[caption caption="Salah satu Timbunan Sampah di TPA Alam Kari, kotabumi -Lampung Utara (Sumber: J.Haryadi)"][/caption]
Oleh: J. Haryadi
Sampah merupakan masalah perkotaan yang cukup rumit. Setiap hari masyarakat memproduksi sampah dan tidak sedikit mereka membuangnya secara sembarangan. Kondisi ini tentu sangat berbahaya bagi lingkungan. Sampah yang menumpuk bisa menimbulkan berbagai masalah seperti banjir, bau yang menyengat hidung dan menggangu pernapasan, bibit penyakit, dan masalah lainnya. Hal ini tentu saja tidak boleh dibiarkan dan harus dicarikan solusinya.Â
Aktivitas manusia selalu menciptakan sampah
Setiap aktivitas manusia hampir dipastikan melahirkan sampah. Sumber sampah itu bermacam-macam. Misalnya sampah yang diproduksi masyarakat yang bersumber dari kegiatan sehari-hari, seperti memasak. Sisa-sisa sayuran, kotoran hewan (ikan, daging ayam, daging sapi, daging kambing) dan bekas bumbu dapur akan menghasilkan sampah rumah tangga. Belum lagi sampah plastik yang dihasilkan dari kantong kresek bekas wadah bahan belanjaan.
Ketika makanan sudah matang dan siap disajikan, semua anggota keluarga segera menyantapnya. Sayangnya tidak semua makanan tersebut habis dikonsumsi. Ada bagian-bagian tertentu yang tidak dimakan dan akhirnya menjadi sampah, seperti tulang ikan, irisan tomat, irisan cabai, bumbu dapur seperti laos, daun serei, sisa nasi, dan sebagainya. Semua itu akhirnya harus dibuang ke kotak sampah, sehingga menambah banyak tumpukan sampah di dapur.
Suatu saat ada anggota keluarga yang baru pulang dari kantor atau sekolah sambil membawa minuman ringan dalam kemasan botol plastik atau kaleng. Setelah di rumah, minuman tersebut dikonsumsi. Botol plastik atau kaleng minuman yang sudah kosong tersebut juga akhirnya menjadi sampah.
Malam hari, ketika anak-anak sedang mengerjakan Pekerjaan Rumah (PR) menggunakan kertas HVS. Tiba-tiba anak tersebut meremas-remas kertas yang tadi digunakannya sebagai tempat mengerjakan PR-nya. Ternyata dia kesal karena apa yang dikerjakannya salah. Kemudian dia sengaja merusak kertas tersebut dan membuangnya. Akhirnya kertas yang tadi di remasnya telah menciptakan sampah baru dan kembali memenuhi kotak sampah.
Satu jam kemudian, anak yang tadi mengerjakan PR bermaksud buang air ke WC. Ketika hendak menyalakan lampu, ternyata lampunya tidak bisa menyala. Ternyata lampu tersebut ruak. Tak lama kemudian lampu tersebut diambil dan diganti dengan lampu yang baru. Lampu lama tidak bisa digunakan lagi dan terpaksa harus menjadi sampah.
Dua hari kemudian ada tamu yang berkunjung dengan membawa anak kecil. Tuan rumah segera menyuguhkan minuman hangat dengan menggunakan gelas yang terbuat dari kaca. Juga beberapa kue yang disimpan dalam toples, juga berbahan kaca. Tidak lama kemudian terdengar bunyi pecahan kaca yang jatuh ke lantai. Ternyata ini  gelas yang disuguhkan untuk tamu terjatuh ke lantai, sehingga pecah berantakan. Semua ini akibat ulah anak kecil yang mau minum, tetapi terlepas dari tangannya.  Pecahan kaca tersebut segera dibersihkan dan akhirnya menjadi sampah.
Sudah menjadi kebiasaan setiap keluarga memanfaatkan hari liburnya dengan beragam aktivitas. Ada yang pergi bertamasya keluar kota, ada juga yang menikmati liburan sambil berolah raga di area Car Free Day, atau ada juga yang hanya sekedar membersihkan lingkungan rumahnya. Semua aktivitas keluarga di waktu liburan ini pun tetap melahirkan sampah.
Bagi keluarga yang berliburan ke luar kota, biasanya sampah dihasilkan dari bekas tisu, sisa kemasan minuman ringan seperti botol, kaleng dan dus. Ditambah lagi dengan limbah buah-buahan yang mereka bawa seperti kulit pisang, kulit mangga, biji salak atau biji mangga. Juga limbah plastik kresek bekas wadah makanan dan puntung rokok bagi anggota keluarga yang kebetulan perokok.
Bagitu pula dengan keluarga yang melakukan aktivitas olahraga di area Area Free Day, juga melahirkan sampah. Biasanya acara olahraga jalan santai atau joging kerap dilakukan bersama anggota keluarga lainnya sambil jajan. Nah, aktivitas jajan inilah yang melahirkan sampah. Misalnya beli minuman ringan yang secara umum kemasannya terbuat dari botol plastik, kaleng, atau dus. Belum lagi kalau jajan makanan tradisonal yang umumnya dibungkus memakai kertas, daun atau pun plastik. Semua itu akan menghasilkan limbah yang namanya sampah.
Tidak jauh berbeda dengan aktivitas keluarga yang hanya melakukan bersih-bersih di lingkungan rumahnya. Misalnya memotong rumput yang sudah terlihat tinggi. Memangkas pohon yang kelihatannya sudah terlalu rimbun. Juga menyapu sisa daun-daun yang berguguran dari pohon pelindung yang ada di pekarangan rumah. Semua itu pasti menimbulkan sampah yang jumlahnya tidak sedikit.
Pada perayaan Hari Raya idul Fitri yang seharusnya manusia itu harus kembali menjadi insan yang suci dan bersih, sebagaimana layaknya seorang bayi yang baru dilahirkan. Namun faktanya, membersihkan diri itu ternyata tidaklah mudah. Aktivitas manusia sudah terbiasa tidak disiplin dan cenderung berbuat kesalahan. Misalnya membawa kertas koran sebagai alas untuk sholat Idul Fitri. Setelah sholat seharusnya kertas tersebut dibawa kembali, tetapi kenyataannya kertas tersebut dibiarkan berhamburan, sehingga menimbulkan sampah. Akhirnya menambah pekerjaan baru bagi panitia perayaan Idul Fitri untuk membersihkannya.Â
Apakah hidup kita bisa lepas dari sampah?
Pertanyaan di atas agak sulit dijawab. Rasanya tidak mungkin hidup kita bisa terlepas dari sampah. Kita justru harus bersahabat dengan sampah, karena memang pada kenyataannya sampah selalu kita produksi. Bayangkan saja, mulai bangun tidur sampai kita tidur pun tidak lepas dari sampah.
Sebagai makhluk hidup, kita harus peduli terhadap lingkungan. Sampah yang dihasilkan oleh kita, tidak boleh dibuang secara sembarangan. Selain itu kita juga harus mendidik anggota keluarga untuk terbiasa memilah-milah sampah dan membuangnya di kotak sampah sesuai dengan jenis sampahnya. Misalnya sampah plastik, dibuang di kotak sampah plastik. Sampah organik, dibuang di kotak sampah organik, begitu juga dengan sampah kertas, sampah karet dan sampah berbahan logam.
Jika sampah harus dipilah-pilah, tentu ada anggaran khusus untuk membeli kotak sampahnya. Apakah setiap keluarga mampu membelinya? Â Tentu saja tidak! Namun itu semua bukan penghalang bagi kita untuk bisa melakukannya. Misalnya kotak sampah tidak harus dibeli dari toko, tetapi bisa dibuat dari plastik atau kantong kresek yang agak besar. Masing-masing kantong diberi tulisan sesuai dengan peruntukannya.
Kalau hal ini bisa diterapkan pada semua keluarga di Indonesia, kayaknya akan memudahkan para aktivis lingkungan  untuk mendaur ulang sampah rumah tangga dan bukan mustahil sampah menjadi salah satu mata pencarian yang bernilai ekonomi. Para pemulung juga tidak perlu repot-repot memulung sampah di jalan atau di Tempat Pembuangan Sementara (TPS). Mereka cukup datang setiap hari di setiap rumah warga yang sudah menyiapkan sampah di rumahnya.
Mungkinkah hal ini bisa direalisasikan? Tentu saja mungkin, asal ada peran serta dari pemerintah dan kesadaran masyarakat untuk mau memulainya. Juga lembaga pendidikan memberikan edukasi kepada anak didiknya bagaimana cara bersahabat dengan sampah sejak usia dini.
Kapan hal ini bisa diwujudkan? Tentu saja tidak perlu menunggu sampai ada gerakan berskala besar. Mulai saja dari anggota keluarga kita, lalu kita ajak tetangga untuk meniru langkah nyata yang sudah kita lakukan. Berbuat dulu atau memberi contoh dengan perbuatan itu lebih baik daripada sekedar wacana belaka.
Semoga bisa diwujudkan dan bukan hanya sekedar mimpi.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H