Mengapa kita harus takut pada valentine? Bukankah banyak hal yang lebih menakutkan dari itu?
Pertanyaan itu dilukiskan dengan sebuah paradoksial yang dikicaukan budayawan Goenawan Mohammad di akun twitternya. "Bangsa yang Besar adalah Bangsa yang Takut kepada Hari Valentin"
Perdebatan tentang larangan perayaan Hari Kasih Sayang memang tengah jadi topik hangat.
Wacana penolakan selalu muncul berulang tiap tahunnya. 14 Februari dengan sekelumit analisis tentang asal muasalnya sudah lumrah jadi sajian pembuka momentum ini.
Akhirnya, valentine pun menjadi momok bagi mereka yang tak setuju. Seolah-olah bangsa ini tengah menuju jurang kepunahan generasi.
Saking paniknya, bentuk penolakan dilembagakan. Surat imbauan dari pemerintah daerah bagi siswa menjadi semacam pagar sakti budaya.
Namun terlepas dari pro kontra itu, 14 Februari akan berlalu. Semakin ditolak, perayaan tiap tahun justru semakin ramai. Perdebatan dan penolakan itu akan tergerus waktu dengan sendirinya.
Kutipan paradoks itu seakan ingin menjelaskan tentang betapa seringnya kita mengerdilkan diri. Kita sibuk menghalau budaya luar, di tempat yang sama kita abai membenamkan karakter budaya lokal.
Tak hanya budaya. Kita bahkan acap kali mengerdilkan agama. Sebelum topik hangat valentine, persoalan jilbab halal tengah menyita perhatian luas. Tiba-tiba halal haram seakan ingin kita jadikan komoditi bisnis. Agama seolah hanya sekadar kostum atau trend mode yang jauh dari nilai dan ideologi hidup.
Seperti halnya itu, 14 Februari seharusnya tak melulu soal valentine. Sebagian besar kita luput, di tanggal ini sebuah karya monumental tercipta 26 tahun silam. Tepatnya di 14 Februari 1990.
Sebuah pesawat tanpa awak bernama Voyager I diluncurkan NASA untuk menjelajah antariksa pada 5 September 1977. Ia kemudian diperintahkan memotret bumi tepat pada 14 Februari 1990 saat mencapai jarak 6 miliar kilometer. Gambar itu pun membuat semua orang tercengang.
Betapa mengejutkan, bumi yang selama ini dibanggakan dan diperebutkan tak lebih dari sebuah titik biru pucat (Pale Blue Dot). Titik yang lebih mirip debu di luasnya antariksa.
Dari gambar ini, empat tahun kemudian sebuah buku tentang visi hidup ditulis astronom Carl Sagan. Pale Blue Dot: A Vision of the Human Future in Space. Tulisan yang kerap disebut Renungan Sagan ini pun menjadi populer.
Sagan ingin menyampaikan betapa kita hanya berada di sebuah titik kecil antariksa. Betapa kadang kita menghabiskan energi untuk hal-hal sepele yang tidak begitu penting.
Tempat yang begitu kita banggakan ternyata hanya debu di tengah luasnya ruang tak berbatas.
"Dari jarak sejauh ini, Bumi tidak lagi terlihat penting. Namun bagi kita, lain lagi ceritanya. Tatap lah lagi titik itu. Titik itulah yang dinamai 'di sini.' Itulah rumah. Itulah kita.
Di satu titik itu semua orang yang kamu cintai, semua orang yang kamu kenal, semua orang yang pernah kamu dengar namanya, semua manusia yang pernah ada, menghabiskan hidup mereka.
Segenap kebahagiaan dan penderitaan kita, ribuan agama, pemikiran, dan doktrin ekonomi yang merasa benar, setiap pemburu dan perambah, setiap pahlawan dan pengecut, setiap pembangun dan pemusnah peradaban,….
Renungkanlah sungai darah yang ditumpahkan para jenderal dan maharaja sehingga dalam keagungan dan kejayaan itu mereka dapat menjadi penguasa sementara di sebagian kecil dari titik itu.
Renungkanlah kekejaman tanpa akhir yang dilakukan orang-orang di satu sudut titik ini terhadap orang-orang tak dikenal di sudut titik yang lain. Betapa sering mereka salah paham, betapa siap mereka untuk membunuh satu sama lain, betapa bergejolak kebencian mereka.
Sikap kita, keistimewaan kita yang semu, khayalan bahwa kita memiliki tempat penting di alam semesta ini, tidak berarti apapun di hadapan setitik cahaya redup ini. Planet kita hanyalah sebutir debu yang kesepian di alam yang besar dan gelap….
Gambar ini mempertegas tanggung jawab kita untuk bertindak lebih baik terhadap satu sama lain, dan menjaga serta merawat sang titik biru pucat, satu-satunya rumah yang kita kenal selama ini." ***
Carl Sagan ingin membongkar visi hidup manusia. Tentang hidup yang tak sekadar menghabiskan usia. Apalagi hanya diisi dengan debat kusir tentang hal-hal sepele—seperti valentine mungkin—yang kita besar-besarkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H