[caption id="attachment_383518" align="aligncenter" width="500" caption="Penjual Soto Ayam di Jalan Muhammad Toha Bandung (sumber foto: J.Haryadi)"][/caption]
Oleh : J. Haryadi
Hidup di kota besar seperti Bandung tidaklah mudah. Namun setiap orang berhak untuk datang ke kota ini demi mengadu nasib, siapa tahu keberuntungan berpihak padanya. Begitu juga yang dilakukan oleh Asep (bukan nama sebenarnya), ketika ditemui penulis pada Selasa kemarin ( 16/12/2014) sambil berjualan soto Ayam. Pria kurus asal Madura ini memang sehari-harinya biasa mangkal di pinggir jalan Muhammad Toha Bandung.
Penulis sempat merasakan nikmatnya rasa soto ayam buatan Asep. Hanya dalam waktu kurang dari 5 menit, satu porsi nasi soto ayam hangat sudah tersedia di depan mata. Porsi tersebut sudah cukup untuk mengisi perut yang keroncongan. Kebetulan masih pagi, jadi belum begitu banyak orang yang membeli jualannya, sehingga kesempatan ini penulis manfaatkan untuk berbincang-bincang dengannya.
Menurut Asep, setiap hari dirinya harus mendorong gerobak dari rumah kontrakannya yang terletak di sebuah gang sempit di daerah Astana Anyar. Jarak dari kontrakan tersebut ke lokasi berjualannya memakan waktu sekitar setengah jam. Semua dilakukan dengan semangat, demi menghidupi keluarga kecilnya.
[caption id="attachment_383520" align="aligncenter" width="500" caption="Gerobak dagangan Soto Ayam milik Asep yang sedang mangkal di Jalan Muhammad Toha Bandung (sumber foto: J. Haryadi)"]
Profesi sebagai penjual nasi soto ayam sudah dilakoni Asep sekitar 12 tahun yang lalu. Lelaki asal Madura ini merasa cuma memiliki keahlian membuat masakan soto ayam yang kini dijadikannya untuk mencari nafkah. Kalau sedang laris, dagangannya bisa cepat habis dan sekitar pukul 12.00 WIB sudah bisa pulang. Namun kalau sedang sepi, terpaksa dia harus berdagang sampai pukul 15.30 sore.
Asep mematok harga sepiring nasi dan semangkuk soto ayam seharga Rp.8.000 per porsi. Sebelumnya harganya cuma Rp.7000. Sejak harga bahan bakar minyak naik, harganya pun ikut naik. Kondisi ini memang dilematis, tetapi kalau harga tidak dinaikkan, jualannya akan merugi.
[caption id="attachment_383521" align="aligncenter" width="500" caption="Asep sedang mempersiapkan nasi soto ayam pesanan pelanggannya (sumber foto: J. Haryadi)"]
Jika pembeli ingin mendapat harga yang murah, Â nasi dan sotonya digabung dalam satu mangkuk, sehingga harganya cuma Rp.7.000. Menurut Asep, kadang-kadang ada juga orang yang membeli setengah porsi, tetapi ayah beranak satu ini tetap melayaninya dengan harga Rp.4.000. Sebagian lagi ada orang yang cuma membeli nasinya saja atau sotonya saja.
Penghasilan dari usaha berdagang tidak menentu, kadang-kadang laris tetapi kadang-kadang juga sepi. Paling banyak dalam sehari kalau semua dagangannya habis, Asep bisa menjual sekitar 40 porsi atau setara dengan uang Rp.320.000. Sedihnya kalau sedang sepi, jualannya cuma laku dibawah 10 porsi. Dia pulang ke rumah dengan perasaan lelah dan sedih, tetapi dia berusaha tetap tegar, yang penting masih ada uang buat belanja bahan untuk berjualan esok harinya.
Pekerjaan mempersiapkan bahan baku untuk membuat soto ayam ternyata tidak semudah yang kita pikirkan. Persiapannya membutuhkan waktu dan kesabaran. Bayangkan, setiap pagi Asep harus bangun sekitar pukul 03.00 dini hari untuk mengolah bahan baku dagangannya. Pekerjaan yang paling sulit adalah membuat bumbu, karena harus di tumbuk terlebih dahulu dengan takaran bumbu yang pas. Semua pekerjaan itu harus diselesaikan tepat waktu, karena pada pukul 06.00 pagi, dia harus sudah mangkal di Jalan Muhammad Toha, yang tidak seberapa jauh dari Kebun Kelapa Mall Bandung.
Sebenarnya berdagang di kaki lima seperti yang dilakukan Asep mengandung banyak resiko. Pemerintah Kota Bandung sudah melarang masyarakat berdagang di sepanjang trotoar seperti yang dilakukan Asep. Namun apa daya masyarakat kalangan bawah seperti Asep tampaknya tidak ada pilihan lain. Kalau kebetulan sedang ada razia, dia harus cepat-cepat membawa gerobak rodanya kabur. Kadang-kadang meja dan kursi untuk makan tamu tidak sempat dibereskannya, sehingga tertinggal dan akhirnya dibawa oleh petugas tibum. Padahal, setiap hari dirinya sudah mengeluarkan uang kebersihan dan keamanan sebesar Rp.3000 kepada oknum petugas. Hidup harus tetap berjalan, meskipun harus kucing-kucingan dengan petugas. Entah sampai kapan Asep harus berdagang di pinggir jalan, hanya Tuhan yang tahu jawabannya.
***
J. Haryadi
Wartawan Blogger & Ketua Komunitas Penulis Kreatif (KPKers)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H