[caption id="attachment_365567" align="aligncenter" width="500" caption="Priyadi, Sang Pelukis Naga"][/caption]
Oleh : J. Haryadi
Siapa sangka kalau Priyadi, mantan pengangguran yang dulunya sempat bingung mencari pekerjaan, sekarang telah menjelma menjadi seorang pelukis terkenal. Sebagai seorang seniman, pria kelahiran Cimahi, 24 Pebruari 1943 itu sudah memiliki kehidupan yang mapan. Terbukti, dirinya mampu membiayai kehidupan keluarganya dari hasil aktivitasnya melukis.
Pria berperawakan tinggi besar yang kini menetap di Cimahi Utara bersama istrinya itu terbilang sukses membina keluarganya. Priyadi memiliki empat orang anak, yaitu anak tertuanya bekerja sebagai seorang dokter yaitu dr. Dina Roebiantharie. Anak keduanya lulusan Fakultas Hukum di sebuah perguruan tinggi, yaitu Yunindar, SH. Anak ketiganya, Dodi Prabowo, A. Md, sedangkan si bungsu, Doni Dantoro, menekuni sebuah bidang usaha.
Hasil karya seniman yang sempat mengenyam kuliah selama 4 tahun di Fakultas Ekonomi Universitas Katholik Parahyangan (UNPAR) Bandung ini ternyata luar biasa. Banyak kolektor yang tertarik mengoleksi karyanya, terutama lukisan dengan objek ular naga. Lukisan naganya begitu dikenal, karena sangat berbeda dengan lukisan naga karya pelukis lainnya. Lukisannnya benar-benar mempunyai ciri khas, lebih hidup, berkarakter dan sangat mempesona. Beberapa karyanya sudah dikoleksi oleh berbagai kalangan, seperti pejabat, politikus, pengusaha dan kolektor asing. Oleh sebab itu tidak heran, kalau Priyadi lebih dikenal dengan julukan “Pelukis Naga.”
[caption id="attachment_365572" align="aligncenter" width="500" caption="Priyadi berpose di depan lukisan naga karyanya (Sumber foto: J. Haryadi)"]
Nekad Menikah, Meski pun Masih Pengangguran
Meskipun sempat kuliah di UNPAR Bandung, sayangnya Priyadi tidak sempat menyelesaikan pendidikannya. Wajar saja jika dia tidak menyandang gelar sarjana. Hal itu sempat disesalkannya, namun apa boleh buat, kondisi politik dan ekonomi yang carut marut saat itu membuat Priyadi harus memutuskan untuk meninggalkan dunia kampus. Sejak itulah dirinya luntang-lantung menjadi seorang pengangguran.
Meskipun pengangguran, Priyadi tetap percaya diri untuk memiliki seorang kekasih. Pria yang pernah aktif sebagai MENWA (Resimen Mahasiswa) ketika masih kuliah di UNPAR ini tidak ingin hubungan asmara dengan kekasihnyaya menyimpang jauh dari ajaran agama. Priyadi lalu memutuskan untuk segera meminang kekasih pujaan hatinya, Soeratmi, untuk dijadikan sebagai pendamping hidupnya.
Priyadi merasa beruntung karena sang kekasih akhirnya bersedia menerima pinangannya. Pada 1968, kedua insan yang dimabuk asmara itu akhirnya berjanji sehidup semati dalam suatu ikatan suci pernikahan, yang dilaksanakan di rumah mertuanya di Cimahi. Acara pernkahan mereka berlangsung dengan meriah.
[caption id="attachment_365568" align="aligncenter" width="500" caption="Penulis (J.Haryadi) sedang mewawancarai Priyadi di kediamannya (sumber foto: Eyyo Soenaryo)"]
Memutuskan menjadi seniman
Masa berbulan madu memang sungguh indah. Namun masa-masa indah itu pun segera berlalu, seiring dengan berjalannya sang waktu. Hidup berumah tangga tanpa pekerjaan yang tetap tentu saja menjadi beban tersendiri bagi Priyadi. Dirinya merasa bingung harus mencari pekerjaan apa, sementara dirinya merasa tidak memiliki keahlian yang bisa dijadikan andalannya. Akhirnya pria ganteng bertubuh atletis itu mulai menyendiri, lalu termenung dan mulai berpikir. Priyadi berusaha mencari jati dirinya. Dia mulai menelusuri siapa dirinya. Apa saja potensi yang ada dalam dirinya dan apa saja yang menjadi kekurangannya.
Secara perlahan mulai tergambar siapa dirinya yang sebenarnya. Priyadi teringat masa-masa ketika dirinya masih duduk di bangku SMP, tepatnya di SMP PGRI 2 Cimahi. Waktu itu guru-gurunya sering takjub dan membanggakan dirinya, karena kelebihannya dibidang menggambar. Dia masih ingat, hampir setiap ada tugas menggambar, dia selalu mendapat nilai terbaik, yaitu nilai 9-10. Tidak heran jika dirinya diangkat oleh gurunya menjadi asisten di kelasnya. Sejak saat itu dia sering diminta membantu sang guru mengajari teman-temannya menggambar.
Priyadi mulai menyadari kalau dirinya mempunyai talenta yang luar biasa dibidang menggambar. Apabila dikelola dengan baik, tentu saja bisa menjadi berpotensi untuk dijadikan peluang mencari nafkah.
Menurut Priyadi, di dunia ini hanya terdapat empat bidang tempat manusia mencari nafkah, yaitu pada bidang pertanian, perniagaan, produksi dan jasa. Ternyata profesi melukis itu cukup unik karena bisa masuk dalam kategori jasa (karena ada keterampilan/keahlian), bisa juga masuk kategori produksi (karena menciptakan sesuatu yaitu karya seni) dan bisa juga masuk dalam kategori perniagaan (karena hasil karya tersebut bisa dijual untuk memperoleh penghasilan). Oleh sebab itu dia memutuskan untuk menekuni profesi sebagai seorang pelukis. Peristiwa ini terjadi pada 1969, tepat setahun setelah usia perkawinannya.
Dengan berbekal uang pemberian istrinya, Priyadi membeli cat merk “Kuda Terbang”. Priyadi memberli cat 5 warna dasar, yaitu merah, putih, biru, kuning dan hitam. Lalu dia minta izin istrinya untuk memakai spray butut yang tidak dipakai untuk dijadikan kanvas lukisan. Kebetulan masih ada sisa sekitar 1 meter yang masih bisa dipakai. Dia segera menggunting spray tersebut, lalu ditempel di dinding dengan menggunakan paku.
Priyadi mulai mencorat-coret, melukis diatas sprei bekas tersebut, sambil juga melakukan eksperimen mencampur beberapa cat tersebut sehingga membentuk warna baru. Imaginasinya mulai menari-nari secara liar dan tangannya tak berhenti menyapu spray bekas tersebut dengan paduan warna yang indah. Hanya dalam tempo ..... hari, lukisan pertamanya pun berhasil diselesainya.
Lukisan pertama ini begitu menggelora dan membuat semangat Priyadi bangkit kembali. Kepercayaann dirinya untuk menjadi orang sukses pelan-pelan mulai naik. Kini dia berpikir bagaimana cara menjual lukisan tersebut dan kemana menjualnya ? Alhamdulillah lukisan tersebut akhirnya laku juga, dibeli oleh seseorang. Meskipun saat itu nilainya tidak seberapa mahal, namun cukup membuat Priyadi merasa senang. Uang hasil penjualan lukisan pertama itu akhirnya sebagian diberikan kepada istrinya dan sebagian lagi dimanfaatkannya untuk membeli perlengkapan melukis seperti cat, spanram dan kanvas.
[caption id="attachment_365569" align="aligncenter" width="500" caption="Priyadi sedang bersama rekannya, Eyyo Soenaryo, seorang kolektor lukisan (Sumber foto: J.Haryadi)"]
Proses kreatif berkesenian
Saat pertama kali terjun melukis, tidak terbersit dalam pikiran Priyadi untuk menentukan objek lukisannya. Baginya, melukis adalah menuangkan ide keatas kanvas, tidak peduli apa yang menjadi objek lukisannya, yang penting hasilnya indah dan bisa dinikmati. Oleh sebab itu Priyadi melukis apa saja yang keluar dari pikirannya.
Namun, seiring dengan perjalanan waktu, Priyadi mulai menyadari kalau dirinya masih harus banyak belajar tentang ilmu melukis secara serius. Dia mulai mempelajari berbagai teori melukis, baik dari buku, surat kabar maupun dengan bertanya kepada orang yang dianggapnya tahu mengenai seni lukis. Semua dipelajari secara otodidak, tanpa melalui pendidikan formal.
Menurut Priyadi, objek lukisan itu cuma ada 4 macam, yaitu (1) landscape; (2) figure; (3) hewan dan (4) alam benda. Dari zaman dulu hingga sekarang, lukisan itu cuma mengenal 4 macam objek. Adapun yang membedakan antara satu lukisan dengan lukisan lainnya hanyalah gaya atau alirannya saja.
Dalam seni lukis, terdapat 3 gaya (aliran) yaitu : (1) gaya naturalis; (2) gaya ekspresionisme dan (3) gaya impresionisme. Gaya naturalis menggambarkan objek secara jujur, apa adanya, seperti apa yang kita lihat. Gaya ekspresionisme adalah melukis karakter dari objek yang dijadikan lukisan. Sedangkan gaya impresionisme jiwa atau ghaib dari objeknya. Lukisan jenis ini bisa membuat kita benar-benar merasakan sentuhan rasa dari objek yang dijadikan lukisan. Lukisan jenis ini umumnya berbentuk abstrak atau tidak beraturan.
Ada pengalaman menarik ketika Priyadi mulai serius mencari nafkah dari hasil menjual lukisan. Saat itu dirinya akan berjualan lukisan di pinggir jalan Braga, Bandung. Dia dinasehati oleh Mang Adang, salah seorang pedagang lukisan yang biasa mangkal di sana.
“Cep, kalau mau melukis, cari objek yang gampang saja yaitu pemandangan. Tidak usah melukis orang atau binatang, susah,” katanya Mang Adang menasehati Priyadi muda.
Sejak saat itu Priyadi mengikuti saran Mang Adang dan mulai melukis gambar pemandangan. Beberapa saat lamanya dia terjebak dengan perkataan pedagang lukisan senior itu.
Hampir setiap hari dirinya mangkal di jalan Braga dan merasa menjadi pelukis pinggiran. Sesekali dia mampir ke Toko “Tatarah” yang biasa memajang lukisan mahal dari para pelukis papan atas di kota Bandung. Disana terpajang beberapa lukisan karya pelukis terkenal saat itu, seperti karya pelukis Judi Hartono, Samman, Adiwinata, Roedyat, AD Piroes dan lain-lain. Sampai suatu ketika hatinya bergejolak dan memberontak. Sambil memandang karya para pelukis top tersebut, timbul pertanyaan dalam benaknya, “Mereka semua makan nasi, saya juga makan nasi. Kecuali kalau mereka makan batu, baru aku salut dengan mereka. Kalau mereka bisa sukses, akuun sanggup sukses seperti mereka.”
Sejak saat itu darah Priyadi seakan-akan mendidih, panas membara. Dia terobsesi ingin menjadi pelukis ternama. Kembali dia bertanya pada dirinya sendiri, Pelukis itu sebenarnya seperti apa ? Apakah pelukis itu dinilai dari penampilannya ? Misalnya berambut gondrong dan berpakaian nyentrik ? Ah, ternyata bukan ! Pelukis pada hakekatnya bukan seperti itu. Menurutnya, pelukis itu dinilai bukan dari penampilannya, melainkan dari karakter atau jati dirinya.
Seniman yang sukses harus bisa memanfaatkan power atau aset yang dimilikinya. Apakah power atau aset seniman itu ? Ternyata ada 3, yaitu (1) otak; (2) karakter, jiwa atau bakat dan ; (3) mata dan tangan.
Melukis itu bukan dimulai dari otak, tetapi dari hati, karena otak itu umumnya sudah kotor diracuni dengan berbagai warna, sedangkan hati masih bersih (suci). Begitu banyak orang yang mengajarkan teknik melukis dengan berbagai gaya atau aliran, sehingga membuat pelukis bingung mana yang akan dipakainya. Akibatnya banyak pelukis yang tidak berkarakter, karena hanya meniru karya orang lain dan tidak memiliki karakter atau jati diri.
“Saya tidak mau menggambar. Saya hanya mau melukis. Saya tidak mau bodong. Saya hanya mau melukis yang mempunyai karakter atau jati diri,” ujarnya berapi-api.
Menggambar atau bodong hanya memindahkan objek dari satu tempat ke kanvas, dengan cara meniru atau menciplak. Kalau hal itu dilakukan, maka pelukis tersebut hanya akan menjadi pelukis pinggiran dan tidak akan menjadi besar. Dia kehilangan ruhnya dan tidak memiliki identitas.
Melukis harus dimulai dari rasa, dari hati yang paling dalam. Kemudian diikuti oleh otak yang selanjutnya akan memerintahkan mata dan tangan untuk melaksanakannya.
Bagi pelukis pemula, jangan melukis hanya semata-mata bertujuan untuk mencari uang. Kalau langkah awal untuk melukis sudah salah, maka dijamin dirinya tidak akan menjadi seorang pelukis yang sesungguhnya. Kalau hanya untuk mengejar uang, maka ketika lukisannya tidak laku, maka dirinya akan berhenti melukis, karena merasa tidak yakin kalau pekerjaan melukis bisa menghidupi dirinya.
Sebaliknya, jika langkah awal menjadi pelukis adalah untuk mencari jati diri, maka ketika lukisan itu tidak laku, dirinya tidak akan berhenti berkarya. Justru merasa tertantang untuk mencari tahu dimana letak kesalahan dan kekurangannya. Dia akan terus menggali bagaimana cara melukis yang baik, dan lukisan seperti apa yang mempunyai nilai jual tinggi dan bisa dijadikan investasi.
Jika seseorang itu melukis untuk mencari jati diri, maka bukan dia yang mengejar uang namun uang yang akan datang mengejar dirinya. Jadi sesungguhnya apa itu jati diri ? Jati diri adalah sesuatu yang ghaib, karakter atau jiwa pelukis itu sendiri. Oleh sebab itu seorang pelukis harus mengenal dirinya dan mau mencari tahu seperti apa karakter dirinya. Tanpa mau tahu dan mau menemukan karakter dirinya sendiri, maka jangan harap pelukis itu mampu menuangkan karyanya secara maksimal, sesuai dengan jati dirinya.
Priyadi berpendapat, karakter pelukis itu cuma ada 3, yaitu : (1) keras; (2) suka keindahan dan; (3) menyentuh perasaan. Ketiga karakter itulah yang biasanya tertuang ke dalam kanvas dan dapat dilihat wujud karyanya oleh para pecinta seni. Oleh sebab itu setiap pelukis harus melukis objek sesuai dengan karaternya sehingga lukisan itu lebih hidup, menyentuh dan menyatu dengan jiwanya.
Dalam menentukan bagus atau tidaknya sebuah lukisan ditentukan oleh 2 aspek, yaitu komposisi warna dan goresan. Kemampuan seorang pelukis dalam memadukan warna sangat penting. Oleh sebab itu seorang pelukis pemula harus mau bereksperimen dengan warna dengan cara mencampurkan antara satu warna dengan warna lainnya sehingga terbentuk warna baru yang indah. Kemahiran mencampurkan warna merupakan salah satu aset bagi seorang pelukis. Disamping itu teknik menggoreskan cat ke atas kanvas memerlukan keahlian sendiri. Semua pelukis bebas memanfaatkan alat selain kuas, misalnya tangan, kayu, tube atau apa saja yang dipandang nyaman dan memiliki sentuhan berbeda atau lain dari yang lain.
Bagi seorang pemula, kemampuan melukis itu bisa diperoleh dengan cara belajar secara formal (akademisi), bisa juga dari pengalaman dan belajar dari pengalaman orang lain.
[caption id="attachment_365570" align="aligncenter" width="500" caption="Penulis (J.Haryadi) berpose bersama Priyadi di depan lukisannya yang berjudul "]
Proses Mencari Karakter Dalam Berkesenian
Proses mencari jati diri merupakan pengalaman yang sangat berharga. Priyadi mempunyai cara yang unik untuk mengenal siapa dirinya. Caranya adalah dengan melakukan sebuat eksperimen kecil. Diambilnya sebuah arloji, lalu diputar dengan posisi kearah jam 12 tepat. Kemudian dia mencoba melakukan ekperimennya sebagai berikut :
1.Priyadi mencoba marah dengan cara membayangkan sesuatu kejadian yang bisa membuat dirinya kesal, jenkel sehingga bisa membuatnya marah. Dia terus berusaha menghayal agar dirinya bisa marah. Ternyata hanya dalam waktu 5 menit, dirinya bisa benar-benar marah. (Keras)
2.Priyadi mencoba menangis dengan cara membayangkan sesuatu yang sedih sehingga dirinya bisa terharu sampai menangis. Ternyata dia bisa menangis dalam waktu 15 menit. (Perasaan)
3.Priyadi mencoba tertawa dengan cara membayangkan sesuatu yang bisa membuatnya merasa lucu, geli sehingga bisa tertawa. Ternyata dalam waktu 20 menit baru bisa dirinya tertawa. (Senang)
Dari hasil eksperimen kecil tersebut ternyata dapat diketahui bahwa sesungguhnya Priyadi mempunyai sifat atau jiwa yang keras. Oleh sebab itu dirinya berkesimpulan bahwa dia harus membuat karya yang sesuai dengan jiwanya.
Sejak saat itu Priyadi mengubah mind set-nya. Dia mulai mengubah objek yang dilukisnya dan tidak lagi mengikuti nasihat Mang Adang yang dulu meyarankan agar dirinya melukis pemandangan saja, seperti yang banyak dilakukan para pelukis jalanan lainnya.
Pria keturunan Jawa-Sunda itu mencoba melawan arus dengan cara melukis objek yang cukup berani. Dia melukis macan hitam alias Black Panther. Lukisan itu lalu dengan berani ditawarkannya ke Toko “Tatarah” yang biasa menjual lukisan dari pelukis ternama. Walau awalnya sempat sedikit ragu, namun nyali Priyadi akhirnya kembali menyala demi ingin mengubah nasibnya agar menjadi lebih baik.
Saat Priyadi tiba di Toko “Tatarah” yang kesohor itu, ada 6 orang yang sedang berdiri disana. Priyadi lalu berbicara kepada pemilik toko dan mengutarakan maksud kedatangannya yaitu ingin menitipkan karya lukisnya disana. Pemilik toko lalu meminta Priyadi memperlihatkan lukisannya. Dia pun lalu membuka lukisan yang tadi masih dalam gulungan.
Mereka semua terkejut dengan lukisan Priyadi dan keenam orang yang dari tadi ada di etalase toko mentertawakannya. Tentu saja Priyadi tersinggung dibuatnya, sehingga dia berkata, “Silahkan tertawakan sampai anda merasa puas. “
Mereka pun sontak terdiam. Priyadi lalu melanjutkan pembicaraannya dengan pemilik toko sambil berkata, “Saya hanya ada 2 pertanyaan, dan butuh satu jawaban. Pertanyaan saya, lukisan ini diterima atau tidak ?”.
Pemilik toko terdiam sejenak, kemudian menjawab, “Baik, lukisan ini saya terima. Mau dijual berapa ?”.
“Harganya Rp.20.000,” jawab Priyadi penuh percaya diri.
Semua orang yang ada disana mentertawakan Priyadi, termasuk pemilik toko. Tentu saja hal ini membuat Priyadi kembali tersinggung dan membuat rona mukanya merah membara. Wajar saja mereka mentertawakan Priyadi, karena sebagai pendatang baru, dirinya bukan siapa-siapa, namun sudah berani menawarkan lukisan dengan harga yang tinggi. Padahal untuk ukuran lukisan karya pelukis ternama yang paling mahal saja saat itu berkisaran diangka Rp.15.000.
“Apa gak salah harganya ! Tuh lukisan Adiwinata yang besar ukuran 2 m X 1 m saja harganya Cuma Rp.15.000,” kata pemilik toko kaget, sembari mengingatkan Priyadi kalau harga jualnya terlalu tinggi.
Namun Priyadi tidak bergeming. Dia tetap teguh dengan pendiriannya. Dia sudah punya prinsip kalau lukisannya memang layak dijual mahal.
“Bukankah tadi saya sudah katakan, lukisan saya diterima atau tidak ? Ternyata tadi Bapak sudah menjawab diterima. Mengapa harga lukisan ini menjadi masalah? Kalau tidak mau, tidak apa-apa, saya akan tawarkan ke toko lainnya,” jawab Priyadi dengan nada sedikit kesal.
“Baik, lukisan ini saya terima dititipkan disini dengan sistim konsinyasi,” kata pemilik Toko Tatarah menutup pembicaraannya.
Perasaan Priyadi senang bukan kepalang. Betapa tidak, dirinya tidak menyangka kalau lukisannya kini bisa mejeng di toko ternama dan tidak lagi dipajang dipinggir jalan. Lukisannnya berdiri sejajar dengan pelukis papan atas kota Bandung lainnya. Dia kembali pulang ke rumahnya di Cimahi dengan penuh optimisme. Bayangan masa depan cerah mulai menari-nari dikepalanya.
Seminggu kemudian tiba-tiba ada surat dari kantor pos. Saat itu Priyadi sedang asik berkarya di rumahnya. Surat itu tidak langsung dibaca, melainkan didiamkan saja. Dia tahu surat itu datang dari toko tatarah, namun dia berpikir paling-paling pemilik toko menyuruh dia mengambil kembali lukisannya karena tidak laku.
Usai melukis, Priyadi membuka dan membaca surat yang diterimanya. Betapa terkejutnya dia ketika membaca surat itu. Ternyata isinya berita gembira. Pemilik toko Tatarah memberitahukan kalau lukisannya sudah laku terjual. Bagaikan anak kecil yang mendapat hadiah permen, dia melompat-lompat kegirangan sambil berlari mencari istrinya. Hari itu merupakan saat yang paling bersejarah dalam hidupnya. Semakin kuat keyakinan Priyadi kalau dirinya bisa hidup dari profesi sebagai seniman lukis.
[caption id="attachment_365571" align="aligncenter" width="500" caption="Lukisan Priyadi berjudul "]
Pameran tunggal pertama
Pada 1988 Priyadi memberanikan diri mengadakan pameran lukisan tunggal di Hotel Hilton, Jakarta. Saat itu dia memboyong 70 buah karya lukisnya. Sayangnya pameran pertama ini tidak begitu sukses. Hanya 5 karya lukisannya yang terjual. Lalu dia minta kepada pemilik hotel untuk memberikan kesempatan kedua berpameran disana pda tahun berikutnya.
Setahun kemudian, tepatnya 1989, Priyadi pun mengadakan pameran lukisan untuk kedua kalinya. Kali ini persiapannya lebih matang. Dia minta bantuan saudaranya yang kerja di kedutaan Rusia untuk mengundang orang-orang penting. Ketika bertemu saudaranya itu, dia diberitahu kalau lukisannya tidak akan banyak yang terjual. Namun Priyadi tetap percaya diri untuk melakukan pameran tunggal di Hotel hilton selama 3 hari.
Benar, memasuki hari ketiga, Cuma 5 lukisan saja yang terjual. Tentu saja hasilnya tidak cukup untuk membiayai operasional, termasuk membayar orang-orang yang membantu Priyadi. Dalam kondisi terdesak tersebut, Priyadi hanya bisa sholat dan berdo’a sambil menangis meminta pertolongan Allah. Dia mengadu nasibnya dan meminta Sang maha Pencipta membantu hambanya yang sedang mengalami kesusahan.
Allah sungguh maha Besar dan keajaiban pun terjadi. Ketika pameran sudah mau tutup, tiba-tiba ada tamu yang mencari Priyadi. Orang tersebut langsung memeluk Priyadi sambil terharu dan menitikkan air mata. Tentu saja Priyadi terkejut dan bingung dengan apa yang sedang terjadi. Dia belum mengerti apa maksud pria yang tiba-tiba memeluknyab tersebut.
“Saya sudah lama mencari pak Priyadi, tapi sulit sekali. Saya sempat menganggap Bapak ini sombong karena sulit ditemui. Saya pernah mengoleksi karya Bapak ketika ada pameran di ......beberapa tahun yang lalu. Saat itu saya bermaksud untuk menemui Bapak. Namun saya kesulitan menghubungi Bapak. Nah hari ini saya secara tidak sengaja datang ke hotel ini sebenarnya ada undangan acara. Namun saya salah alamat dan sempat melihat ada pameran lukisan disini. Sontan saya mampir dan tenyata ada pak Priyadi. Akhirnya mimpi saya untuk bertemu Bapak menjadi kenyataan,” kata tamu itu yang ternyata seorang Bos pemilik perusahaan pelayaran.
“Sebagai obat rindu saya, maka saya akan borong lukisan Bapak. Ayo temani saya melihat lukisan bapak,” lanjut Pak Pendi, pengusaha pelayaran nasional itu.
Mereka pun berkeliling area pameran, sambil melihat-lihat, pak pendi memberi tanda lukisan mana saja yang akan dibelinya. Alhamdulillah, malam itu sekitar 50% lukisannya dibeli oleh pengusaha bonafid tersebut. Kejadian ini sungguh membekas dalam hatinya samai sekarang, pegalaman indah yang tidak terlupakan seumur hidupnya.
Sejak saat itu Priyadi sering mengikuti berbagai ajang pameran lukisan, baik pamean tunggal maupun pameran bersama. Entah sudah berapa kali dia berpameran, sampai dirinya sendiri lupa saking banyaknya. Termasuk pernah pameran lukisan di Hotel Indonesia pada tahun 1991 yang diselenggarakan oleh yayasan kanker Indonesia pimpinan Ibu Umar Wirahadikusuma, istri Wakil presiden Republik Indonesia saat itu.
Tahun 1993 juga pernah berpameran di negeri Belanda yang diselenggarakan oleh Mr. Leemaer dan pameran lukisan di San Fransisco, Amerika Serikat. Pameran di Gedung Merdeka Bandung dan Mesium Bandung di Tegalega.
Kolektor lukisan
Sudah banyak orang penting di negeri ini yang mengoleksi hasil karyanya, termasuk beberapa kolektor dari luar negeri. Beberapa kolektor lukisannya diantaranya mantan KASAD, Jenderal TNI Hartono; pengusaha keturunan Tionghoa, Liem Sie Liong; mantan ketua kadin, Soekamdani; Seorang profesor Belanda asal Makasar, Mr. Leemaer dari Belanda; beberapa kolektor dari Belanda, malaysia dan Brunai Darrusalam.
Priyadi berpesan kepada pelukis muda agar berkarya sesuai dengan bakat yang ada dalam dirinya seta berkarya yang bermanfaat bagi orng lain. Kalau mau sukses sebagai seniman, harus mampu meningkatkan kualitas karya dan mampu memasarkan karyanya ke manca negara.
Beberapa karya Priyadi
Sudah ratusan lukisan berhasil dibuat Priyadi sepanjang hidupnya. Sayangnya dia tidak begitu apik dalam mendokumentasikan karya-karyanya. Beberapa karyanya yang pernah dibuatnya dan sebagian masih ada di gallery-nya adalah :
[caption id="attachment_365563" align="aligncenter" width="700" caption="Lukisan bertema pemandangan alam karya Priyadi"]
[caption id="attachment_365573" align="aligncenter" width="500" caption="Lukisan bertema pemandangan alam karya Priyadi (Sumber foto: J.Haryadi)"]
[caption id="attachment_365574" align="aligncenter" width="500" caption="Lukisan kuda bergaya abstrak karya Priyadi (Sumber foto: J. Haryadi)"]
[caption id="attachment_365575" align="aligncenter" width="383" caption="Lukisan harimau karya Priyadi (Sumber foto: J. Haryadi)"]
[caption id="attachment_365576" align="aligncenter" width="380" caption="Lukisan pemandangan alam karya Priyadi (Sumber foto: J. Haryadi)"]