Duit semata wayang sepuluh ribu perak yang sudah lusuh bin kumal binti kucel itu, yang dalam waktu kurang dari satu jam akan segera berkurang untuk menjadi sebungkus nasi warteg tanpa es teh manis sebagai menu berbuka puasa, aku tatap dengan rasa haru seperti pandangan seorang pengasih terhadap kekasihnya yang hendak berlalu. Aku pandangi duit itu sambil glelengan malas di depan televisi seperti orang lumpuh. Televisi menyala tapi tak aku tonton-perhatikan.
Sementara itu, di hadapanku terhampar bayang-bayang samar tak jelas yang mencitrakan hari-hari esokku. Seketika aku pecahkan, aku gecek, aku idek-idek bayang-bayang sialan itu.
Tiba-tiba terdengar suara ketukan di pintu, membuyarkan segala macam pikiran yang berputar-putar di otakku.
“Assalamu’alakum…”
Siapa lagi itu. Ah, semoga keberuntungan. Dengan malas karena lemas kubuka pintu.
“Wa’alaikum salam…”
“Permisi, Mas Tris. Maaf, kalau mengganggu.”
“O, tidak. Lagi santai, kok.”
“Ini, Mas, seperti biasa.” Seseorang yang sudah akrab di lingkunganku itu menyerahkan selembar kertas yang sepertinya sudah dipersiapkan sebelumnya, bertuliskan:
No: 15. Telah diterima dari: TRISNO ARTHO. Uang sejumlah: SEPULUH RIBU RUPIAH. Untuk pembayaran: KEBERSIHAN DAN KEAMANAN RT 05/RW 08.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H