“Biar itu menjadi urusanmu dengan Allah,” kata Malik.
Pencuri itu berlalu. Sampai kemudian ia bertemu dengan temannya sesama pencuri. “Aku pikir kau membawa banyak hasil curian,” kata temannya itu. “Kemarin aku berniat mencuri di rumah seseorang bernama Malik ibn Dinar,” kata si pencuri. “Tapi dia ternyata orang miskin yang tak punya apa-apa. Dan, justru dia yang mencuri apa yang kumiliki selama ini.”
Kita telah memasuki Ramadan. Sering kita dengar ia disebut “Bulan Suci”. Dan penyebutan seperti itu kerap diterjemahkan dengan aksi sapu-bersih tempat-tempat yang dianggap menjalankan kemaksiatan. Tempat-tempat hiburan diminta ditutup agar tidak menodai kesucian bulan itu.
Apakah seperti itu? Tidak, tentu saja. Kesucian ada di setiap hati kita, bukan di suatu tempat atau pada waktu tertentu. Benih-benih kebaikan dan keburukan tertanam di setiap hati kita. Begitulah fitrah manusia. Selanjutnya hanya perlu kesungguhan—dengan dukungan keadaan—saja bagi masing-masing benih itu untuk tumbuh. Dan puasa yang kita laksanakan selama Ramadan ini adalah keadaan yang mendukung untuk menumbuhkan benih-benih kebaikan di hati, menjadi batang, bercabang, bunga-bunganya mekar dalam perilaku: kearifan, kasih sayang, cinta, kesabaran, kepedulian, disiplin, dan sifat-sifat ilahiah lainnya yang selama ini mungkin tak terawat. Itulah yang semestinya kita petik dari puasa, lalu kita jaga sebaik mungkin … Setelah semua itu, bukan bulan yang berhak mendapat label suci, melainkan kita. Tidak ada yang disebut “bulan suci”, tapi yang ada adalah “diri yang suci”.
Kita telah memasuki Ramadan. Dan jangan sampai nanti kita keluar darinya tanpa membawa pengaruh apa-apa. Sia-sia.[]
http://jumanrofarif.wordpress.com/2010/08/16/pencuri-yang-tercuri/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H