Sayangnya, dia tidak segera jalan. Diraihnya botol air mineral, diteguk, lalu memutar setengah badannya, "Sudah siap, Pak?"
Kami memasuki Jalan Prof. Dr. Satrio, sayup-sayup suara adzan berkumandang, malam menjelang. Cuaca di daerah tersebut tampak bersahaja. Hari itu matahari memang tidak terlalu terik.
Data Badan Meteorologi, Krematologi, dan Geofisika (BMKG) menunjukkan bahwa rata-rata suhu terendah udara di DKI Jakarta dari Juli hingga Oktober 2018 adalah 25 derajat celcius, sedangkan suhu tertingginya mencapai 32 derajat celcius.
"Di motor tiap hari bawa 5 botol minum gede, Pak," aku pria yang telah berprofesi sebagai pengemudi daring selama 3 tahun ini.
"Air mineral yang 1500 ml itu?" saya penasaran.
"Iya, Pak."
Dia harus berada di jalanan setiap hari dari pukul 6 pagi hingga 9 malam. Pada pukul 12 siang, pria berusia 36 tahun ini akan mengambil jeda sejam untuk makan dan istirahat.
"Saya belinya per kardus, jadi lebih hemat. Kalau per botol, hitung-hitungannya mahal."
Hal ini mengingatkan saya pada seorang pengemudi lain, Husein, 47 tahun. Meskipun dia berlatar belakang pendidikan gizi, pria asal Fakfak, Papua Barat ini mengaku hanya meminum 2 botol air mineral ukuran 600 ml selama berkendara seharian.
"Oh, tapi tiap pagi sebelum keluar rumah jam 6, saya sudah minum air tiga gelas, Bang."
Berbeda dengan Ariyanto, pengemudi yang mengantarkan saya dari Blok M ke Kemang beberapa hari lalu ini hanya meminum satu botol air mineral berukuran 600 ml di siang hari. Untuk alasan penghematan, dia mengaku hanya akan memperbanyak konsumsi air minum ketika di rumah.