Mohon tunggu...
Jumari Haryadi Kohar
Jumari Haryadi Kohar Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, trainer, dan motivator

Jumari Haryadi alias J.Haryadi adalah seorang penulis, trainer kepenulisan, dan juga seorang motivator. Pria berdarah Kediri (Jawa Timur) dan Baturaja (Sumatera Selatan) ini memiliki hobi membaca, menulis, fotografi, dan traveling. Suami dari R.Yanty Heryanty ini memilih profesi sebagai penulis karena menulis adalah passion-nya. Bagi J.Haryadi, menulis sudah menyatu dalam jiwanya. Sehari saja tidak menulis akan membuat ia merasa ada sesuatu yang hilang. Oleh sebab itu pria berpostur tinggi 178 Cm ini akan selalu berusaha menulis setiap hari untuk memenuhi nutrisi jiwanya yang haus terhadap ilmu. Dunia menulis sudah dirintis J.Haryadi secara profesional sejak 2007. Ia sudah menulis puluhan judul buku dan ratusan artikel di berbagai media massa nasional. Selain itu, ayah empat anak ini pun sering membantu kliennya menulis buku, baik sebagai editor, co-writer, maupun sebagai ghostwriter. Jika Anda butuh jasa profesionalnya dihidang kepenulisan, bisa menghubunginya melalui HP/WA: 0852-1726-0169 No GoPay: +6285217260169

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Asal Mula Istilah "Garong" Ternyata Berasal dari Cimahi

25 September 2020   12:48 Diperbarui: 25 September 2020   12:51 517
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi rampok (sumber: goldsteinmehta.com)

Keberadaan sebuah kata terkadang tak terlalu kita perhatikan, apalagi memikirkannya. Namun, di mata Kang Sony Vespa - seorang pegiat pariwisata Kota Cimahi, kata-kata itu bisa memiliki daya tarik sendiri. Bahkan, dia mampu membuat turis yang berkunjung ke Kota Cimahi menjadi terkesima.

Saat Kang Sony menjadi pemandu wisata bus wisata Sakoci (Saba Kota Cimahi), dia bukan hanya menceritakan tentang sejarah Kota Cimahi, tetapi juga bercerita tentang hal-hal menarik lainnya, misalnya tentang asal kata "Garong". Tentu saja kata-kata tersebut juga berkaitan erat dengan sejarah itu sendiri.

Menurut Kang Sony, asal kata "Garong" bermula dari adanya seseorang di zaman awal kemerdekaan (sekitar tahun 1946-1947) yang akan mengirim surat dari Cimahi melalui Tagogapu ke Padalarang. Karena orang tersebut kemalaman, akhirnya dia berhenti di markas TKR (Tentara Keamanan Rakyat -- cikal bakal TNI) yang lokasinya di Jalan Raya Cibabat, persis di depan Jalan Cihanjuang (sekarang eks gedung markas TKR tersebut sudah menjadi Bank Jabar-Banten). Ia pun ditampung dan bermalam di sana. Dulu tempat tersebut merupakan rumah kediaman kakeknya grup legendaris BIMBO.

Kemudian terjadilah percakapan antara salah seorang prajurit TKR dengan kurir surat tersebut, "Kenapa tidak diteruskan perjalanannya?"

"Sudah malam Pak. Saya takut meneruskan perjalanan. Jalur yang akan saya lalui tidak aman. Banyak garong di sana," jawab kurir tersebut.

"Garong? Apa itu garong?" tanya laskar TKR tersebut.

"Kata orang sih garong itu singkatan dari Gabungan Romusa Ngamuk," jawab kurir itu.

"Oh mantan romusa? Iya, memang betul itu jalur rawan. Sebaiknya menginap saja di sini, besok saja dilanjutkan perjalanannya," saran laskar TKR tersebut dengan ramah.

Menurut id.wikipedia.org, istilah romusa ( rmusha: "buruh", "pekerja") adalah panggilan bagi orang-orang Indonesia yang dipekerjakan secara paksa pada masa penjajahan Jepang (1942-1945). Kebanyakan romusa ini berasal dari para petani yang dipaksa bekerja oleh pihak Jepang. Mereka dikirim ke berbagai tempat di Indonesia serta Wilayah Asia Tenggara untuk dijadikan budak atau pekerja paksa.

Ternyata setelah saya telusuri melalui Google, kisah asal mula kata "garong" tersebut pernah pula diulas di laman id.historia.org. Historia adalah majalah sejarah online pertama di Indonesia yang disajikan secara populer. Menurut majalah online tersebut kisahnya terjadi antara 1945-1947. Saat itu tak ada seorang pun yang berani melewati jalur Tagogapu-Padalarang di atas jam 16.00 karena pada waktu tersebut gerombolan bersenjata mulai beroperasi.

Ilustrasi (sumber: Edi Wahyono - News.detik.com)
Ilustrasi (sumber: Edi Wahyono - News.detik.com)

Seperti dikutip Historia dari narasumbernya, Arnasan (91), kelompok-kelompok liar itu adalah eks para romusa yang kembali pulang dari Wilayah Asia Tenggara. Mereka ini jadi terkatung-katung seperti budak yang kehilangan tuannya. Akhirnya mereka terpecah dan membentuk kelompok-kelompok kecil.  

"Entah bagaimana mereka kemudian menjadi orang-orang jahat yang kerjananya merampok orang-orang yang lewat di wilayah Padalarang dan sekitarnya," ungkap lelaki yang pada masa mudanya pernah menjadi pedagang keliling itu.

Kemudian masyarakat menjuluki eks romusa yang berbuat onar tersebut dengan sebutan "garong", singkatan dari "Gabungan Romusa Ngamuk". Para garong ini kemudian menyebar ke berbagai tempat dan menjadi buruan pihak keamanan Republik dan tentara Belanda.

"Para garong ini tidak peduli korbannya orang Republik atau pihak Belanda. Selama berharta dan berduit maka mereka akan menyikatnya tanpa ampun," ujar Arnasan berkisah.

Kisah keberadaan garong ini juga dialami oleh salah seorang penulis terkenal, Pramoedya Ananta Toer. Pengalaman pribadinya tersebut dituangkannya dalam sebuah tulisan berjudul "Jalan Raya Pos Jalan Daendels". Dalam tulisan tersebut Pram menuturkan kisahnya semasa menjadi seorang prajurit TKR  berpangkat letnan dua bagian persuratkabaran di Resimen Cikampek.

Pram berkisah suatu hari di akhir tahun 1945, dirinya diutus oleh komandannya Letnan Kolonel Moeffreni Moe'min untuk menyampaikan sepucuk surat kepada seorang komandan di wilayah Padalarang bernama Doejeh. Mungkin yang dimaksud Pram sebagai Doejeh adalah Mayor Doejeh Soeharsa, salah satu komandan batalyon yang masuk dalam Resimen Cililin.

"Tapi sebagai rendahan, aku tak dapat bertemu dengannya. Anak buahnya yang menyampaikan surat yang kubawa. Aku harus menunggu di luar, ditemani prajurit-prajurit yang lain," ungkap Pram.

Ketika Pram sedang asyik mengobrol dengan beberapa prajurit Resimen Cililin, dia mendengar cerita dari salah seorang dari mereka mengenai banyaknya garong merajalela di wilayah Padalarang dan sekitarnya (termasuk Cililin). Menurut prajurit itu, para garong tersebut terdiri dari beberapa kelompok bersenjata yang tidak bergabung dengan tentara dan laskar atau pihak Belanda. Boleh dibilang mereka adalah kelompok liar bersenjata.

"Mereka melakukan perampokan di mana saja bila dianggap tak ada penjagaan yang kuat," tulis Pram.

Biasanya para garong tersebut beroperasi dengan menggunakan senjata api pendek. Senapan atau karabin pun mereka ubah larasnya menjadi pendek sehingga mudah disembunyikan di balik sarung.

Lain lagi kisah yang ditulis oleh M. Alie Humaide, salah seorang peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).  Dalam sebuah tulisannya yang berjudul "Gaboengan Romusha Ngamoek: Pertarungan Kekerasan di Kaki Pegunungan Dieng Banjarnegara (1942-1957)" tersebut Alie menjelaskan tentang munculnya garong di wilayah Banyumas, Jawa Tengah.

Kelompok garong ini menurut Alie, merajalela melakukan perampokan di wilayah seperti Kalibening, Karangkobar, Batur, Paweden, Wanayasa, Pekalongan, dan Wonosobo. Namun, perbedaannya dengan garong yang beroperasi di Jawa Barat, garong di wilayah Jawa Tengah ini bukanlah berasal dari eks romusa yang pulang dari Asia tenggara, melainkan romusha lokal. Mereka berasal dari para pemuda yang pernah dipekerjakan secara paksa oleh bala tentara Jepang di wilayah keresidenannya masing-masing.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun