[caption caption="Ilustrasi oleh J.Haryadi"][/caption]
Oleh: J. Haryadi
Sewaktu usia saya sekira 6 tahun, saya mempunyai satu kebiasaan yaitu sering tidur di lantai ruang tengah. Alasannya karena saya tidak tahan dengan kondisi kamar tidur yang pengap dan gelap. Maklum ketika itu penerangan rumah masih mengandalkan lampu tempel yang berbahan bakar minyak tanah. Lampu tersebut biasanya cuma dipasang di ruang tengah dan dapur saja.
Sudah menjadi kebiasaan di keluarga kami, setiap malam sering berkumpul di ruang tengah, mulai dari saya, kakak dan adik. Kadang-kadang bapak dan ibu juga ikut serta, sehingga suasana menjadi ramai. Ruangan tengah ini tidak ada kursinya, jadi kami biasanya duduk dilantai yang beralaskan tikar. Kalau sudah sudah terasa mulai mengantuk, kami langsung tidur di ruangan ini, termasuk saya. Namun kadang-kadan ada juga yang pindah tidur di kamar.
Terus terang dalam keluarga kami, saya termasuk anak yang manja. Â Setiap mau tidur, selalu ingin ditemani ibu, sambil minta dikipas-kipas (kipasnya terbuat dari anyaman bambu) olehnya. Rasanya nikmat sekali terkena desiran angin dari kipas tersebut, sehingga badan terasa sejuk. Kebetulan ibu juga senang bernyanyi dan sering melantunkan lagu-lagu lawas atau sekedar mendongeng ketika mengipasi saya. Tak terasa mata saya pun terpejam, tertidur lelap, dan terbuai ke alam mimpi. Â Â Â
Suatu malam, terjadi keanehan yang belum pernah saya alami sebelumnya. Saat itu semua orang sudah tertidur dan tiba-tiba saya terbangun ditengah malam. Tanpa sengaja, mata saya tertuju ke arah bupet yang ada di ruang tengah. Ada seekor kucing hitam yang sedang berdiri di sana, sambil matanya menatap tajam ke arah saya. Seakan terhipnotis, mata saya tak bisa berpaling darinya, sehingga membuat saya merasa ketakutan.
Belum juga hilang keterkejutan saya, tiba-tiba kucing tersebut berubah ukurannya menjadi semakin membesar dan terus membesar. Setelah itu bentuk tubuhnya berubah menjadi seekor monyet yang bertaring panjang dengan bulu yang begitu lebat. Terlihat dengan jelas monyet itu menggaruk-garukkan tangan ke kepalanya, sambil menyeringai ke arah saya.
Melihat pemandangan yang menyeramkan tersebut tentu saja membuat saya semakin ketakutan. Bulu kuduk saya merinding. Badan saya gemetaran tak karuan. Saya berusaha untuk berteriak sekuat tenaga, tetapi usaha saya sia-sia belaka. Tak ada suara yang mampu keluar dari mulut saya. Saya hanya mampu memalingkan wajah dan langsung bersembunyi dibalik bantal dengan keringat dingin yang bercucuran. Beberapa saat kemudian saya tak sadarkan diri.
Entah sudah berapa lama saya pingsan di sana. Namun yang saya ingat, ketika saya mulai sadar, sayup-sayup terdengar suara orang membaca ayat-ayat suci Al-Qur’an. Ternyata kedua orangtua saya sudah ada di sisi kanan dan kiri saya, sambil berdoa untuk kesembuhan saya.
Sesekali ayah saya membasuhkan air yang sudah diberinya doa ke wajah saya. Rasanya begitu dingin, sejuk dan nyaman. Saya sedikit merasa tenang. Ketika mulai siuman, mereka tidak membolehkan saya berdiri. Â Justru mereka meminta saya agar tetap istirahat dan tidur saja. Waktu itu saya menuruti nasihat mereka dan tak lama kemudian kembali tertidur pulas.
Sejak kejadian tersebut, saya menjadi trauma. Saya tidak berani lagi menyimpan sepatu di bupet tersebut. Bayangan kucing dan monyet besar itu selalu menghantui saya. Setelah beranjak remaja baru saya bisa mengusir rasa takut tersebut. Sampai saat ini, saya masih belum bisa mengerti arti dari kejadian tersebut. Aneh tapi nyata, tetapi itulah kejadian yang pernah saya alami dan tak akan pernah terlupakan.