MENGANGKUT JARING KEDUA
Hasil tangkapan ikan jaring pertama ternyata tidak banyak, hanya sekira seperempat ember plastik kecil. Perahu yang kami tumpangi kemudian memutar arah menuju titik lainnya di tengah lautan. Saya sendiri tidak tahu secara pasti bagaimana Pak Eko bisa mengingat lokasi pemasangan jaringnya, padahal lautan itu sedemikian luas. Anehnya, dia bisa mengarahkan posisi perahu persis dilokasi pemasangan jaringnya yang ditandai dengan keberadaan bendera kecil yang mengapung-apung.
Sama prosesnya seperti jaring pertama, pak Eko mulai mengangkat bendara dan mulai menggulung jaring kembali. Sementara itu Rendi mengulangi aktivitasnya melepaskan ikan, udang atau kepiting yang tersangkut di dalam jaring. Beberapa ikan tampak hanya tinggal kepalanya saja karena tubuhnya sudah habis dimakan kepiting.
Jika terdapat hewan laut yang tidak diinginkan menempel di jaring, Pak Eko tidak segan-segan menghantamkan palu ke tubuh hewan tersebut sehingga hancur berantakan dan membuangnya ke laut. Ketika saya tanyakan mengapa harus dihancurkan, tidak dilepaskan saja. Dia menjawab demi menghemat waktu, sebab membuka hewan yang terjerat jaring ternyata cukup menguras waktu dan tenaga.
Saat sedang asik-asiknya menarik jaring, kembali hujan deras datang. Pekerjaan lalu dihentikan sejenak untuk kemudian memasang jas hujan dan pelindung perahu yang terbuat dari terpal plastik yang dikaitkan dengan tali dan bambu. Pemasangan hanya membutuhkan waktu sekira beberapa detik saja.
Perjuangan mengangkat jaring pasti semakin berat karena guyuran hujan dan posisi air laut yang ombaknya cukup kencang. Beberapa kali terlihat mereka agak goyah karena hempasan ombak yang cukup kencang menerpa perahu kami, sementara saya hanya duduk sambil memerang erat ke dinding perahu.
Hasil tangkapan ikan jaring kedua memang sedikit lebih banyak dibandingkan jaring pertama, tetapi tetap tidak bisa membuat ember kecil itu penuh. Kalau diperkirakan isinya sekira 3-4 kg saja yang diperoleh mereka hari ini, berarti upah yang harus diterima Rendi sekira antara Rp15.000-Rp.20.000, tidak lebih dari itu. Sementara pedapatan Pak Eko sekira Rp75.000-Rp100.000 (anggap saja harga per kg ikan @ Rp25.000). Belum dipotong upah Rensi dan bensin sekira 3 liter.
PERAHU MOTOR MACET DITENGAH LAUT
Waktu sudah menunjukkan pukul 09.30 WIB, perut saya sudah mulai terasa lapar. Sayangnya, kami tadi sama sekali tidak membawa perbekalan apa-apa, sehingga tidak ada yang bisa dimakan atau diminum. Tadinya saya berpikir pekerjaan nelayan ini tidak memakan waktu lama, ternyata saya salah. Rupanya cara bekerja Pak Eko berbeda dengan nelayan lainnya yang mengambil ikan dan merapikan jaring ketika tiba di pantai, sehingga menghemat waktu di laut. Sementara Pak Eko melakukan hal itu langsung di laut. Satu sisi memang praktis, tapi di sisi lain cukup menguras waktu.
Usai membereskan jaring, mesin perahu pun siap dinyalakan. Beberapa kali di stater, mesin tak kunjung menyala. Pak Eko tampak mulai kepayahan, tetapi semangatnya yang tinggi membuat dia terus mencoba menarik tali stater motor perahu tersebut. Akhirnya dia menyerah dan segera membongkar mesin tersebut untuk diperbaikinya. Tak lama kemudian motor bisa menyala kembali.
Sebenarnya perahu motor Pak Eko memiliki dua mesin. Kalau hanya menggunakan satu mesin, pergerakannya lambat, apalagi jika gelombang laut cukup besar. Keberadaan dua mesin sangat membantu daya dorong perahu melaju. Jika dalam keadaan darurat, bisa menjalankan perahu hanya dengan satu mesin, meskipun kecepatannya tentu saja rendah.