Mohon tunggu...
Juman Rofarif
Juman Rofarif Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Hanya Juman Rofarif

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Bakar

5 Januari 2011   04:24 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:57 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemenangan adalah anak dari banyak orangtua yang masing-masing akan bertepuk dan menepuk dada, kata penyair Goenawan Mohamad. Sebagian bertepuk dan menepuk dada karena hanya itu yang bisa dilakukan untuk mengekspresikan kesenangan. Spontan. Kepentingannya hanya karena mereka senang dengan kemenangan tersebut. Sebagian yang lain, selain senang karena kemenangan, juga karena berkepentingan memanfaatkan efek kemenangan itu: ketenaran. Dan Timnas hanya hampir di puncak kemenangan—yang pada akhirnya pun hanya hampir—saat ketenarannya di AFF CUP 2010 lalu dimanfaatkan oleh mereka yang punya kuasa dan harta (sampai mereka yang merasa punya kekuatan doa), seakan tahu jika Timnas tidak akan sampai di puncak kemenangan. Maka, segera saja. Mumpung. Ketenaran seperti ditakdirkan seksi. Merangsang. Siapa saja tak bisa tidak meliriknya. Mereka yang mampu, bila mau, akan mencumbuinya. Dan ini Srintil, si ronggeng cantik dan menggoda, tokoh dalam Ronggeng Dukuh Paruk. Tahun 1964, dikisahkan dalam novel indah dan kondang Ahmad Tohari itu, Dukuh Paruk meraih masa ketenaran yang belum pernah terjadi sebelumnya. Bila rombongan ronggeng Dukuh Paruk naik pentas, bukan lagi puluhan, melainkan ratusan orang yang berkerumun menontonnya. Dan itu karena faktor Srintil yang terlalu istimewa. Memandangnya, bahkan hanya sekadar mengenangnya, menjadikan orang sejenak terlepas dari perkara keseharian. Srintil adalah angan-angan, kupu-kupu yang melambung dan membuat banyak lelaki ingin menangkapnya. Tahun 1964, ketika paceklik merajalela di mana-mana, ronggeng Dukuh Paruk malah naik pentas, bukan di tempat-tempat orang punya hajat, melainkan di tengah rapat umum, siang maupun malam. Dari situlah rombongan ronggeng mengenal Bakar. Seperti nama sahabat Nabi sekaligus khalifah pertama Islam: Abu Bakar. Dalam bahasa kita, “bakar”, “membakar”, punya arti “menyalakan”. Mungkin kebetulan. Bakar orang yang pidatonya berapi-api dan membangkitkan emosi. Dengan segera, Bakar dekat dengan rombongan ronggeng karena kebaikannya. Dia menghadiahi rombongan ronggeng seperangkat alat pengeras suara: perkakas elektronik pertama yang masuk ke Dukuh Paruk dan sangat dibanggakan penduduk. Bahkan, oleh penduduk Dukuh Paruk yang bersahaja, Bakar diterima sebagai orang bijak yang bisa memimpin dan melindungi mereka. Bakar sadar akan itu. Dan dia pun menjalankan pengaturannya. Bakar memasang lambang partai di jalan yang menjadi satu-satunya pintu masuk ke Dukuh Paruk. Mereka menerima, tidak saja karena percaya pada Bakar, tapi juga sebetulnya karena mereka tidak mengerti lambang itu, dan tulisannya. Mereka buta huruf. Di luar Dukuh Paruk, Bakar berpropaganda macam-macam yang sulit dimengerti orang-orang Dukuh Paruk, semisal perjuangan kaum tertindas untuk mendapatkan kembali hak-haknya. Bakar juga sadar akan itu, sadar akan ketidakmengertian dan sikap nrimo pandum Dukuh Paruk. Maka, yang Bakar minta dari Dukuh Paruk hanyalah Srintil dan rombongan ronggeng mau tampil menjadi alat penarik massa. Jadilah rombongan ronggeng Dukuh Paruk bagian yang pasti rapat-rapat propaganda yang diselenggarakan Bakar dan orang-orangnya. Rapat selalu ingar-bingar. Pengunjung bukan main banyak. Tak penting bagi Bakar, mereka datang karena dirinya atau Srintil. Pokoknya massa amat banyak dan Bakar berkesempatan mengolah emosi mereka. Menjelang tahun 1965 … Srintil dan rombongannya mendapat julukan baru yang cepat tenar: Ronggeng Rakyat. Sebutan ronggeng Dukuh Paruk kian tersingkir. Seseorang sesungguhnya mencurigai ketulusan Bakar selama ini, dan rombongan ronggeng hampir melepas diri darinya. Namun, dengan satu muslihat, Dukuh Paruk kembali terjerat. Sampailah pada September 1965. Prahara di Jakarta, sebuah negeri antah berantah bagi Dukuh Paruk. Terjadi pembunuhan-pembunuhan. Pelakunya orang-orang semacam Bakar. Sampai kemudian keadaan memukul balik. Orang-orang semacam Bakar ditangkap. Bakar sendiri disekap dan rumahnya dibakar. Dukuh Paruk? Sebab keluguan dan kebebalannya, ia mesti kena getah dan hampir musnah sebab menanggung aib sejarah. Ketika rerumputan mulai tumbuh di tanah reruntuhan Dukuh Paruk, orang-orang bertanya tentang seseorang yang telah sekian lama berperan dalam satu sisi kehidupan. Srintil: di mana dia dan bagaimana. “Kekalahan?” kata GM, selanjutnya, dengan nada bertanya, yang lalu ia jawab sendiri: “Yatim-piatu.” Srintil seorang yatim-piatu dalam arti sebenarnya, sisa sebuah malapetaka yang membuat banyak anak Dukuh Paruk kehilangan ayah-ibu. Lalu tumbuh di bawah pengasuhan Sakarya, kakeknya. Lalu menjadi milik Dukuh Paruk karena ia seorang ronggeng. Dan, bersama Dukuh Paruk, Srintil juga seorang yatim-piatu dalam sejarah. Tepatnya, karena terkena getah sejarah yang kalah.[] Juman Rofarif http://jumanrofarif.wordpress.com/2011/01/05/bakar/

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun