[caption id="" align="aligncenter" width="600" caption="Titi ketika sedang liburan"][/caption]
Saat ini terdapat sekitar 165.000 Buruh Migran Indonesia (BMI) yang sedang bekerja di Hongkong. Para BMI Hongkong merupakan warga negara asing terbesar yang menetap di Negeri Beton tersebut. Mereka umumnya bekerja di sektor informal sebagai asisten rumah tangga.
Salah satu warga negara Indonesia yang bekerja sebagai BMI di Hongkong adalah Titi Setyowati. Wanita kelahiran Banyumas, 23 Maret 1978 ini mengaku masih single. Dia sudah bekerja lebih dari 6 tahun. Berkat hasil kerja kerasnya, dia sudah bisa membahagiakan kedua orang tua dan adik-adiknya.
Sebelum merantau ke Negeri Beton, Titi sempat bekerja sebagai buruh selama setahun di sebuah pabrik di Bumi Serpong Damai, Jakarta, dengan penghasilan pas-pasan. Kondisi ini memaksanya untuk segera hengkang dari sana dan mencari peruntungan baru dengan berwiraswasta, yaitu menjadi penjahit. Usaha ini tidak berjalan dengan baik karena terbentur masalah permodalan dan pemasaran.
Wanita asal kampung Papringan, Banyumas ini berpikir keras bagaimana caranya agar dirinya bisa mendapatkan modal yang besar dari hasil keringatnya sendiri. Dia ingin sukses sebagai seorang pengusaha, tetapi faktanya nasibnya masih terpuruk karena kekurangan modal.
Peluang kerja di Hongkong
Pada 2000, anak mantan tukang gali pasir yang kini menjadi petani ini bertemu dengan seorang agen penyalur TKI di kampung halamannya. Siti ditawari untuk bekerja di luar negeri dengan gaji 1.800 $HK (sekira 2.880.000 dengan asumsi 1 $HK = Rp.1.600). Gaji ini sebenarnya masih dibawah upah minimum. Karena Siti butuh uang, tentu saja tawaran ini tentu tidak disia-siakan olehnya, mengingat selama ini juga penghasilannya belum pernah sebesar itu.
[caption id="" align="aligncenter" width="404" caption="Titi Setyowati, Seorang BMI Hongkong (sumber foto: Titi Setyowati)"]
[caption id="attachment_386726" align="aligncenter" width="420" caption="Titi Setyowati"]
Titi dikontrak kerja selama 2 tahun di sebuah keluarga di Hongkong dengan pekerjaan hariannya yaitu memasak makanan, membersihkan rumah, dan mengasuh anak majikannya. Saat di Hongkong itulah Titi tahu kalau upah kerjanya sebenarnya jauh di bawah upah resmi para BMI yang bekerja di sana. Apa boleh buat, karena ketidaktahuannya akhirnya dia harus mau menerima pekerjaan itu dengan upah sesuai kontrak.
Untung saja gadis yang mempunyai hobi yoga dan main musik ini mendapatkan majikan yang baik. Titi melatih kemampuan bahasanya dengan cara banyak menonton televisi dan sering berkomunikasi dengan anak majikannya. Hanya dalam kurun 4 bulan, Titi mampu berkomunikasi dengan memakai bahasa Cantoniese (bahasa masyarakat Hongkong sehari-hari).
Maklum selama ini Titi belum pernah pergi jauh dalam waktu yang relatif lama. Jika dia merasa rindu dengan keluarganya, maka dia akan mengirim surat. Balasan surat dari keluarganya memakan waktu cukup lama, yaitu paling cepat sekitar 3 bulan. Memang cukup menyesakkan, tapi apa boleh buat, kondisinya memang seperti itu.
Sekira 2001 atau setahun di Negeri Beton, kalau Titi mau menelpon ke orang tuanya, dia terpaksa harus menghubungi tetangganya yang waktu itu sudah memiliki telepon rumah. Maklum keluarganya tergolong susah, boro-boro mau pasang telepon, makan saja susah. Namun berkat kebaikan tetangganya, Titi bisa berhubungan dengan sanak keluarganya, meskipun melalui telepon tetangga.
Selama bekerja, BMI Hongkong lulusan SMP ini mendapat jatah liburan selama sebulan cuma 2 kali, tidak seperti teman-teman lainnya. Maklum dia belum mengerti aturan yang resmi, dia hanya menjalankan perjanjian yang dibuat antara dirinya dengan PJTKI yang mengirimnya. Waktu liburan itu dia pergunakan dengan refreshing jalan-jalan ke mall atau hanya sekedar duduk-duduk di sekitar Taman Victoria yang sangat dikenal di kalangan BMI Hongkong.
Gaji yang diperoleh Titi bekerja dimanfaatkan untuk membantu orang tua dan saudaranya di kampung. Dari keseluruhan gaji yang diterimanya, setelah dipotong hutang ke PJTKI, Titi hanya mengambil antara 500-600$HK, sisanya dikirim ke kampung untuk membantu biaya adik-adiknya sekolah. Meskipun dia mengantongi sedikit uang, tetapi Titi merasa bangga karena bisa membantu meringankan beban kedua orang tuanya.
Mendapatkan Majikan Baru
Setelah kontrak kerjanya berakhir, Titi pindah ke majikan yang lain. Saat itu dia ditawari gaji sebesar 3.250$HK (kurs saat itu 1$HK=Rp.1.000) atau setara dengan Rp.3.250.000. Gajinya dia terima bersih karena saat itu hutangnya ke PJTKI sudah lunas. Uang yang cukup besar menurut ukuran dirinya yang sudah terbiasa hidup susah. Titi pun mendapat jatah liburan 4 kali sebulan, sama dengan BMI Hongkong lainnya.
Titi bekerja selama 10 bulan di majikan barunya itu. Tiba-tiba ada kabar kalau majikan Titi ternyata mau berangkat ke Amerika, sehingga dia harus menerima pemutusan hubungan kerja (putus kontrak) secara sepihak. Akibatnya, Titi harus kehilangan pekerjaan, tetapi dia mendapatkan haknya yaitu berupa konpensasi 1 bulan gaji.
Titi manfaatkan masa transisinya untuk pulang dulu melepas rindu ke keluarganya di Indonesia. Kemudian dia membuat visa baru untuk kembali mencari majikan baru melalui Agensi TKI. Sekitar 3 bulan dia harus menanti giliran untuk diberangkatkan kembali ke Hongkong.
Selama di Agensi, Titi mengikuti berbagai program yang diselenggarakan, seperti pelatihan berbagai keterampilan yang nantinya akan meningkatkan skill-nya dalam bekerja. Biasanya bagi yang belum memiliki uang, bisa kasbon dulu, nanti dibayar setelah dapat pekerjaan dengan cara dicicil setiap bulan.
Setelah penantian selama 3 bulan di Agensi, Titi mendapatkan majikan baru. Dia bekerja di daerah Yuen Long dan merasa betah dengan majikan yang satu ini. Oleh sebab itu tidak aneh kalau dirinya bisa bertahan selam 6 tahun. Uang hasil kerjanya kali ini dibagi dua, setengahnya dimanfaatkan untuk dirinya sendiri sedangkan setengahnya lagi dikirimkan ke keluarganya di kampung halaman.
Hasil Jerih Payah Sebagai BMI
Apa yang diperjuangkan oleh Titi ternyata tidak sia-sia. Dia bersyukur bisa bekerja di majikan yang baik, sehingga tidak merasa tertekan, bahkan majikannya itu sudah seperti keluarga sendiri. Hasil dari jerih payahnya sudah membuahkan hasil. Selain sudah memiliki sejumlah uang dalam bentuk tabungan, Titi juga berhasil membangun rumah dikampungnya. Satu setengah tahun yang lalu dirinya juga sudah punya usaha berupa salon kecantikan yang dikelola oleh keluarganya. Usaha lainnya adalah conter pulsa isi ulang dan penyewaan Games Play Station.
Saat ditemui penulis di Bandung, Titi sedang menikmati cutinya selama 1 bulan. Dia jalan-jalan ke Bandung menemui seorang sahabatnya yang sudah sukses berbisnis yaitu Enny Success Han yang juga mantan BMI Hongkong. Saat cuti dia mengaku tidak mendapatkan gaji, tetapi mendapat bonus tiket pesawat pulang-pergi dari majikannya.
Menurut pendapatnya, mayoritas warga Hongkong tergolong baik, tetapi sedikit apik dalam hal mengatur keuangan. Mereka berdisplin tinggi dan begitu patuh dengan aturan. Berbagai fasilitas umum sudah disediakan oleh pemerintah Hongkong, seperti trotoar untuk pejalan kaki, tempat penyeberangan jalan yang aman dan taman kota yang indah dan nyaman dikunjungi ketika masa liburan.
[caption id="attachment_386729" align="aligncenter" width="600" caption="Titi bersama Enny Success Han ketika liburan ke Bandung"]
[caption id="attachment_386731" align="aligncenter" width="600" caption="Titi Setyowati bersama Komunitas Penulis Kreatif (KPKers)"]
Bagi siapa saja yang ingin bekerja sebagai BMI Hongkong, Titi berpesan agar bisa memanfaatkan waktunya dengan baik, misalnya dengan mengisi waktu senggangnya dengan berbagai kegiatan yang positif yang bisa menunjang masa depannya, seperti banyak belajar, membaca, berorganisasi, mengikuti berbagai pelatihan, seminar dan workshop yang banyak diselenggarakan di Hongkong. Bahkan kalau perlu ikut meneruskan study dengan kuliah, sehingga setelah kembali ke Indonesia bisa menjadi bekal untuk mandiri.
Ada satu cita-citanya yang selama ini belum kesampaian adalah menulis buku. Menurutnya, dia tertarik menulis karena suka membaca buku. Dia berpikir kalau orang lain bisa, mengapa dia tidak? Oleh sebab itu kini dia mulai belajar menulis dan aktif sebagai anggota Komunitas Penulis Kreatif di media sosial Facebook. Suatu saat dia ingin membuat buku karyanya sendiri dan ingin menginspirasi orang lain melalui tulisannya.
***
J. Haryadi
Wartawan Blogger
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H