Masyarakat Suku Lampung (Sumber: http://Indonesiakaya.com)
Oleh: J.Haryadi
Pemakaian gelar pada nama seseorang umumnya berkaitan dengan pendidikan yang sudah diperoleh sebelumnya atau biasanya disebut dengan istilah Gelar Akademik. Adapun yang dimaksud dengan Gelar Akademik atau Gelar Akademis adalah gelar yang diberikan kepada lulusan pendidikan akademik pada bidang studi tertentu dari sebuah perguruan tinggi. Kebanyakan orang menyebut Gelar Akademik dengan sebutan “Titel” (berasal dari Bahasa Latin : Titulus). Gelar akademik terdiri dari sarjana (bachelor), magister (master), dan doktor(doctor).
Selain delar akademik, dalam masyarakat adat di Indonesia mengenal juga istilah Gelar Adat. Gelar ini diberikan oleh Ketua Adat setempat setelah memenuhi berbagai persyaratan tertentu. Setiap suku bangsa tentu mempunyai tata cara tersendiri yang khas dalam memberikannya. Hal ini tentunya menjadi warna tersendiri bagi keanekaragaman budaya di Indonesia.
Salah satu suku bangsa yang mempunyai kebiasaan memberikan gelar adat adalah Suku Lampung. Menurut Mulkan Ali, Ketua Adat Desa Pekurun Marga Selagai, Lampung Utara, pemberian gelar merupakan hal yang umum dilakukan terhadap masyarakat di desanya. Adapun urutan pemberian Gelar Adat yang pertama adalah gelar “Tuan/Ratu/Raja”, kedua gelar “Pangeran”, ketiga gelar “Sunan” dan gelar yang paling tinggi adalah “Sultan”.
Gelar “Tuan/Ratu” biasanya diberikan kepada anak laki-laki/perempuan yang sudah menikah secara adat. Apabila dalam acara perkawinan tersebut pihak keluarga kedua mempelai memotong kerbau, maka pengantin pria berhak diberi gelar “Pangeran” oleh Ketua Adat setempat.
Pemberian gelar “Tuan/Pangeran” dalam adat Lampung bertujuan untuk memberi tanda bahwa laki-laki tersebut sudah berkeluarga. Jika terjadi perkawinan diluar adat, maka masyarakat adat tidak mengakuinya dan masih menganggap laki-laki/wanita tersebut masih berstatus bujang/gadis.
Jika ada sepasang laki-laki dan wanita yang sudah menikah dan memiliki anak, tetapi perkawinan mereka dulu tanpa memakai upacara adat, maka kedua pasangan suami istri itu bisa mengadakan upacara adat kembali. Caranya adalah dengan menyatukannya dengan kegiatan keagamaan lainnya, misalnya pada saat syukuran kelahiran anak atau pada saat syukuran khitanan anak.
Jika salah seorang suami/istri ada yang meningggal dunia, maka pasangannya wajib membayar uang kematian sebagai tanda perpisahan. Uang tersebut nantinya diserahkan ke masjid sebagai wakaf, bukan untuk kepentingan tokoh adat.
Dalam adat istiadat suku Lampung tidak mengenal istilah cerai. Kalau terjadi perceraian maka orang tersebut akan dikucilkan oleh masyarakat adat. Ada cara agar tidak dikucilkan yaitu dengan melapor kepada tokoh adat setempat. Orang yang akan bercerai wajib membayar denda dengan biaya yang cukup besar. Hal ini disengaja agar masyarakat tidak mudah untuk bercerai, karena bercerai sama artinya dengan kehancuran dalam rumah tangga.
***
J.Haryadi, penulis buku biografi bupati Lampung Utara yang berjudul: AGUNG ILMU MANGKUNEGARA, Sang Inspirator Muda "Sai Bumi Ruwa Jurai"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H