kebaikan yang dia berikan untuk orang lain karena keikhlasannya dalam bekerja ?
Kembali ke pembahasan diawal, alangkah meruginya kita apabila selalu melihat kehidupan kita dari satu sudut pandang, beranggapan bahwa kita adalah mahluk yang paling kurang, paling sengsara, paling  merugi. Seberat apa ujian kita hingga kita kufur terhadap nikmat yang Allah kasih.
Padahal setiap hari Allah berikan air untuk kita minum tanpa melihat proses pembuatan air itu berasal. Begitu panjang perjalannya dari bawah tanah hingga sampai ke tangan kita. Yang kita tau tanpa minum kita tak akan bisa bertahan hidup.Â
Itu baru air, belum kita telisik satu persatu bagaimana fungsi ginjal kita berguna dengan baik atau tidak ? telinga kita ? mulut kita ? paru-paru ? jantung kita? Semuanya masih berfungsi dengan baik bukan ?
Kembali ke pembahasan diawal, alangkah meruginya kita apabila selalu melihat kehidupan kita dari satu sudut pandang, beranggapan bahwa kita adalah mahluk yang paling kurang, paling sengsara, paling  merugi.
Padahal setiap hari Allah berikan air untuk kita minum tanpa melihat proses pembuatan air itu berasal. Begitu panjang perjalannya dari bawah tanah hingga sampai ke tangan kita. Yang kita tau tanpa minum kita tak akan bisa bertahan hidup.Â
Banyak orang diluar sana yang tak seberuntung kita. Pekerjaan kita masih jauh dari tempat sampah yang kotor dan menjijikkan. Bukan pula kuli bangunan yang harus banting tulang dalam menghidupi keluarga.
Ya, begitulah manusia, tempatnya salah dan lupa, sering membandingkan hingga lupa bahwa Allah memberi banyak nikmat yang tak terduga. Kalaulah kita tulis nikmat yang Allah kasih mungkin lebih banyak daripada keluhan yang tak berkesudahan.Â
Ketika kita mengeluh akan pekerjaan, begitu banyak diluar sana yang tak memiliki kerja. Ketika kita mengeluh kebosanan mengenai work from home begitu banyak diluar sana harus bekerja diluar rumah hanya karena ingin memastikan keluarganya mendapatkan kelayakan makanan untuk berbuka.
Sejenak mari kita renungi ayat ini "Ingatlah kepada-Ku, Aku juga akan ingat kepada kalian. Dan bersyukurlah kepada-Ku, janganlah kalian kufur" (QS. Al Baqarah: 152). Tidak ada keraguan atas agama ini. Perluas insight kita kepada Allah. Akan kita temukan begitu banyak nikmat yang terlupa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H