"Sahur... Sahur..."
"Sahur pak... Sahur bu..."
Teman-teman saya bahkan ada yang bawa kayu atau besi dan memukul-mukul pagar rumah orang. Si pemilik rumah pun tidak jarang keluar marah-marah. Jika sudah begitu, kami sering kali lari kalang kabut.
Begitu selesai di lorong terakhir, kami mengembalikan semua peralatan sahur tersebut ke pos ronda. Lalu kembali ke rumah masing-masing untuk santap sahur.
Ketika adzan subuh berkumandang, kami akan kembali ke masjid untuk salat subuh. Selesai salat, kami akan berjalan kaki keluar kompleks ke jalan raya. Jalan raya sepanjang 2 kilomoter tersebut ramai oleh orang-orang berbagai usia, mulai anak-anak hingga lansia.
Para remaja yang pandai mengendarai motor akan balapan di jalan raya tersebut. Yang paling keren adalah mereka yang finish tercepat dengan membonceng perempuan.
Lewat pukul 7 pagi, jalanan tersebut akan sepi. Orang-orang pulang ke rumah masing-masing dan tidur.
Sungguh masa-masa yang sulit saya lupakan.
Menginjak usia SMP, saya tidak lagi main dengan anak-anak di kompleks. Saya bergaul dengan teman-teman SMP, terlebih saya sudah bisa mengendarai motor. Saya pun jarang salat tarawih di masjid kompleks, tapi ke masjid raya yang letaknya di tengah Kota Sengkang.
Beberapa kali kami tidak tarawih, tapi hanya nongkrong di satu tempat; ngalor ngidul hingga jam sahur tiba.
Yang paling seru di masa-masa itu, bagi saya, adalah pacaran. Saya beberapa kali harus tarawih di masjid tempat si perempuan yang saya sukai tarawih. Syukur-syukur saya bisa memboncengnya pulang.
Yang paling menyedihkan adalah ketika saya harus nginap di rumah nenek di desa yang waktu itu sinyal handphonenya masih sangat terbatas. Saya tidak bisa keluar nongkrong dan terpaksa harus ikut bapak tarawih. Belum lagi harus ngaji berlembar-lembar karena saya tidak punya pilihan aktivitas. Aduh, betapa membosankannya.