Aku memang cuma pemuda biasa. Tempat tinggalku jauh di pedalaman, tepatnya di sebuah desa di kaki Gunung Cikuray, Garut, Jawa Barat. Pekerjaan sehari-hariku adalah bertani.
Setiap pagi aku selalu pergi ke kebun. Letaknya di pinggir desa. Jaraknya sekitar 25 menit berjalan kaki. Tak begitu jauh  untuk ukuran orang di desaku, sebab masih banyak petani lain yang lokasi kebunnya lebih jauh dariku.
Sebenarnya kebun ini bukan sepenuhnya milikku, melainkan milik keluarga. Kebun itu warisan dari almarhum ayahku, Obeh. Beliau meninggal sekira lima tahun silam. Kini aku tinggal bersama ibu dan kedua adik perempuanku yang masih kecil, Aisyah kelas VIII SMP dan Nurrohmah kelas 6 SD.
Usiaku sebenarnya masih muda untuk ukuran orang kota, baru 23 tahun. Namun bagi penduduk desa, aku sudah dianggap bujang tua. Jangan dikira aku tak mau menikah seperti teman-temanku yang sudah lebih dulu berkeluarga. Aku saja yang belum berani karena merasa belum mampu menafkahi seorang istri. Maklum, aku merasa penghasilanku masih pas-pasan.
Warti, ibuku adalah wanita desa yang lugu. Pendidikannya cuma sampai kelas 5 SD. Mendapatkan jodoh ayahku yang bekerja sebagai petani di desa rasanya ia senang sekali. Apalagi saat itu ayahku termasuk lelaki yang rajin dan cukup tampan sehingga menjadi incaran para gadis muda di desanya.
Kehidupan rumah tangga keluargaku terbilang baik. Kalau hanya sekadar makan dan minum selalu tercukupi. Hasil kebun yang dikelola ayahku mampu menghidupi kami sekeluarga. Bahkan sampai aku tamat SMA di sebuah kota kecamatan semuanya dibiayai dari sana. Sayang usia ayahku tidak panjang. Beliau meninggal akibat terkena musibah banjir bandang. Tragedi  lima tahun silam tersebut masih membekas kuat dalam ingatanku.
Seperti biasanya, usai salat Subuh dan sarapan pagi, ayah hendak berangkat ke kebun. Cuaca saat itu memang tidak begitu baik. Di luar hujan gerimis disertai angin kencang. Ayah memaksakan diri berangkat, walau ibuku sudah melarangnya.
"Ayah, diluar hujan gerimis, sebaiknya jangan ke kebun dulu. Perasaan ibu kok tidak enak Yah. Ibu khawatir hujan semakin deras Yah," ujar ibu ketika itu.
"Gak apa-apa kok Bu, cuma gerimis. Nanti juga reda," jawab ayah ngeyel sambil menyalakan rokok kretek kesayangannya.
"Ibu takut hujannya makin deras Yah. Bagaimana nanti kalau Ayah kehujanan? Nanti bisa sakit. Ingat umur Yah!" Balas ibu lagi sambil wajahnya terlihat agak kesal.